Mama yang dia hormati. Mama yang sungguh dia sayangi. Mama yang setiap malam selalu dia tunggu kepulangannya. Mama yang memilih dirinya ketimbang Adriana, adiknya. Reygan sibuk menyangkal kenyataan yang menghancurkan sosok Mama di hatinya.
Kalau saja Sonia mau mengerti sedikit saja. Dia akan mengerti posisi Reygan saat ini seperti apa. Kalau saja dia mau memahami, sebentar saja. Tapi dia sudah terlanjut marah dan kecewa.
Perasaan itu menggumpal sejak tiga tahun lalu, dan menemukan waktu yang tepat untuk kemudian meledak.
Sonia mundur dua langkah hingga mendekati tubir atap. "Aku bertahan karena Mama juga bertahan. Aku berusaha buat lindungin dia. Aku berusaha buat nggak nangis saat Mama nangis. Aku berusaha kuat. Tapi aku cuma manusia biasa. Aku punya hati, yang tau rasa saki. Aku punya batas!"
Reygan menjatuhkan dua botol dari tangannya dan berlari mendekat ketika dia menyadari apa yang ada di pikiran Sonia.
"Berhenti!! Jangan mendekat!" teriaknya histeris.
"Kamu jangan konyol gini. Mati nggak akan bikin masalah kamu selesai."
Sonia sudah sampai di pembatas atap.
"Aku capek, Reygan!" Sonia berucap lirih, dirinya tampak lemah. Terlihat layak untuk dikasihani, dan Sonia membenci hal itu.
"Aku ngerti, Son. Aku paham. Aku minta maaf!"
"Minta maaf bikin semuanya balik lagi?"
"Aku bakal berusaha untuk memperbaiki semua!"
Sonia tertawa keras. "Apanya yang diperbaiki? Kami sudah hancur."
"Tapi bukan dengan cara seperti ini--"
"Diam! Jangan sok suci! Kamu dan perempuan nggak tahu diri itu sama, Rey! Kalian sama-sama busuk! Penuh kesandiwaraan!"
Reygan kehabisan kata. Posisinya salah. Dia tidak bisa membela mamanya. Atau mengatakan kalimat apapun itu untuk menenangkan Sonia. Bukan dia takut salah bicara, bukan. Reygan hanya tak bisa mengelak, semua yang diucapkan Sonia benar adanya. Bahkan wajah Mamanya yang tampak seperti malaikat, justru menjelma menjadi sosok yang mampu menyakiti orang lain. Lalu Reygan? Dia tidak beda jauh dengan mamanya, saat sebuah kesalahan selalu dia tutupi, berusaha tegar, memasang topeng bak pahlawan untuk Sonia, padahal dia adalah penjahatnya.
"Jangan lompat!" Aneska muncul dengan napas terengah.
Sonia sudah berada di tubir gedung. Menghadap ke depan sana. Beberapa orang yang melihat dari bawah berteriak, meminta gadis itu menghentikan tindakan gilanya.
"Itu sama sekali nggak menyelesaikan masalah." Aneska berusaha menenangkan Sonia yang terlihat emosi serta hancur di waktu yang bersamaan.
"Lo nggak ada di posisi gue, Nes!"
Suara toa dari bawah menyela. "Tes, tes, tes. Kamu dengar bapak, Sonia? Ini Pak Rudi. Jangan lompat dulu. Kamu dengarkan Bapak."
Aneska masih berdiri di posisinya. Matanya lekat memperhatikan setiap gerak-gerik Sonia, berharap bahwa dia bisa menarik perempuan itu agar turun ke bawah.
"Kita bisa bicara baik-baik, Sonia. Turun, ya? Bapak berjanji akan membantu semampu Bapak. Aduh, Bapak nggak mau kalau sekolah ini jadi horor gara-gara kamu."
Hening.
"Eh, bukan! Bukan begitu maksud Bapak, Sonia. Turun sekarang, ya? Bapak akan penuhi semua mau kamu."
"Kalian semua nggak ngerti!" Sonia berteriak.
Aneska menoleh. Menatap sinis lelaki yang tadi datang ke sini lebih dulu. Reygan hanya diam dan tidak membantu sama sekali. Untuk apa lelaki itu berdiri seperti patung di sini? Tidak berguna. Ke mana hati nuraninya?
"Oke. Gue emang nggak ada di posisi lo, Son. Tapi gue-"
"Keluarga lo baik-baik aja!"
Aneska terpaksa diam. Membiarkan Sonia meluapkan emosinya. "Lo lahir di keluarga harmonis. Keluarga lo baik-baik aja. Keluarga lo utuh, Nes! Lo nggak akan pernah bisa merasakan apa yang gue rasain sekarang! Percuma!"
"Salah Anes kalau dia punya keluarga utuh?" Reygan bersuara sengau. Dia mengenal keluarga Aneska, meski hanya sebentar. Dan tidak terima ketika keluarga Aneska dibawa. "Bukan begini caranya buat hukum aku, Son."
"Dengan cara apa? Lo bisa gantiin gue di sini?" Sonia berbalik. Seketika seruan ngeri terdengar dari bawah. Mereka mungkin terkejut dengan gerakan Sonia yang mendadak. Takut jika kaki gadis itu terpleset atau bagaimana. Hal yang sama dirasakan pula oleh Aneska.
Reygan merasa ditampar. Dia tidak punya nyali sebesar itu untuk berdiri di sana. Dia takut mati sia-sia. Hidupnya terlalu berharga untuk mati dengan konyol seperti ini. Dia berusaha untuk tidak dikuasai emosi sesaat. Masih banyak masalah yang harus dia hadapi, masih banyak keinginan yang belum dia penuhi. Setidaknya Reygan tidak ingin mati dulu saat kebahagiaan saja belum bersedia muncul mendatanginya.
"Jawab!"
Aneska reflek maju selangkah. "Bukan begini, Son. Lo harusnya tunjukkan sama Papa lo kalau dia salah, Kalau dia nggak berhak nyakitin kalian. Mama lo bakal sedih lihat lo begini. Kalau lo mati, Mama lo bakal sama siapa? Siapa yang bakal belain dia?"
Sonia semakin terisak. Suara isakan itu meremas hati Aneska. Reygan sudah tidak peduli. Hatinya sudah remuk sejak tadi.
"Kita nggak bisa milih lahir di keluarga mana, Sonia. Kita nggak tahu apa yang bakal terjadi ketika kita dewasa nanti. Semua orang berubah. Hidup berputar. Kalau keluarga lo begini, bukan salah lo. Ini salah mereka. Salah orang-orang dewasa itu. Dan semakin salah kalau beban itu diberikan ke lo, Son."
Aneska melangkah maju lagi. Hingga tersisa tiga langkah. Aneska mendongak, meyakinkan lagi. "Gue memang nggak tahu rasanya seperti apa. Karena gue nggak ada di posisi lo. Tapi gue coba memahami. Keputusan ini salah, Sonia. Lo nggak harus mati konyol dengan lompat begini. Hidup lo berharga."
"Mundur!!" Sonia masih bersikeras dengan kepala batunya.
Aneska menatap tidak percaya. Dia pikir Sonia sudah berubah pikiran. Nyatanya sama sekali tidak.
"Gue bilang mundur atau gue lompat!!" Sonia berteriak memberi peringatan pada Aneska yang sudah berdiri sangat dekat darinya.
"Oke! Gue mundur!" Aneska mengalah, dia mundur beberapa langkah hingga sejajar dengan Reygan lagi.
"Aku mungkin nggak sebaik yang kamu kira, Son. Aku hanya memanfaatkan pertemanan kita. Aku sengaja deketin kamu untuk menutupi rasa bersalahku. Kamu boleh beranggapan seperti itu. Sama, Son. Aku juga manusia biasa. Aku nggak bisa milih lahir dari Ibu mana. Kalau kamu mau menghukum kami, kamu turun. Buktikan ke kami kalau kebahagiaan keluarga kamu bukan milik kami. Itu milik kalian sampai kapanpun. Orang lain tidak berhak memiliki itu." Reygan sudah kepalang hancur.
Sonia terdiam di sana. Aneska yang mengerti situasi perlahan maju. Sambil mengulurkan satu tangannya. "Buruan, Son. Aku belum selesai ngerjain PR Pak Agus, nih." Aneska mencoba bergurau.
Aneska mengusap pipinya dan meraih tangan Aneska. Aneska menyambutnya dengan pelukan. Sonia terisak di bahunya.
Reygan memilih mundur dan pergi dari sana.
****