"Tidak Kak. Aku tidak pernah mendengar bunyi petir setelah aku menjadi seorang anak yang tuli seperti ini. Terima kasih, Kak," ucap Te Ressa yang tengah menengadahkan kepalanya menatap derasnya hujan malam itu.
"Terima kasih buat?"
"Buat semuanya. Seumur hidupku, hanya segelintir orang yang peduli dan memahami orang sepertiku. Aku bahkan lebih takut padamu daripada petir itu. Aku takut untuk mempercayai orang lain selain ibuku. Bahkan pamanku menjualku untuk melunasi hutangnya. Apa lebih baik aku tidak lahir saja Kak? Aku rasanya ingin mati saja ketika mengetahui aku tuli dan saat ini aku merasa aku anak yatim piatu dengan keadaan ayahku dipenjara. Dan---"
"Aku melarangmu untuk meninggalkanku!" Ben Eddic melepaskan rengkuhannya. Tangan Ben Eddic terasa dingin dan gemetar ketika tangannya mencengkeram lengan Te Ressa. Wajah Ben Eddic tidak bohong jika memang ia takut pada petir walau pun selama ini banyak yang mengenalnya kejam dan tak berperasaan.
"K-Kak?"
"Aku melarangmu untuk meninggalkanku. Tolong jangan mengatakan hal-hal yang membuatku gila akan perkataanmu mengenai kematian," ucap Ben Eddic yang saat ini bahkan terlihat berkaca-kaca di hadapan Te Ressa.
Tangan Te Ressa pun terangkat, dan menghapus setetes air mata yang mulai membasahi pipi Ben Eddic. Ben Eddic menatap kedua mata berbeda warna itu dengan harapan bahwa ia mendapatkan kenyamanan di sana. Dan ternyata semua di luar nalar Ben Eddic. Ketika Te Ressa mendekatkan kepalanya dan mengecup pipi Ben Eddic. Cukup lama Te Ressa mengecup pipi Ben Eddic, hingga Te Ressa tersadar apa yang sudah ia lakukan, Te Ressa segera menjauhkan wajahnya dari Ben Eddic dan menundukkan kepalanya.
"M-maafkan saya, Tuan muda ... eum maksud saya Kak. Saya tidak ---" Ben Eddic meraih dagu Te Ressa agar Te Ressa menatapnya kembali. Ben Eddic mendekatkan wajahnya namun Te Ressa langsung menutup bibirnya dengan telapak tangannya.
Tatapan mereka beradu dengan jarak beberapa centimeter saja. Ben Eddic bahkan tidak peduli dengan pandangan tak enak dari orang-orang sekitar yang tengah berteduh. Tatapannya hanya tertuju pada dua bola mata beda warna itu.
Ia merasa seperti mencari ketenangan dan kenyamanan pada sosok di hadapannya. Tatapan Te Ressa memang terlihat gelisah namun tidak bagi Ben Eddic.
"Kau bisa mendengarku?" bisik Ben Eddic. Dijawab dengan anggukan Te Ressa yang masih menutup bibirnya dengan telapak tangannya. Tangan Ben Eddic pun meraih pinggang Te Ressa dan mendekatkan wajahnya pada telinga Te Ressa. Ben Eddic menghembuskan napasnya pada telinga Te Ressa dan mengecup telinganya.
Te Ressa merasa tubuhnya mengalami gejolak ketika ia merasakan benda yang lembut menyentuh daun telinganya. Ia merinding ketika Ben Eddic sedikit mengigiti daun telinganya.
Ben Eddic menghela napasnya pelan. "~ dengarkan aku baik-baik Te Ressa Graham. Aku tidak akan mengalihkan pandanganku darimu. Jadi tidak ada kata bagimu untuk meninggalkanku. Yang jelas, kau tidak akan lepas sedikit pun dariku dan jadi jangan biarkan aku sehari saja tidak melihatmu. Sehari aku tidak melihatmu, aku akan menghukummu Te Ressa Graham," ucap Ben Eddic seduktif yang kemudian kembali mengecup daun telinga Te Ressa.
"K-Kak." Te Ressa sedikit mendesau ketika Ben Eddic sedikit menyapu daun telinga Te Ressa. Ben Eddic bahkan tidak peduli, jika ia disebut om-om cabul yang sedang mencabuli anak kecil di depan umum. SEKALI LAGI IA TIDAK PEDULI.
Tangan Te Ressa menyentuh dada Ben Eddic dan sedikit mencoba mendorongnya. Ben Eddic menyadari jika ia melakukan hal yang tidak seharusnya di halte. Ben Eddic kembali duduk pada posisinya namun Ben Eddic merengkuh pinggang Te Ressa dan meletakkan kepalanya pada bahu sempit Te Ressa.
Hujan masih mengguyur kota seoul. walau pun petir dan guntur masih terdengar nyaring, namun Ben Eddic sedikit dapat meredam rasa takutnya karena Te Ressa dengan lembutnya mengusap dan mengelus lengan Ben Eddic yang berada di pinggangnya.
"Kak ...."
"Hm?"
"Kenapa kau takut petir? Kau sangat berbeda dengan Ben Eddic yang aku kenal," ucap Te Ressa yang melirik Ben Eddic yang masih meletakkan kepalanya pada bahu sempitnya.
"Ada sesuatu yang aku takutkan dan aku masih terngiang sampai saat ini ketika aku mendengar petir dan guntur. Aku pernah dikurung oleh ayahku di gudang waktu aku masih berusia 6 tahun. Gudang itu gelap ....
... tak ada cahaya sedikit pun. aku masih sangat mengingatnya dengan jelas pada saat itu hujan deras. Ibu dan ayahku bertengkar hebat. Aku ingin melerai mereka berdua tapi ayahku memukulku dan mengurungku di gudang selama seharian. Sampai pada akhirnya ketika aku keluar dari gudang, aku tidak lagi menemukan ibuku. Aku semakin ketakutan ketika ayah membawa pria dan wanita kedalam kamarnya," ucap Ben Eddic yang seketika teringat akan masa kecilnya yang cukup menyedihkan.
"Kau tidak jauh berbeda denganku, Kak. Bahkan aku berpikir, bahwa ayahku lebih menyeramkan daripada petir. Petir hanya akan ada pada saat hujan namun ia tidak akan menyakitimu kecuali kau menantangnya untuk menemui ajalmu. Tapi menurutku petir memang sebuah keindahan yang menggambarkan kekuatan dan energi tanpa batas ....
... kau hanya perlu bertahan ketika ia datang namun kau tidak perlu lari ketika menggertakmu. Kau bisa melewati semuanya Kak. walau pun kekuatanmu tidak sebesar yang kau harapkan," ucap Te Ressa yang masih mengusap lengan Ben Eddic dan sedikit tersenyum yang terpatri di bibirnya.
Ben Eddic mengangkat kepalanya dan ikut tersenyum serta mengusap kepala Te Ressa. "Kau pintar juga ternyata. tidak salah kalau ibumu menyayangimu."
Te Ressa terkekeh dan menundukkan kepalanya malu ketika Ben Eddic mulai mengacak rambutnya dan mengelus pipinya.
"Kak ... bisakah kita pulang? Ini sudah larut malam."
"Hm ... sepertinya hujan sudah reda. Ayoo kita pulang, BABY," ucap Ben Eddic yang segera berdiri dan melangkahkan kakinya.
"Baby? Ben Eddic Kak memanggilku baby? Maksudnya?"
Te Ressa membatin dan mempercayai bahwa dirinya salah dengar ketika Ben Eddic memanggilnya dengan sebutan baby.
Te Ressa sejenak melamun ketika melihat Ben Eddic mulai berbalik menatapnya. "Hei Te Ressa Graham. Kau tidak ingin pulang?"
Te Ressa pun tersadar dari lamunannya dan segera menyusul Ben Eddic.
***
Pukul 00.40
Ben Eddic baru saja menyelesaikan acara mandinya. Ia pun keluar dan mengenakan piyama tidurnya yang Te Ressa siapkan untuknya. Ben Eddic bahkan seperti orang gila yang sejak tadi hanya senyum-senyum sendiri dan tertawa sendiri. Apa mungkin Ben Eddic harus memeriksakan kesehatan jiwanya?
Mungkin!
Setelah mengenakan piyamanya, Ben Eddic memeriksa seluruh sudut kamarnya untuk mencari keberadaan gadis manisnya. Dan hasilnya nihil. Te Ressa tidak ada di kamarnya.
Ben Eddic akhirnya membuka pintu kamarnya untuk mencari Te Ressa. Namun Ben Eddic malah mendapati Gi Selle berada di depan kamarnya. Ben Eddic menghela napasnya dan menatap Gi Selle dengan tatapan malas.
"Ada apa?"