"Seminggu lebih kamu-"
"Aku pindah sekolah."
Reygan tercekat. "Kenapa harus pindah?"
"Memangnya mudah lihat kamu setiap hari? Aku menahan diri untuk nggak melukai kamu, Rey!"
"Tapi bukan dengan pindah sekolah."
"Dengan cara apa lagi?"
Aneska tidak mendekat. Dia menghargai keduanya yang sedang berbicara. Tapi tetap saja Aneska dengar.
"Ini pertama dan terakhir kamu ke sini. Jangan pernah datang atau muncul di depanku lagi. Kamu pikir ini mudah?"
"Aku nggak bisa."
"Kami sudah menyerah! Kamu mau apa lagi? Kami udah nggak punya apa-apa!" Kemarahan itu tersulut. Sonia ingat Mama yang menangis setiap malam setelah menandatangani surat cerai yang Papa berikan.
Reygan terdiam. Dia memberi waktu Sonia untuk meluapkan apa yang membuat hatinya sesak. Meski sama sekali tidak akan mengurangi beban yang menghimpit dadanya.
Sonia akhirnya menangis, Reygan bergerak lebih dekat dan memeluknya. Sonia tidak menolak. Karena ini yang terakhir mereka seperti ini. Sonia tidak bisa menyalahkan Reygan sepenuhnya. Sama seperti dirinya, Reygan hanya korban dari keegoisan orangtua mereka.
"Aku minta maaf karena aku nggak bisa mengubah apa pun, Sonia. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, kebahagiaan kamu akan diganti dengan lebih baik suatu hari nanti." Dalam dekapannya, Sonia mengangguk pelan.
"Kalau kamu sudi berteman denganku, kita akan tetap menjadi teman sampai kapanpun, Sonia. Aku nggak akan pergi gitu aja."
Untuk yang ini, Sonia tidak bisa menjawab. Terlepas dari masalah orangtua mereka, dia bahagia sempat mengenal dekat sosok Reygan. Dia tidak bisa begitu saja membenci lelaki itu.
"Rey, mampir minimarket Mas Ryan sebentar."
Belum ada jawaban,
"Reygan!"
"Hah?"
"Mampir minimarket Mas Ryan."
"Iya, iya. Gue denger."
Dengan apanya? Sejak tadi dia tahu kalau Reygan menyetir sambil melamun. Klakson bahkan bersahut-sahutan di belakang mobil mereka.
Reygan menepikan mobil di halaman minimarket. Aneska bergegas turun.
Reygan sempat melongok melihat isi minimarket dari dalam mobilnya. Begitu menemukan yang dia cari, Reygan memutuskan turun dari mobil.
Aneska pergi ke rak makanan ringan setelah menyapa Ryan di kasir. Baru saja berbelok, Aneska terpeleset saking terkejutnya melihat makhluk mungil terduduk di depan rak sambil mengunyah coklat hingga belepotan di wajah.
"Mas, anak siapa ini? Anak lo, ya?!" Aneska mencoba berdiri setelah memastikan objek di depannya bukan tuyul. Lagipula tuyul harusnya botak. Bukan rambut kuncir kuda.
Masalahnya, selama bertahun-tahun Aneska ke minimarket ini, dia tidak pernah melihat penampakan sosok anak kecil. Anak itu tidak terganggu dengan kehadiran Aneska--tetap menghabiskan cokelat batang di tangannya.
"Daraaaa!"
Barulah gadis kecil itu menoleh. Bukan ke arah Aneska, yapi menayap ke seseorang yang berdiri di belakang Aneska.
"Mas reygan mau coklat?" tawarnya sambil menjulurkan tangan yang memegang coklat tinggal separuh.
"Buat Dara aja."
Aneska mengambil makanan ringan dengan ceoat dan menuju kasir. "Jadi Mas Ryan udah punya anak?"
Ryan menghela napas lelah. "Nggak Reygan, nggak lo. Sama aja. Tuh, Reygan aja sampai sekarang mungkin belum percaya Dara bukan anak gue."
"Tapi mirip sama lo, Mas."
"Iya, jelas mirip. Gue om-nya!"
Aneska manggut-manggut lalu mengambil tiga eskrim ember.
"Lo seharian kemarin ke mana? Dara nyariin." Bukan untuk Aneska. Tapi pertanyaan itu untuk Reygan yang mendekat dengan Dara di gendongan.
Aneska sempurna melongo.
"Lihat sunset," jawabnya jujur.
"Kalian pergi bedua?" tebak Ryan.
"Nah, itu tahu."
Aneska menggeleng sedih. Tidak. Kabar yang didengar Ryan pasti akan menyebar ke ujung dunia.
"Untung Dara belum ngerti. Jadi nggak patah hati dia."
Reygan menurunkan Dara dari gendongannya. Aneska sudah selesai membayar. Meski Dara terlihat enggan melepas tangan Reygan.
Dara berat hati melepas Reygan pulang. Wajahnya yang belepotan coklat itu terlihat sedih.
Aneska hanya menatap mereka dengan heran. Tunggu. Dara? Orang pertama yang Reygan gambar. Yang dia kira adalah mantan pacar lelaki itu. Yang ternyata anak berumur lima tahun? Astaga.
Dengan horor, Aneska menoleh ke kursi kemudi. "Rey."
"Apa?"
"Lo bukan pedofil, kan?"
Reygan menginjak rem mendadak. Satu, karena ada kucing yang melintas di depan mobilnya. Kedua, karena kalimat ajaib yang keluar dari mulut Aneska. "Ya menurut lo aja," katanya kesal. Mobilnya kembali melaju.
Aneska memeluk erat tiga ember eskrim dan makanan ringan di pangkuan. "Lo selalu bilang gue bukan tipe lo. Siapa tahu tipe lo memang seperti Dara."
"ANES!"
"Turunin gue di sini." Aneska menggedor kaca berlebihan. Toh, sudah dekat dari rumahnya. Sedangkan Reygan mengabulkan permintaan gadis itu sebelum dirinya meledak.
****
Ada yang sudah menunggunya ketika Reygan sampai di depan gerbang rumahnya. Orang itu tampak bingung.
Reygan turun. "Cari siapa, Pak?"
"Oh, ini Mas Reygan?"
"Iya, saya Reygan."
"Ada kiriman paket untuk Mas Reygan."
Reygan menerima kotak besar berlapis kerta cokelat itu. Lalu menandatangani bukti penerimaan.
Bapak-bapak berompi oranye itu pamit.
Siapa pula yang mengirim paket? Jangan-jangan Ari, Adit atau Kiki yang iseng mengirim? Lalu ketika dia buka, akan ada kolor Avatar misalnya. Atau lebih ekstrim lagi, ada bangkai tikus. Ya ya ya, bisa jadi.
Reygan meletakkan begitu saja kotak besar itu di atas meja di kamarnya. Dia belum ingin membukanya sekarang. Dia butuh mandi dan mencari makanan apa saja yang ada di kulkas. Mama? Sejak kemarin dia belum bertemu.
Selesai mandi, Reygan menuruni anak tangga. Matanya tidak sengaja menangkap kalender yang terpajang di dinding. Berpikir sedetik dua detik, dia kembali berlari ke kamaranya. Menuju meja tempat di mana kotak berukuran sedang ia letakkan.
Apa mungkin? Dia mulai berharap. Tapi sebagian hatinya menyangkal. Sudah tiga tahun, mana mungkin?
Dia merobek tanpa berpikir lagi. Hatinya terus mendesak. Dia ingin segera tahu isi kotak itu, Lapisan kedua, bungkus berwarna monokrom. Dia merobeknya. Itu lapisan terakhir sebelum dia menemukan plaster yang memastikan isi kotak aman.
Reygan membuka kotak dengan gemetar. Rasa itu lalu berganti dengan takjub ketika menemukan peralatan melukis di dalam kotak. Kanvas, kuas, cat air dan palet. Dia meneliti lagi, siapa tahu ada surat yang terselip. Dia menyibak isi kotak dan menemukan amplop berwarna pastel.
"Halo, Mas Reygan...
Mas Reygan apa kabar?
Di sini aku baik-baik saja, aku harap Mas Reygan juga sama baiknya.
Ini pertama kali aku mengirim sepucuk surat.
Bersama surat ini aku titipkan sedikit pengobat rindu.
Semoga Mas Reygan suka dengan hadiahku.
Aku tidak berbakat melukis, jadi mungkin saja bakat Papa menurun ke Mas Reygan.
Banyak hal yang berubash, Mas.
Semoga Mas Reygan dikelilingi orang-orang yang baik.
Sehingga tidak akan ada yang menyakitimu.
Dari adikmu tersayang, Adriana <3"
****