Mungkin saatnya Claire mengatakan semua yang sudah terjadi sebelum hingga masalah saat ini kepada Leon. Kakak nya sudah menagih seluruh permasalahan hingga apa yang mengganjal dalam pikiran Claire. Leon seolah tidak bisa terus diam sedangkan adiknya begitu banyak menumpuk segala relungan.
"Claire, selama ini bisa ngerasain apa yang akan terjadi, maupun yang udah terjadi. Selain dari pada melihat makhluk tak kasat."
Ungkapan itu sontak membuat Leon menelan ludah tidak sangka. "Jadi saat kamu menyuruh, Kakak, untuk tidak melakukan apapun itu … karena dari kemampuan kamu ini?"
Claire mengangguk satu kali. "Masalah kamar, Kakak … ada hantu jahil karena udah aku hirauin."
"Hantu?" Leon benar-benar di buat stres. "Apa kaca balkon juga karena hantu yang jahil itu?" tuturnya begitu terkejut.
Claire menggeleng pelan. "Dia bilang kalau malam itu kebetulan ga ada di balkon."
"Lalu, kenapa bisa kaca itu pecah begitu saja tanpa ada sentuhan?" seru Leon merasa semakin tidak masuk akal jika kaca pintu itu melebur dengan sendirinya.
Claire menarik napas kembali mengingat. "Kakak, terlalu kepo jadi pintu balkon itu masih belum di perbaiki." dengusnya sedikit kesal.
Karena terlalu khawatir pada adiknya Leon sampai melupakan hal itu dalam sekejap. Sejak kapan Leon bisa menjadi pelupa? Kalau saja tadi pagi tidak ada hal yang membuatnya sampai merinding, mungkin saat ini juga pintu kamar balkon Claire sudah di perbaiki oleh tukang.
"Ya, maaf. Kakak, hanya tidak suka saja dengan teman kamu itu. Claire, kamu adik satu-satunya yang, Kakak, miliki. Sebagai orang yang wajib mengurus kamu, Kakak, tidak terima kamu berdekatan dengan dia." sebarapa pun tegasan dari ucapan Leon tidak memungkinkan bahwasanya Vero akan berhenti untuk dekat karena alasan tujuan.
Claire yang menghadapinya sendiri, namun mungkin itu akan berubah ketika Vero yang berusaha untuk membantu masalah Claire yang selalu di tutupi. Tetapi Leon masih tidak mengijinkan untuk mereka berdekatan sekali pun dua orang itu memiliki alasan jelasnya.
Leon menarik napas panjang. "Kamu akan menurut atau membantah?"
Claire selalu di ambang pilihan. Tidak bisakah ia yang memutuskan? Lagi pula itu semua bukan pilihan, tetapi bagaimana cara Claire menuntaskan.
Leon baru kali ini bersikap agresif, biasanya merasa baik-baik saja walau Claire bergaul dengan temannya. Entah karena apa penyebab Leon menjadi lebih menentang. Sikapnya berubah ketika Claire meluruskan satu masalah yang menyangkut pekerjaan di perusahaan kemarin.
"Kak Leon, masih penasaran sama sifat aslinya, Vero, seperti apa. Claire, bilang ini karena memang itu yang ada dalam benak, Kakak."
Leon tercenung. "Dari mana kamu tahu?" tanyanya dengan raut menelisik.
Claire berkedip satu kali. "Dari awal kalian ketemu. Kak Leon, udah naruh curiga kalau dia ada maksud lain terhadap aku."
Leon menelan ludah. "Membaca pikiran orang? Claire, kamu selama ini diam-diam tahu apa yang ada dalam pikiran, Kakak? Selain dengan … Vero?"
"Iya."
Leon terjengit, menubrukkan punggungnya pada badan sofa. Di luar nalar manusia, adik satu-satunya bisa melihat hingga pada pikiran orang lain? Benar-benar tidak masuk dalam akal. Awalnya Leon nyaris tidak percaya, selain semua ucapan yang keluar dari mulut Claire itu pasti hanya semu belaka. Tetapi buktinya? Itu semua memang … nyata?
"Apa yang kamu tahu lagi tentang, Kakak, Claire?" Leon bertanya lugas.
Claire menampakkan raut dinginnya. "Mungkin tentang aku yang … berbohong."
>>>>>>>>
"Ver, gue masih merinding lihat makhluk aneh di video itu." ungkap Doni bergidik ngeri.
Vero melirik temannya. "Mana sangka kalau ternyata kepsek kita melihara begituan, Don. Gue aja ampe kaget lihatnya langsung."
Bagas yang berpikir mendeham. "Hp gue ternyata bisa lihat hal ghaib juga, ya? Kirain cuma bisa pake kamera mahal." celetuknya dengan santai.
Doni mendecak. "Lo tahu kenapa dia bawa sesajen ke sekolah segala? Apa mungkin sekolahan kita itu sebenernya banyak penghuni, ya?"
"Di mana-mana kalau tempat yang ga selalu di huni pasti ada aja, sih. Misal rumah sakit gede banyak orang atau lapangan indoor juga ada aja yang begituan. Pokoknya semua termasuk … di sini."
"Lo jangan nakutin gue dong, Ver!" Doni sudah was-was sekali sampai kepalanya menengadah ke seluruh ruangan di sana.
Bagas terkekeh kecil. "Jadi siapa di sini yang penakut? Gue apa elo sendiri, hah?!" cetusnya membuat Doni mendelik.
"Gue rasa ada hal lain yang di sembunyiin sama kepsek kita. Kalau kita bakar ruangan kosong itu, apa mungkin bisa angus?"
"Hush!" tukas Bagas cepat. "Ngomong kok sembarang. Jangan bakar-bakar aja, itu sekolahan kita. Yang ada kalau ketahuan kita bisa aja langsung mati di tempat. Saingannya iblis alias setan, lo mau emang berakhir tragis?"
Vero mengangguk, benar juga. Kepala sekolah pasti tidak akan tinggal diam begitu saja jika ada yang mengusik tempat memujanya. Lagi pula mereka bukan lah orang yang juga memiliki ilmu hitam, dengan sekejap pun pasti akan kalah. Kecuali di antaranya memiliki masing-masing ajudan.
"Iya, Ver. Lo jangan gegabah sama masalah ini." timpal Doni dengan tatapan serius.
Vero mengangguk. "Gue mau bantu, Claire. Gimana pun caranya kalau dugaan gue bener soal ucapan orang tua itu, ga akan pernah gue biarin sekali pun nyawa gue yang jadi taruhan."
"Lo yang bener aja, Ver. Jangan sangkut pautkan sama nyawa lo sendiri! Di sini emang belum jelas pastinya siapa yang jadi target, tapi gue akan berusaha buat bantu mikir jalan keluarnya." sahut Doni yang membuat Bagas mengurungkan niatnya untuk menjawab.
Padahal baru saja Bagas akan melontarkan seperti itu namun Doni lebih dulu menuturkan kata-kata yang juga terlintas di otaknya. Mereka selalu satu pemikiran tetapi lebih banyak beradu argumen di luar pembicaraan. Walau begitu Bagas menyetujui ucapan Doni barusan.
Bagas pun mengangguk dan berujar, "Gue juga bakal bantu lo. Kita harus keluar bareng-bareng cari celah biar masalahnya juga ga melebar."
Vero tersenyum. "Gue harap kalian bener-bener mau bantu, Claire, juga dari permasalahan ini. Kita ga pernah tahu, kan? Kalau dia kesulitan atau engga dalam hal kayak gini?"
"Kalau gue kayaknya yakin dia bisa selesein masalah ini." tutur Bagas dengan beberapa anggukan di kepalanya.
Vero menghela napas gusar. "Gue harap juga gitu. Claire, udah banyak nyebar kebaikan buat kita semua. Gue ga mungkin terus hutang budi setelah kejadian di gedung itu juga duit dia bisa aja ludes karena bayarin hutang sewaan itu."
Vero bukan lah orang yang lepas tanggung jawab. Sekali pun cewek itu menolak mentah-mentah saat Vero mengembalikan separuh uang yang di bayar Claire. Sia-sia saja karena Claire juga tidak meminta apalagi berharap untuk di bayar kembali, bahkan melirik uangnya saja tidak. Membuat Vero semakin merasakan tidak enak hati.
"Kayaknya gue ada dari bokap, deh. Siapa tahu kalau uangnya kumpul semua dia bisa terima. Lo setuju ga, Ver?"
Vero berpikir sejenak untuk mengambil keputusannya. "Ga perlu. Ini jadi tanggung jawab gue, kalian cukup mikirin gimana supaya kita bisa bantu dan nolongin, Claire."