Claire melihat pada luka di kakinya. Lumayan parah juga ternyata, ia kira hanya lecet sedikit karena tidak begitu keras juga terjatuhnya.
"Harusnya kamu ga perlu repot kompres kaki aku." ucap Claire menatap Vero di sampingnya duduk.
Cowok itu mengulas senyuman. "Ini salah gue. Harusnya yang dapetin luka ini gue, bukan lo."
Vero sudah mengantarkan dan membantu Claire untuk mengompres kakinya yang membiru. Cowok itu tidak mungkin akan tega membiarkan Claire yang hendak pergi sendirian untuk pulang. Padahal Vero sudah menyarankannya pergi ke dokter saja, namun Claire selalu menolaknya mentah-mentah.
"Abang lo belum pulang apa, Claire?" tanya Vero yang sejak tadi tidak melihat di rumah itu ada penghuni lain.
Claire menggeleng. "Kak Leon, sering pulang jam sepuluhan."
Vero mengangguk. "Jadi lo selalu sendirian sampe malem?"
"Iya."
Padahal Claire selalu di ganggu oleh Ryan, si hantu menyebalkan. Bahkan sekarang saja hantu itu masih memerhatikannya dari ujung tangga di atas. Entah apa yang akan hantu itu lakukan tetapi seolah hanya memastikan bahwa Claire tidak akan berbubat macam-macam.
"Apa lo ga takut? Cewek sendirian di rumahnya tanpa ada yang jaga gitu?" Vero menatap Claire heran.
"Aku bisa jaga diri."
Vero jadi mengurungkan niatnya untuk pamit pulang lebih cepat setelah urusannya selesai. Ia tidak tega meninggalkan Claire sendirian di sana.
Claire menatap Vero. "Makasih udah mau di repotin."
Vero lagi-lagi terkekeh. "Ini belum apa-apanya atas nyawa gue, Claire." yang ia pikirkan itu Doni. Temannya yang pasti masih syok melihat kejadian tidak terduga di hadapannya.
"Kalau gitu kamu boleh pulang sekarang."
Dari ucapan Claire saja sudah jelas Vero di usir seolah cowok itu sudah mengganggunya. "Gue masih mau nemenin lo di sini."
Claire mendesis pelan. Kalau Leon tahu ada Vero di rumahnya, apa tidak akan membuat kerusuhan? Kakak nya kan masih salah paham tentang satu teman sekolahnya ini. Sejauh apapun Claire jelaskan tetap saja Kakak nya tidak mempercayai langsung. Claire yang sudah bingung pun akhirnya ikut diam, membiarkan Kakak nya berpikir buruk mengenai Vero.
"Bentar lagi, Kak Leon, pulang."
Vero melirik jam di dinding. "Iya, sih. Kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin gue, Claire." ia mengeluarkan satu kertas seolah sudah di siapkan sebelumnya. "Ini nomor gue, lo telfon aja, gue pasti langsung angkat."
"Apa angkat-angkat?!"
Claire dan Vero seketika meolehkan kepalanya melihat sosok yang persis memakai jas kantor berjalan dengan berwibawa.
"Apa maksud kamu tadi?" Leon bertanya penuh selidik.
Vero yang kini di tatap tajam sedikit mendeham dan menjelaskan, "Gini, Bang. Saya tadi khawatir sama dia dan suruh hubungi kalau ada apa-apa karena dia sendirian di rumah."
"Sudah ada saya sekarang." Leon menjawab ketus.
Vero mengangguk ragu. "Iya, saya tahu. Maka dari itu saya lega dan bisa pamit untuk pulang."
"Ya sudah, silahkan." Leon memberikan jalan untuk Vero, menatap cowok itu dengan jenaka walau tanpa ada senyuman di lekuk bibirnya.
Vero mengangguk, sebelum akhirnya melirik Claire sejenak. "Iya, saya pamit. Claire, gue pamit pulang." lalu melenggang pergi setelah melihat anggukan dari temannya.
"Sekali lagi makasih."
Kakinya berhenti tepat di depan pintu saat mendengar lontaran dari Claire. Vero menolehkan kepalanya tanpa memutar badan. "Makasih kembali." ia benar-benar pergi menjauh dari halaman rumah Claire.
Leon yang memerhatikan menatap curiga. "Jangan bilang kalau kalian berdua ada hubungan yang tersembunyi lagi?"
>>>>>>
Masalah kemarin saja belum tuntas, Claire menambahkan pikiran untuk sang Kakak. Berbagai situasi yang membuat keadaan menjadi runyam. Leon yang keras kepala tidak bisa hanya percaya melewati lisan saja. Ia masih belum bisa yakin jika Claire dan temannya hanya sebatas saling mengenal.
Walau begitu Claire masih bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Berusaha untuk menenggelamkan seluruh beban yang mengganjal hati serta pikirannya. Bukan berarti Claire merasa santai-santai di atas masalahnya. Tahu sendiri bahwa selama ini yang terus saja merecoki hidup Claire itu adalah Ryan.
Kaki Claire di tendang hingga meraung kesakitan ketika pagi tadi hendak berangkat ke sekolahnya. Luka dalamnya yang baru saja tadi malam di kompres semakin membengkak hingga Claire menahan rasa ngilu dan sakit luar biasa untuk di paksakan berjalan.
Cewek itu menghentikan langkahnya dan menyodorkan sesuatu pada sang oknum yang sudah ia pastikan benar.
"Ini apaan?" tanyanya yang masih menatap sebuah amplop yang di sodorkan oleh Claire.
"Hutang, Vero."
Matanya berbinar langsung saja menyambar dengan wajah semringah. "Widih, gue kaga jadi bokek hari ini. Haha … Thanks, ya."
Claire menyeret kakinya susah payah untuk kembali mencari orang yang kemarin terkena musibah. Sekeras apapun Vero menolak bantuan darinya, akan tetapi balas budi pada Vero jauh lebih berharga dari pada uangnya. Claire tidak pernah ingin memiliki hutang pada orang lain.
"Lo ngapain deketin gue? Naksir? Ya udah sini duduk, gabung bareng temen gue sekalian." percaya diri yang tinggi sekali. Claire melihatnya malas dan enggan untuk berlama-lama.
Cewek itu menarik napas panjang sebelum mengulurkan tangannya kembali dengan satu amplop. "Ini hutang, Vero. Lunas!"
Cowok yang di ikat rambutnya itu menyungging lebar. "Wih, seriusan? Sini." ia mengambil dan melihat jumlah yang ada di dalamnya.
"Pas ini, Thanks. By the way … lo cantik juga."
Claire mendengus di dalam hati, kemudian melongos pergi ketika rayuan receh keluar dari si playboy itu. Awalnya memang ia ragu akan tetapi demi menyelesaikan masalah Vero juga agar mereka tidak terus menyalahkan atas ke gagalan party mereka.
"Yang empat udah dia bayar cicil." Claire menghitung. "Berarti tersisa … dua lagi." ia kembali menyeret kaki kirinya yang begitu tersiksa sekali. Tidak ada jalan lain lagi untuk bisa menunggu, Claire harus lebih dahulu menemukan dua orang itu sebelum terkena tegur dari Vero sendiri.
"Lo mau kemana, Claire?"
Langkahnya terhenti seketika. Claire melirik sejenak. "Bukan urusan kamu."
"Gue bantu, ya. Dari kejauhan gue lihat lo susah buat jalan. Please, kali ini aja gue bantu lo, ya." sedikit paksaan dari Doni membuat Claire ragu.
Jika cowok itu membantunya, maka uang yang akan di berikan pada dua murid lagi akan ketahuan dan terang-terangan Claire membantah ucapan mereka. Kalau di tolak pun pasti cowok itu tidak akan jera juga.
Claire menghela napas. "Aku bisa sendiri."
"Claire." Doni menampakkan raut sedih. "Gue mohon. Tolong ijinin gue bantu lo mapah, cuma itu aja. Kemaren lo udah jadi penolong gue, masa kebaikan kecil dari gue lo tolak."
Claire tidak bisa lagi mengelak. Kakinya benar-benar di rasa akan terpotong saat itu juga jika terus di paksakan berjalan menelusuri area sekolah. Belum lagi dengan para makhluk-makhluk di sana yang membuat Claire menatap jijik.
"Ga usah, Don. Biar gue aja yang bantu jalan, Claire!"