Ada satu saung di sana yang menghadap ke pantai. Selepas makan, mereka duduk di sana. Matahari sudah di atas kepala, Aneska juga berpikir dua kali untuk bermain ombak sekarang.
Di sebelahnya, Reygan membaringkan tubuh. Menekuk satu tangannya untuk bantalan. Aneska duduk. Dia kekenyangan makan ini rebus dua porsi.
"Pacar lo siapa, Nes?"
Aneska menoleh dengan sadis. Itu pertanyaan sarkasme. Reygan sudah tahu. Kenapa harus tanya lagi.
"Ari orang baik, Nes. Gue temenan sama dia sejak SD."
"Mau dari TK juga bodo amat."
"Tapi gue nggak tahu dia suka sama lo sejak kapan."
"Kelas sepuluh."
Reygan bangun. "Hah? Serius?"
Aneska mencepol rambut panjangnya asal. Dia kesal rambutnya dibuat mainan oleh angin. "Rina suka Ari."
Aneska menyadari hal itu sejak lama. Dia tahu selama ini Rina pura-pura mengagumi Reygan hanya sebagai kedok. Dia tahu Rina diam-diam menatap Ari meski tangannya menunjuk Reygan. Sejauh ini, Aneska hanya membiarkan. Dia menunggu Rina bercerita dengan sendirinya. Sampai saat ini belum.
Reygan tidak bisa berkata. Dia mencoba mengingat berapa kali dia melihar Rina mencuri pandang ke arahnya, yang ternyata ke arah Ari. Dia pikir mungkin saja Rina juga seperti perempuan di sekolah kebanyakan.
"Itu alasan kedua?"
"Yups. Pertama, gue udah bilang sama lo kalau nggak boleh pacaran sama Papa. Kedua, gue nggak mau nyakitin siapapun. Jadi mending sekalian nggak usah bikin Ari berharap."
"Tapi orangnya berharap."
"Ya urusan dia, sih." Aneska menggaruk hidungnya dengan sebal.
Membuat Aneska kesal atau marah ternyata menyenangkan. Reygan membenarkan dalam hati.
"Lagian cantiknya gue apa?" gumamnya sendiri. Tapi Reygan dengar.
Aneska aneh, ya? Dia lebih mempermasalahkan dia gendut atau tidak ketimbang masalah cantik atau tidak. Sedangkan, bagi sebagian besar perempuan di luar sana, dua poin itu adalah segalanya.
"Boleh jujur?"
Aneska mengangguk.
"Lo cantik, kok."
Kalau saja Aneska duduk di tepian saung, dia mungkin sudah terjungkal setelah mendengar kalimat Reygan. Ya ampun, Reygan bisa ngelawak juga.
Reygan menghela napasnya. "Iya, gue cuma bercanda."
Aneska masih tertawa. Dia membenarkan posisi duduknya sebelum sungguhan terjungkal ke pasir.
"Lo suka pakai bedak bayi?" Reygan menebak.
"Kok tahu?"
"Bau khas bayi kalau di dekat lo."
"Gue juga pakai minyak telon."
"Astaga!"
"Iya, bully sesuka hati lo deh. Gue udah terbiasa."
Reygan suka bau Aneska sejak awal--bukan wewangian yang menyengat di hidung. Bau Aneska menggambarkan watak gadis itu yang sederhana. Dan apa adanya.
Menunggu senja, Aneska sibuk dengan handycam-nya. Reygan mengeluarkan buku sketsanya lagi. Mencoret apa saja.
"Gue nggak pernah lihat lo gambar sebelumnya," celetuk Aneska. Atau mungkin Aneska saja yang tidak lihat?
"Baru beli ini kemarin."
"Oh ya? Lihat ke kamera dong."
Reygan mnegangkat kepalanya dari kertas sketsa. Aneska sudah berpindah duduk menghadap ke arahnya, membelakangi laut. Angin menelisik anak rambut yang lepas dari cepolan ala-ala itu.
"Gue bakal jualin video ini ke fans-fans lo." Aneska merusak suasana. Reygan segera sadar jika dia bersama perempuan gila.
"Iya, suka-suka lo aja." Reygan kembali menekuri kertasnya. Dia bingung mau gambar apa. Tapi berhubung sejak tadi objek di depannya hanya Aneska, dia tidak punya pilihan lain.
"Jadi sekarang mau nyoba gambar?"
"Pengen ngelukis. Tapi dimulai dari yang kecil dulu. Coret-coret di kertas."
"Kapan-kapan kalau lo udah mulai ngelukis beneran. Gue diajak, ya?"
Reygan sempat tersanjung. Tapi dia ingat Anseka seperti apa. Dan bagaimana hubungan mereka. "Lo berisik banget. Nagapin ngajak lo?"
"Gue bisa kasih inspirasi. Coba aja."
"Inspirasi? Ngerusak suasana, iya."
Aneska menurunkan handycam-nya sambil menggerutu. "Pulang! Gue pengen pulang sekarang!"
Reygan tidak menanggapi sifat kekanakan Aneska yang ini. Aneska memang sederhana. Tapi di balik kesederhanaan itu ada banyak sifat tak terduganya.
Aneska tidak mengganggu Reygan lagi. Dia berpindah ke sisi saung yang lain. Dia menjulurkan kedua kakinya, menggoyangkan dengan bosan. Menatap laut luas yang berkemilauan terkena sinar matahari.
"Nes."
"Hmm."
Nes!"
"APA?"
"Galak banget."
"Apa?" jawabnya dengan suara rendah.
"Noleh sebentar."
"Nggak."
"Ya udah."
Aneska akhirnya menoleh. Matanya disuguhi dengan kertas yang Reygan pegang di depan dada, bergambarkan tokoh Nyonya Puff di kartun Spongebob. Maksudnya apa coba?
"Ini kalau lo gendut modelannya begini. Daripada lo sibuk tanya lo gendut atau nggak. Sering-sering nonton Spongebob. Biar bisa ngaca."
Sumpah, yang ini garing.
Aneska sempat tidur untuk membunuh waktu. Daripada dia hanya duduk dan mendengar Reygan berbicara hal konyol lainnya. Ketika dia terbangun, dia tidak melihat Reygan di sekitar. Setelah mengucek mata, dia menemukan lelaki itu berdiri di garis pantai.
"Curang! Nggak bangunin gue," susulnya dengan langkah terseok. Dia masih pusing sehabis tidur.
"Udah, berkali-kali. Dasar kebo."
Aneska siap melontarkan kata-kata sadisnya, tapi kalah dengan pemadangan di depannya. Dia tergugu. "Rey, pegangin gue." Aneska mulai meracau. "Buruan! Pegangin gue!" Atau dia akan terlena dan terseret ombak.
Reygan menoleh, dengan terpaksa meraih satu lengan Aneska. "Norak."
Aneska tidak peduli lelaki itu mengatainya norak. Karena dia memang norak. Dia membuka mulutnya lebar. Tak henti-hentinya mengagumi langit senja yang terasa dekat. Sedekat nadi.
Pada matahari yang hendak pulang ke perpaduan. Aneska sangat menyukai senja. Kalau saja dia punya banyak kesempatan untuk melihat senja senyata ini. Ombak yang bergulung lembut memeluk kakinya, membawa pasir yang dia pijak.
Reygan sudah lupa tentang senja di depan sana. Dia sibuk menatap separuh wajah Aneska. Serta hangat yang merambat dari lengan gadis itu.
"Nes, itu iler di pipi."
Aneska tanpa menoleh mengusap pipinya dengan tangan. Reygan kali ini gagal membuatnya kesal. Dia pikir Aneska akan menoleh dan menatapnya tajam. Tapi rupanya dia kalah dengan senja.
Tidak ada bekas iler di pipinya. Reygan hanya iseng.
"Gue nggak mau pulang, Rey."
"Ya udah, nggak usah ikut pulang."
Aneska menginjak kakinya. Oke, oke. Reygan mengerti maksud Aneska. Tidak perlu main fisik juga.
Reygan mengerti cita-cita kebanyakan orang pada umumnya. Mereka ingin kehidupan yang tenang, damai dan tampa polusi.
Rumah di tepi pantai. Laut dan suara ombak.
"Lo bisa nikah sama nelayan, Nes."
"Ide bagus."
Reygan melepas lengan Aneka. Matahari sudah separuh tenggelam tapi gadis itu belum selesai menatap takjub.
Semua orang menyukai senja.
Pertunjukan alam semesta sore hari itu selesai sudah. Suara ombak semakin nyaring. Deburnya membuat dada bergetar, bahkan airnya sudah mulai meninggi hingga ke permukaan kering yang tadi dipijaknya. Aneska melangkah riang menuju mobil. Reygan tidak akan mencela kali ini. Dia tidak tega merusak senyum terkembang di wajah gadis itu.