Chereads / THE LOST WORLD [SUPERNATURAL] / Chapter 33 - 32. DONI NYARIS MATI?

Chapter 33 - 32. DONI NYARIS MATI?

"Claire."

Pintu kamarnya terbuka, menapilkan Leon dengan raut wajah penyesalan menghampiri Claire yang sedang membaca buku di atas kasurnya.

"Kak Leon, kenapa?" tanya Claire sambil melirik. Leon menarik kepala adiknya yang di simpan di bahu. Memeluk Claire dengan rasa salahnya sudah menghiraukan dua hari terakhir.

"Maafin, Kakak. Urusan ini sudah di tuntaskan menuju jalur hukum. Kakak, sempat tidak percaya sama kamu dan bahkan bersikap ketus selama hari-hari kemarin." ungkapnya melepas pelukan pada Claire. cewek itu tidak tersenyum sama sekali, hanya berucap syukur di dalam hatinya karena pada akhirnya urusan sang Kakak bisa di selesaikan.

"Claire, ga mau aja kalau sampai perusahaan yang susah payah, Papa, bangun jadi bangkrut."

Leon meringis. Mungkin jika Leon masih keras kepala, bisa saja ucapan Claire benar. Leon akan tertipu dan terancam bangkrut, padahal semua itu adalah milik Papa kandungnya sendiri. Leon memang membantu mengembangkan, tetapi itu semua tidak sebanding dengan perjuangan orang tuanya.

"Iya, Claire. Ternyata beliau itu sudah lama menjadi incaran polisi, tetapi naasnya para kepolisian selalu gagal mencari dengan identitasnya yang di palsukan. Nama asli beliau bukan, Wisnu. Tapi … Eldan." jelas Leon membuat Claire berpikir sejenak.

Eldan? Sepertinya Claire pernah mendengar nama itu, tapi di mana?

"Eldan, menjadi budak si ketua mafia kotor yang belum juga di ketahui. Eldan, tidak mengakui kalau beliau memiliki atasan yang paling tinggi."

Claire merenung. Jadi Wisnu itu hanyalah nama samarannya saja?

"Apa kamu bisa cari tahu siapa bos mafia nya?"

"Engga." Claire menolak cepat. Sudah cukup banyak masalah yang tengah di hadapinya tanpa Leon tahu. Lagi pula Claire melakukan itu kan untuk Kakak nya saja, bukan berarti Claire menangkap hingga ke akarnya.

Leon menautkan alis. "Loh, kenapa? Bukannya bagus? Mereka jadi tidak akan seenaknya menipu orang."

Memang bagus tapi Claire akan mendapatkan cekikan lagi dari Ryan kalau urusannya di tunda terus menerus. Tidak mudah bagi Claire untuk mencari orang di balik kejahatan keluarga hantu laki-laki itu. Belum lagi si Kepala sekolahnya. Claire masih belum ada waktu untuk menelusuri kebenarannya.

"Claire, harus pokus belajar."

Leon mengehela napas halus. Bisa-bisanya dia melupakan adiknya yang sedang ujian di sekolahnya. Seharusnya masalah orang dewasa tidak perlu di berikan pada Claire, kan? Justru Leon yang seharusnya bilang terima kasih dan bersyukur atas pembuktian Claire yang bisa saja hingga sekarang Leon masih bekerja sama dengan Wisnu.

"Maaf kalau, Kakak, menganggu waktu kamu, Claire." kata Leon merasa bersalah.

Claire mengangguk. "Ga pa-pa." ia menutup bukunya dan menatap sang Kakak. "Apa penipu itu bisa di hukum lebih dari … kurungan jeruji?"

"Maksudnya?"

Claire menelan ludah. "Misal … tembak mati?"

"Kenapa kamu sampai berpikir ke sana?"

Claire menarik napas panjang. "Bukan hanya seorang penipu, tapi juga beliau adalah pelaku pembunuhan klien nya sendiri!"

"Hah, apa!" Leon menatap terkejut sekaligus merasa tidak menyangka.

Claire mengangguk memastikannya. "Itu sebabnya. Selain beliau hanya ingin harta dan uang yang melimpah juga nanti orang tersbut akan di sembelihnya. Aku ga mungkin membiarkan orang dewasa itu memengaruhi pikiran, Kak Leon."

Leon mengeraskan rahang giginya. "Keterlaluan! Orang macam dia memang pantas untuk di bakar hidup-hidup!"

Bagaimana jika Leon tahu kalau adiknya sendiri yang nyaris terbunuh di rumah Wisnu?

>>>>>>>>

Vero melirik Bagas dan Doni yang terlihat menopang dagu, dua cowok itu sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak biasanya sekali mulutnya diam seolah malas untuk mengeluarkan ucapan kata. Terkadang Vero merasa sepi jika dua temannya yang saling diam seperti ini.

"Lo berdua belum makan?" seru Vero membuat Bagas dan Doni meliriknya malas.

"Gue ga semangat." tukas Bagas tak selera.

"Gue karena kebanyakan makan." sahut Doni yang kini duduk, mendorong punggungnya dan meletakkan kepalanya pada kepala sofa.

Vero mengernyit. "Kenapa bisa? Bukannya paling banyak ucapan lo berdua?"

"Kali ini gue diem!" tutur Bagas yang kini menenggelamkan kepalanya pada tumpukan dua tangan.

Vero mendecak. "Ga gitu juga dong, Gas. Lo mulai baperan." ejeknya membuat kepala Bagas mendongak.

"Gue tuh kesel sama lo, Ver." ungkapnya yang kini duduk tegap, menatap Vero dengan raut sebal. "Lo harusnya lawan si cewek tengil itu! Seenggaknya di depan kita berdua."

Vero tertawa kecil mendengar penuturan temannya.

"Kok, lo malah ketawa?" heran Doni merasa ucapan Bagas tidak ada yang lucu.

"Lo berdua kayak bocil aja. Masalah kayak gitu di bikin masalah besar, sampe segala ngambek ceritanya ke gue." Vero menggeleng pelan membuat Bagas dan Doni mendelik semakin di buat kesal.

"Gue udah males berurusan. Kalau lo berdua masih aja nekad, yowes silahkan. Asal … jangan pernah minta tolong ke gue kalau kalian dapat masalah." tegas Vero akhirnya.

Doni duduk bersila. "Kalau menurut gue, harusnya lo pepetin terus gebetan. Gimana pun juga cuma dia yang tahu akal busuk si, Lidia."

Bagas menunjuk. "Bener, tuh. Gue sependapat sama, Doni. Karena mungkin aja dia udah punya apa yang sedari awal di carinya."

Doni menautkan alis, "Maksudnya rahasia, Vero?"

Bagas menelan ludah merasa ucapannya terlalu menunjuk pada pambahasan yang sedang di curigai oleh Doni.

"Aib gue, Don. Lo tahu sendiri kalau dia terus bilang gue lemah."

Bagas bernapas lega. Vero lebih gesit menyangkal atas kecurigaan yang sedang Doni rasakan. Setidaknya Bagas tidak perlu berpikir alasan apa agar Doni dapat percaya. Untung lah Doni terlihat mengangguk dengan harapan semoga saja temannya memang percaya pada ucapan Vero.

"Padahal lo pinter dalam pelajaran. Jelas aja kalau masalah licik dia jagonya." dengus Doni.

"Makannya itu, Don. Pas awal kita masuk kan di sini semua tahu gue bisa dalam belajar apapun, nah. Si cewek itu kan hadir berusaha mau jatuhin gue apapun caranya. Jadi ga heran kalau nanti kesebar hal yang buruk tentang gue." kata Vero memperjelas.

Doni mengangguk, dia menepuk pelan bahu Vero sambil berucap, "Gue salut banget sama lo, Ver. Karena nemuin temen kayak lo pada itu menurut gue jarang. Sekarang jamannya cuma mau enaknya doang. Dulu gue pernah salah cari temen." keluhnya saat di kata akhir.

"Emang kenapa?" tanya Bagas.

Doni menarik napas panjang. "Dulu … gue nyaris mati."

"Hah! Emang lo di apain woy!" pekik Bagas yang begitu antusias.

"Ih! Lo berisik banget tahu ga? Kalau mau teriak jauh-jauh dari kuping gue!" tegur Vero yang mengusap telinga kanannya.

Bagas cengengesan. "Ya, sorry. Gue kaget lah, Ver. Doni, hampir mati gitu, loh. Emangnya lo ga kaget sama penasaran kenapa bisa?"

Doni tersenyum tipis melihat argumen dua temannya. "Lo emang kagetnya ngagetin orang. Sekarang justru gue yang nyaris mati karena teriakan lo buat jantung mau copot."

Bagas mendecak. "Emang salah kalau gue kaget denger temennya mau mati?"

"Tapi emang mereka mau gue … mati."