"Maaf, Tuan. Apakah kita perlu mengembalikan Nona Gisel lebih dulu?" tanya Rafa—penanggung jawab hotel, menatap ke arah Kenzo dengan ragu. Dia takut kalau ucapannya akan membuat pria di dekatnya marah. Bagaimanapun, mereka membutuhkan investor untuk keberlangsungan hotel mereka. Ditambah saat ini Gissel tertidur dengan kepala bersandar pada pundaknya, membuat Rafa takut kalau nantinya akan membuat masalah, seperti tanpa sengaja melukai nona muda keluarga Kingsley misalnya.
Kenzo yang mendengar langsung melirik ke arah Rafa, masih dengan ekspresi yang tidak berubah sama sekali. Bahkan mulutnya masih saja bungkam, enggan mengeluarkan sepatah kata pun. Tangannya mulai terulur, meraih kepala Gisel dan meletakan di dada bidangnya, mendekap lembut dan menatap ke arah jalanan.
"Kita lanjutkan saja," ucap Kenzo dengan nada dingin dan raut wajah yang sama.
Rafa menganggukkan kepala. Dia mulai memberikan isyarat agar sopir di depannya kembali menjalankan mobil, membuat mobil yang memang didesain khusus untuk berkeliling hotel tersebut kembali berjalan. Keduanya baru sampai di sebuah taman binatang yang terletak jauh dari bangunan hotel. Itulah sebabnya mereka membutuhkan kendaraan yang biasa digunakan petinggi dan para pekerja untuk melihat kondisi sekitar.
Rafa yang melintasi taman bunga segera menjelaskan mengenai taman yang didesain dengan cukup indah dan juga unik. Terlihat banyak sekali pengunjung yang tengah menikmati pemandangan atau hanya sekedar berfoto. Lahan yang luas membuat hotel tersebut memiliki banyak sekali kelebihan yang jelas berbeda dengan hotel lainnya.
Kenzo hanya diam mendengarkan apa yang Rafa jelaskan. Sejak melihat bangunan dan berbagai fasilitas di dalamnya, Kenzo sudah memberikan penilaian. Tidak perlu sampai akhir karena menurutnya itu tidaklah penting sama sekali. Dia hanya butuh beberapa hal, selebihnya dia hanya menjadikan formalitas. Mengenai Gisel yang mengambil keputusan, dia benar-benar tidak serius. Kenzo memang sengaja menjadikan hal tersebut sebagai alasan agar mudah menyentuh Gisel dan tidak mendapatkan perlawanan. Dia tidak benar-benar gila memberikan tanggung jawab begitu besar untuk wanita tersebut.
Namun, jika Gisel tidak menolak, dia pun tidak keberatan sama sekali. Setidaknya jika Gisel menentukan pilihan dan salah mengambil langkah, dia akan bisa membuktikan dengan sang papa jika Gisel tidak berhak untuk harta warisan keluarga. Mengingat hal tersebut membuat Kenzo mengeraskan rahang, benar-benar tidak terima dengan apa yang sudah ditentukan sang papa.
Aku adalah putranya kandungnya. Semua harta yang saat ini papa miliki adalah milik mama. Jadi, Gisel dan mamanya tidak boleh memilikinya. Aku tidak mau mama menderita lagi karena ulah mereka, batin Kenzo. Sebelah tangannya bahkan sudah mengepal dengan perasaan kesal. Sorot matanya bahkan sudah memperlihatkan tatapan siap membunuh. Hingga kendaraan yang mereka tumpangi berhenti, tepat di depan pintu hotel.
Rafa yang melihat raut wajah tidak bersahabat Kenzo langsung diam, menelan saliva pelan. Ada perasaan ragu untuk menegur Kenzo yang tidak juga turun, tetapi dia juga takut disalahkan karena tidak memberitahu bahwa mereka sudah sampai. Hingga Rafa menarik napas dalam dan membuang perlahan.
"Tuan, kita sudah sampai," ucap Rafa dengan sopan, takut Kenzo akan marah. Mengingat emosi pria tersebut yang tidak dapat diprediksi, Rafa memilih tetap bersikap baik dan tidak mencari masalah.
"Apa perlu saya panggilkan petugas hotel untuk membawa Nona Gisel, Tuan?" tanya Rafa ketika melihat Kenzo akan mengangkat tubuh wanita tersebut.
"Tidak perlu," jawab Kenzo singkat. Dia segera mengangkat Gisel dan keluar. Kakinya melangkah ke arah hotel, membuat Rafa menghela napas penuh kelegaan.
Kenzo masih saja diam. Kakinya terus melangkah, mengabaikan tatapan para pengunjung hotel yang memperhatikan dirinya. Entah karena mereka senang melihat seorang Kenzo, pengusaha muda yang cukup sukses dan terkenal atau mereka menatap tanpa berpaling karena Kenzo yang menggendong Gisel yang saat ini dalam keadaan tidur.
Kenzo melangkah, memasuki lift ketika Arkan sudah menekan lift dan pintu terbuka. Bibirnya masih saja bungkam, sesekali menatap ke arah Gisel yang masih terlelap. Melihat hal tersebut, sebelah bibirnya terangkat, merasa unik dengan sikap Gisel yang begitu tenang dalam dekapannya.
Padahal seharusnya dia waspada, kan, batin Kenzo, menunjukkan senyum sinis.
Denting lift terdengar, disusul dengan pintu yang terbuka. Dia segera keluar dan menuju ke arah kamar yang terletak paling ujung. Dia memang sengaja meminta tiga kamar di bagian tersebut. Satu kamarnya, satu kamar Gisel dan kamar untuk Arkan. Meski dia tidak memempati kamarnya sama sekali, tetap saja Kenzo harus memesannya dengan jumlah yang sama untuk membuat papanya percaya dan tidak menaruh curiga.
Arkan mempercepat langkah ketika sudah berada di depan pintu kamar Gisel. Dia segera membukanya, membuat Kenzo melangkah masuk dan kembali menutup. Kakinya segera menuju ke arah lain, membiarkan tuannya menikmati waktu berdua.
Sedangkan di dalam, Kenzo segera menidurkan Gisel di ranjang dan menatap lekat. "Kali ini aku biarkan kamu tidur dengan nyenyak, Gisel. Setelahnya, jangan harap kamu bisa memejamkan mata," gumam Kenzo dengan tatapan tajam.
***
"Selesai," ucap dengan penuh semangat.
Eve mengulas senyum lebar ketika melihat masakan di depannya. Ini adalah pertama kali dia belajar memasak. Berbekal panduan dari salah satu vidio, membuatnya mampu menghidangkan satu menu makanan yang menurutnya akan lezat. Bahkan, senyum di bibirnya tidak pernah luntur sama sekali. Dalam ingatannya, dia tengah membayangkan reaksi Kenzo ketika memakan masakannya.
"Astaga, dia pasti akan semakin cinta denganku," gumam Eve dengan penuh percaya diri.
Eve yang sudah tidak sabar untuk memberikan masakannya langsung menuju ke arah lemari dan mengambil kotak bekal. Dengan riang, dia memasukkan masakannya, tanpa mencoba lebih dulu. Dia tidak mau kalau Kenzo harus memakan makanan sisa karena dia yang mencoba.
Selain itu, aku juga mau makan bersama di kantornya, batin Eve dengan penuh semangat.
Eve yang sudah selesai segera menutup dan meletakan di meja makan. Kakinya menuju ke arah tangga, menaiki satu per satu dengan penuh semangat. Dia benar-benar akan membuat Kenzo bertekuk lutut di depannya. Hingga dia sampai di kamar, mengganti pakaian dan sedikit memoles wajah yang sebelumnya memang sudah mengenakan make up. Dia segera melangkah keluar dan siap untuk pergi.
Eve baru mengambil kotak bekal miliknya dan siap pergi. Namun, niatnya terhenti karena dering singkat ponselnya terdengar. Eve yang melihat langsung mengambil ponsel dan semakin tersenyum ketika melihat nama yang tertera. Dengan cepat, dia membuka pesan yang sahabatnya kirim, tetapi perlahan senyumnya menghilang, berganti dengan raut wajah penuh emosi.
Eve segera menekan nomor tersebut dan mendekatkan ponsel di telinga. Tangannya bahkan sudah mengepal, menahan amarah yang sejak tadi dia rasakan. Hingga panggilannya tersambung, membuat Eve memasang raut wajah serius.
"Dimana kamu melihat mereka?" tanya Eve dengan emosi yang siap meledak.
***