Chereads / Garis Interaksi / Chapter 18 - 18. Pembahasan Tentang Dia

Chapter 18 - 18. Pembahasan Tentang Dia

"Hebat Papa kamu." Reygan bertepuk sebelah tangan. Terlihat antusias. Bagaimana tidak, Riana begitu semangat menceritakan profil papanya dalam satu tarikan napas. Matanya berbinar bahagia. Seolah hanya dengan menyebut nama 'Papa' saja sudah membuatnya senang.

"Tapi sayang bakatnya nggak nurun ke anaknya," katanya sedih.

"Kakak kamu?"

"Mungkin. Tapi aku belum tahu bakat Papa nurun ke kakakku apa nggak. Dia mungkin belum mau nyoba ngelukis. Ya, sejauh ini, begitu."

Reygan tidak bertanya lagi. Sibuk menatap rintik yang baru turun.

"Mas Reygan dekat sama Kak Aneska?" RIana asal mengambil topik daripada hanya saling diam.

"Anes, ya? Deket sih nggak. Cuma kalau berantem sering banget."

"Soalnya Kak Anes jadi salah satu idola di kelasku."

Reygan terpingkal, menepuk salah satu tiang halte di dekatnya. Tidak habis pikir. DIa tidak percaya. "Kamu jangan bercanda."

Riana tidak ikut tertawa. "Hih, aku serius."

"Rabun semua temen kamu."

"Bukannya dia memang cantik?"

"Kalau nggak tahu gimana dia di rumah, dia cantik." Reygan kemudian meralat. "Eh, nggak juga. Di sekolah dia juga ngeselin kok. Sama aja. Jadi di mataku, dia nggak cantik."

"Sama Kak Maura cantikan mana?"

"Anes," jawabnya tanpa berpikir.

"Katanya tadi nggak cantik?" pojoknya.

"Ya kialau sama Maura, masih mendinglah Anes. Lagian aku nggak mandang mereka dari fisik cantik, kalau mereka rese, ya udah intinya ngeselin. Mau cantik juga bodo amat."

"Jadi tipe perempuan yang disukai Mas Reygan seperti apa?" Riana berujung pada pertanyaan itu. Kepalang tanggung. Dia hanya ingin tahu.

Reygan menatap langit-langit, menyandarkan punggungnya di sandaran kuris panjang. Kalau kemarin-kemarin dia dengan mudah akan menjawab jika tipe perempuan yang dia suka adalah seperti mamanya. Namun sekarang, lain cerita.

"Belum kepikiran," jawaban yang diplomatis.

"Bukannya Mas Reygan, maaf, terkenal playboy di sekolah?"

"Adit juga yang bilang?"

"Bukan. Temen-temenku yang perempuan suka ngobrolin Mas Reygan."

Reygan mencari posisi duduk yang nyaman. "Tinggal tunjuk sih, Ri. Banyak. Bukannya sombong, Macem-macem lah cara mereka. Tapi aku nggak mau pacaran. Jadi kalau nyebut aku playboy, ya dari mananya? Punya pacar satu aja enggak. Jangankan playboy." Dia rasa perlu meluruskan. Dia entah kenapa, dengan Riana dia merasa harus menjelaskan.

Riana menahan diri untuk tidak tertawa. Bibirnya berkedut.

"Eh, tapi kamu harus hati-hati sama Maura ya. Jangan pernah ada masalah sama dia. Kalau kepepetnya kena sama dia, kamu cepet-cepet bilang ke Adit atau aku. Paham?"

Dengan patuh Riana mengangguk.

"Jemputan kamu datang." Reygan yang lebih dulu melihat sebuah mobil hitam merapat. Tapi tunggu...

Riana menoleh, "Bukan. Itu bukan mobil mamaku. Warnanya silver, kok."

Mobil berhenti di depan mereka. Dan perlahan kaca mobil di bangku penumpang bergerak turun. Dengan sedikit melongok, Diana memanggil Reygan.

"Mama jemput aku?"

"Iya. Mama pulang tapi kamu belum di rumah. Makanya Mama jemput. Takut kamu nggak dapet bus."

Riana serba salah. Dia hanya menarik bibirnya tersenyum. Mengangguk ketika wnaita paruh baya itu melihatnya.

"Teman kamu, Rey? Rumahnya mana? Biar bareng sama kita."

"Mas Reygan duluan aja. Itu mobilnya Mama udah kelihatan." Barulah Reygan berdiri. Mobil yang dimaksud Riana sudah merapat di belakang mobil mamanya.

"Duluan, Ri. Hati-hati." Reygan masuk ke dalam mobil dan melaju pergi.

"Siapa, Ri?" Mamanya bertanya ketika Riana sudah duduk dan memakai sabuk pengaman.

"Teman, Ma."

"Bukan pacar?"

"Bukan. Kakak kelas. Baik banget deh, Ma. Tadi nemenin aku ngobrol. Sampai Mama datang."

"Nanti ngadu sama Papa, ah."

"Ih, Mamaaaa. Bukan pacar ya. Bukan. Nggak mungkin." Riana menatap jalanan yang basah. Kaca mobil yang mengembun. Lampu-lampu jalan yang mulai menyala.

Reygan. Dia akan ingat nama itu baik-baik.

****

"ANJIRRRRRR!!"

Reygan yang sedang menenggak kaleng sodanya, terbatuk. Begitu mendengar seruan dari kejauhan itu dia ingin tertawa.

"Kenapa, Bro?" Ari bertanya polos.

"Satu set kolor kuning gambar Spongebob! Edan!" Adit bergabung dengan ketika sahabatnya di tepi lapangan basket.

Kiki menoleh ke Reygan dengan wajah keberatan. "Gimana sih, Rey? Rencana awal kan gambar Dora atau nggak Diego?!"

"Yeee, mana ada yang begituan. Itu jatahnya anak kecil. Nggak muat dipake Adit nanti."

Ari menepuk bahu Adit. Menguatkan.

"Tahu gitu gue aja yang beli."

"Nanti pas lo ulangtahun, gue bakal beliin gambar itu. Kalau perlu ke ujung dunia, gue cariin sampai dapet, Ki."

Kiki sudah tenang. Sekarang semua perhatian beralih ke Adit. Reygan bertanya. "Muat kan di lo?"

"Muat. Pas banget. Makasih lho, ya." Adit memasang wajah masamnya.

Obrolan mereka terhenti ketika rombongan murid berseragam olahraga masuk ke lapangan basket. Ke empatnya kompak diam dan duduk rapi di kursi panjang. Reygan bahkan perlu menarik Kiki agar duduk. Itu Pak Bandi, guru olahraga yang galak. Jadi aturannya, mereka boleh duduk-duduk di tepi lapangan. Asal tidak berisik.

Pelajaran di kelas mereka kosong. Dan tidak ada tugas. Hanya mencatat materi. Reygan sebal mencatat.

Sebenarnya mereka ingin beranjak ke kantin. Tapi dengan percaya dirinya, Ari bilang begini, "Di sini aja. Gue mau lihat Anes."

Yaelah.

"Ungkapin aja kenapa sih, Bro? Sebel gue setiap hari lo cuma bisa natap dia dari kejauhan." Kiki berkomentar sesuka hati.

Reygan yang mengerti hanya diam saja.

"Keburu digebet orang lain, Ri." Adit ikut bersuara. Pelan sekali.

"Ngaca dulu ya, Dit." Reygan menoleh, karena kebetulan Adit duduk di sampingnya. Dia sengaja menyeringai. Dia juga tahu bagaimana hubungan Adit dan Riana yang sebenarnya tidak lebih dari teman.

Adit mendengus sebal.

"Apa sih cantiknya Anes?" Kiki dengan heran bertanya. Reygan dalam hati juga menyetujui hal itu.

Ari memiting kepala Kiki. Yang dipiting berbisik minta ampun. Tapi tidak diampuni semudah itu.

Reygan menatap ke lapangan basket. Dia mencari sosok Sonia yang lagi-lagi tidak dia temukan. Sudah hampir seminggu. Dan dia tidak tahu kabar gadis itu. Mungkin nanti dia akan mencoba datang ke rumah Sonia.

Lalu pemandangannya berganti Rani, yang ini dia tahu, meski tidak kenal. Karena di mana ada Anes, pasti ada orang itu.

Anes. Anes. Anes. Dia mencari sosok itu. Nah, ketemu. Di antara para murid perempuan yang sedang mencoba memasukkan bola basket ke dalam keranjang, Aneska yang membawa bola. Kemungkinan giliran dia selanjutnya.

Aneska sedang memantulkan bola di lantai, sebelum melemparnya ke atas. Dan hap! Masuk saudara-saudara.

Tepuk tangan mirip lumba-lumba terdengar di sebelahnya. Ari girang bukan main. Padahal itu cuma memasukkan bola dari jarak dekat. Semua orang juga bisa. Berhubung yang melakukan itu Aneska, jadinya terasa hebat di mata Ari.

Hah, dasar orang jatuh cinta.

.

.

.