"Papa nggak perlu khawatir aku di sekolah. Ada yang jaga. Aku percaya sama dia, Pa."
"Bukan." Riana melanjutkan. Dia takut jika papanya berpikir terlalu jauh. "Aku nggak pacaran sama dia. Aku percaya dia seperti aku percaya sama Papa."
"Halah anak muda jaman sekarang," dengusnya. Tapi dia percaya dengan putrinya.
"Orang ini... Tahu nggak kenapa aku percaya sama dia, Pa?"
Papa hanya mengangkat alisnya, menunggu kalimat selanjutnya.
"Dia bikin semua orang yang ada di dekatnya merasa nyaman dan aman."
"Papa pindahin kamu ke sekolah lain besok."
Riana tertawa geli. Dia tahu papanya hanya bercanda. Atau mungkin cemburu karena anak gadisnya bercerita tentang lelaki lain selain papanya.
"Udah ketawanya?"
"Kalian lagi ngobrolin apa, sih?" Mama akhirnya ikut bergabung. Membawa secangkir teh hangat miliknya sendiri dan menarik kursi di dekat suaminya.
Papa enggan menjawab. "Sontoloyo."
"Siapa?" Mama beralih ke Riana, makin penasaran.
"Yang kemarin..."
Mama langsung paham. "Oh, yang kemarin duduk sama kamu di halte itu?"
"Jadi kamu udah lihat anaknya, Ma?" Papa bertanya.
"Cuma lihat, Pa. Belum kenalan. Kemarin dia keburu masuk ke mobil. Kalau dari jauh sih ganteng, Pa. Mungkin kalau dari deket, Mama harus pakai kacamata."
"Biar apa, Ma?" Riana menemukan celah untuk membuat Papa kesal.
"Mama takut silau sama kegantengan dia, Ri." Mama tergelak. Sengaja membuat suaminya semakin sebal.
Papa berdiri dari kursinya, sebelum melangkah masuk dia sempat bilang, "Mulai besok biar Papa yang antar dan jemput kamu sekolah."
Riana dan mamanya terkekeh bersama. Ternyata mudah sekali membuat Papa cemburu.
Tapi jauh di dalam hati, keduanya mengerti. Lelaki hebat seperti Papa adalah lelaki yang pernah kehilangan, menangis, jatuh dan tertatih untuk bangkit. Sejauh ini, Papa sudah baik-baik saja. Riana tidak lagi melihat Papa yang menangis diam-diam di tengah malam. Terbangun menatap langit lewat jendela. Atau menatap kanvas putih dengan nanar.
Bukankah sebentar lagi kebahagiaannya akan terasa lengkap?
Iya. Sebentar lagi. Riana tidak sabar menunggu hari itu akan tiba.
****
"Lo merasa kehilangan ini?" katanya sedikit keras.
Reygan menoleh, belum berbalik. Hanya begitu reaksinya? Dia tidak tahu bagaimana Aneska hampir terlambat hanya karena menunggu dirinya di halte tadi pagi?
Belum cukup, ketika jam istirahat, Aneska harus mengelilingi satu sekolah untuk menemukan keberadaan lelaki itu.
"Kalau nggak merasa ya udah! Gue buang fotonya!" ancamnya.
Barulah lelaki itu berbalik. Aneska mendekat dengan selembar foto di tangan kanan. Reygan meraba saku celananya, lalu merogohnya untuk memastikan. Tidak ada.
Aneska sedang tidak berselera untuk bercanda. Jadi dia mengansurkan foto itu pada Reygan. Lagipula foto ini tidak bisa dijadikan lelucon. Dia tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Foto usang itu bisa jadi adalah separuh hidup Reygan.
"Lo nemu di mana?"
"Kemarin pas berantem sama Maura di ruang Bu Ida."
Reygan menerima foto itu. Lantas duduk di sofa reot yang ada di atap sekolah. Aneska masih mempertimbangkan banyak hal untuk duduk di sana, atau kalau masih cukup waktu, dia bisa berlari ke kantin sekarang. Rani pasti sudah ngambek.
"Duduk aja. Nggak ada cicak."
"Tahu dari mana lo?"
"Gue sering duduk sama Sonia di sini."
"Nggak. Gue mau ke kantin aja."
"Makasih lo udah balikin fotonya."
Aneska kembali mendekat ke sofa. Dia bersiap menyebutkan semua perjuangannya hanya untuk mengembalikan foto ini. Tapi urung karena melihat wajah Reygan yang tampak ... berbeda.
Dengan hati-hati, Aneska akhirnya duduk. Itu pun hanya separuh pantatnya yang duduk. Siapa tahu ada cicak yang tiba-tiba mencuat dari lubang sofa. Iya, kan? Sementara Reygan duduk dengan santai, seperti sudah terbiasa. Iya, terbiasa. Kan tadi orangnya bilang sendiri kalau sering duduk di sini dengan Sonia. Ya ya ya.
"Gue udah niat mau antar semalam, tapi hujan. Gue pikir paginya bakal ketemu lo."
"Gue bawa mobil tadi."
Bagus!
Aneska menahan mulutnya agar tidak kelepasan. Dia tidak mengerti dalam mode apa Reygan sekarang. Sepertinya sedang mengenang. Karena sekarang, Foto itu dia tatap sambil sesekali diusap dengan ibu jarinya.
"Orang dewasa egois semua ya, Nes?"
"Bukan egois, Rey. Kita hanya belum bisa mengikuti cara berpikir mereka."
"Kalau mereka nggak egois, mereka nggak akan bikin keputusan yang nyakitin anak-anak mereka."
Oke. Aneska mulai mengerti arah pembicaraan lelaki itu. Dia ikut menatap foto di tangan Reygan. "Mereka egois sejak kapan?"
"Gue umur empat tahun. Adriana masih dua tahun. Sehari setelah foto itu diambil. Jadi, mereka cuma nunggu hari ulangtahun gue. Lalu besoknya mereka bikin keputusan besar. Padahal keluarga kami baik-baik aja." Reygan tercekat. Tapi dia ingin membagi sedikit bebannya pada Aneska. "Karena gue masih kecil. Gue tahunya cuma..." Jeda karena Reygan menghela naoas dalam-dalam. "Cuma gue harus ikut Mama yang tiba-tiba pindah tugas ke Jakarta. Dan Adriana tinggal di Bandung bareng Papa.
"Gue terlalu kecil buat ngerti keadaan. Gue nggak bisa apa-apa. Sampai umur sepuluh tahun, Mama kasih pengertian. Selama enam tahu gue nggak tahu apa-apa. Gue marah. Jujur, kalau suruh milih, gue pengen di Bandung. Ikut Papa dan Adriana."
Aneska tidak menyela. Meski berat untuk Reygan, dia membiarkan lelaki itu bercerita.
"Mama nggak pernah berubah, Nes." Reygan akhirnya menangis. Dia gagal menahannya kali ini. Dia pikir tidak apa-apa menangis, tidak ada orang lain di sini. Hanya ada Aneska. "Gue capek. Gue berkali-kali pengen nyari Papa. Tapi gue bertahan di rumah. Mama butuh gue, Nes. Gue nggak bisa ninggalin dia gitu aja."
"Gue ngerti. Itu keputusan yang terbaik saat ini. Lo harus ada di sisinya. Jangan pergi."
"Kalau suatu hari nanti gue pergi, apa salah?"
Aneska baru mengerti jika di balik semua tingkah menyebalkan Reygan, ada berkeping-keping cerita yang lepas dari tempatnta. Hatinya tidak seutuh yang terlihat. Pungungnya tidak setegap yang orang kira. Dan dia berhasil bersembunyi di balik semua itu. Dia pintar sekali memakai topeng dan mengelabui orang-orang. Aneska salah satunya.
"Papa lo..." Aneska masih ragu, bertanya atau tidak.
"Nggak tahu di mana. Gue memang belum nyari. Gue takut kalau tahu Papa di mana, gue bisa aja pergi dari rumah."
"Jadi selama tiga belas tahun kalian lost contact?"
Reygan terkekeh, menyeka pipinya dengan lengan. "Papa selalu kirim kado ke rumah setiap tahunnya. Gue pikir bakal sampai tahun ini atau sampai nanti. Tapi ternyata udah berhenti sejak dua tahun yang lalu. Mungkin dia capek juga."
Aneska tidak bisa berkomentar banyak. Dia takut akan melukai masa lalu Reygan. "Ini tujuan lo temenan sama Sonia?"