"Mau ke mana, Rey?" Kiki melihat sahabatnya itu beranjak meninggalkan tepi lapangan.
"Cari pemandangan lain."
Kiki ikut berdiri. Membiarkan dua sahabatnya tetap tinggal di sana. Adit sebenarnya juga ingin kabur. Tapi Ari berhasil menahannya untuk tetap berada di sana.
Pemandangan lain itu bukan berarti Reygan harus melihat pemandangan yang menyebalkan seperti Maura contohnya. Dia yang berniat menaiki tangga, menuju kelasnya harus terhenti di anak tangga ketika melihat Maura sedang berbicara dengan seseorang di dekat toilet perempuan.
Kiki yang berjalan di belakang Reygan pun hampir menabrak punggung lelaki itu.
"Lo masih kelas sepuluh. Jangan sok kecantikan, deh!" Suara Maura terdengar.
"Kali ini nggak usah ikut campur, Rey. Ayo balik ke kelas aja." Kiki menyarankan.
Tapi Reygan mengabaikan ucapan Kiki, dia masih menunggu. Reygan hanya perlu tahu siapa yang menjadi korban Maura kali ini.
"Gue tahu semuanya! Jangan sok polos. Gue dapet laporan lo haha-hihi sama Reygan di halte kemarin sore. Mau nyangkal apalagi lo?!"
Mata Reygan membulat, dia segera menuruni anak tangga hingga dua-dua sekaligus, menyingkirkan tangan Kiki yang berusaha menahannya. Reygan melangkah lebar menuju Maura dan Riana berada.
Baru saja kemarin dia mencemaskan hal macam apa yang akan terjadi pada Riana, dan sekarang dia menyaksikannya sendiri. Dengan cepat Reygan mencekal lengan Maura, menarik gadis itu mundur hingga menjauh dari Riana.
"Nggak apa-apa?" tanya Reygan pada Riana yang kini terpojok ke tembok. "Ki, tolong antar Riana ke kelasnya," pintanya.
"Aku belum selesai sama dia!" Maura berusaha menghalangi, membuat Kiki jadi gentar untuk mendekat.
"Kalau lo ada masalah, lo bisa ngomong ke gue! Bukan nindas orang kayak gini. Lo murid biasa, bukan preman pasar. Memangnya lo disekolahin buat jadi preman?" Reygan sudah lama mematikan hatinya untuk Maura. Dia tidak perlu berpikir panjang untuk memilah-milah kata. Reygan melirik ke Riana sesaat, mendapati gadis itu yang gemetar. "Gue selama ini udah sabar, Ra. Lo nggak ngerti juga? Sekali lagi lo gangguin Riana, gue akan bikin perhitungan. Gue nggak peduli walau lo perempuan sekalipun." Reygan berkata dengan tegas.
"Lagian dia ini siapa, sih? Dia bukan siapa-siapa juga. Kamu ngapain belain dia?"
"Jangan pernah sentuh Riana. Lo nggak pantes nyentuh dia. Ngerti?"
"Apa hebatnya dia-"
"NGERTI NGGAK?!"
Maura mencicit takut. Riana yang juga mendengarnya bahkan terkejut. Lima kelas yang berada di lantai satu, yang letaknya sejajar dengan toilet itu, serentak terbuka pintunya. Kepala-kepala murid melongok ingin tahu siapa yang berteriak dan apa yang sedang terjadi. Beberapa guru menatap maklum ketika tahu siapa yang sedang membuat keributan di sekolah.
Aneska melangkah ke tangga dengan santai. Dia bahkan belum menyadari apa yang sedang terjadi di sisi tangga dekat toilet. Aneska bahkan terduduk saking terkejutnya. Sambil tangannya berpegangan erat di besi sisi tangga.
Riana jadi serba salah. Dia menatap Reygan yang kini memerah wajahnya. Ketimbang dirinya, dia justru khawatir dengan Reygan. Dia takut lelaki itu akan kena masalah lagi di sekolah, apalagi kali ini justru disebabkan olehnya.
Dan benar saja, ketakutan Riana kini menjadi kenyataan, Bu Ida muncul sedetik kemudian. Langkahnya cepat dan lebar-lebar. Teriakan Reygan barusan cukup membuatnya beranjak dari kursi dan menuju ke sumber suara. "Kalian semua ikut Ibu ke kantor!" Bagai gema petir di siang bolong.
"Riana nggak salah, Bu." Reygan menahan gerakan Riana.
"Tanpa terkecuali! Kamu juga, Anes!"
Aneska mimpi buruk apa semalam?
Aneska mengangkat dua jari ke atas. "Sumpah, Bu. Saya nggak tahu apa-ap--"
"Kalian semua ke kantor Ibu sekarang!" perintah Bu Ida tak mau tahu.
Lalu berjajarlah lima kursi di depan meja Bu Ida. Kelimanya duduk di sana. Dari sisi kiri Riana, Reygan, Aneska, Kiki dan Maura yang paling kanan.
Bu Ida yang hendak duduk, urung karena seseorang mengetuk pintu. Kepala Pak Dodo melongok ke pintu. Menyampaikan dengan singkat. "Bu Ida, ada tamu di depan. Katanya penting."
"Suruh tunggu sepuluh menit." Bu Ida mencoba duduk dan gagal lagi.
"Mendesak, Bu. Nggak mau menunggu. Harus sekarang." Pak Dodo belum mau pergi sebelum memastikan Bu Ida berdiri dan ikut ke depan bersamanya.
Akhirnya Bu Ida mengalah. Dia berpesan pada lima muridnya yang sudah duduk rapi meski dengan wajah tertekuk, agar menunggu. Aneska sebentar lagi akan meledak.
Suara pintu tertutup dari luar. Aneska siap mengamuk. Lagipula tidak ada siapa-siapa di ruangan ini. Ruangan berukuran sedang ini mutlak teritorial Bu Ida.
"Aduh, bakal panjang masalahnya." Kiki mengeluh lebih dulu. Aneska siap menatap tajam Reygan yang duduk di sebelahnya. Kalau tatapan itu membunuh, mungkin Reygan sudah berdarah-darah.
"Kamu ngomong apa adanya nanti pas Bu Ida tanya. Kamu jangan takut. Ada aku."
WHAT?! Aneska tidak salah dengar?
Riana menyahutinya dengan mengangguk pelan.
"Kenapa gue jadi ikut kena?" Aneska berkata sinis. Biar Reygan menoleh ke arahnya dan melihat kedua matanya yang melotot lebar.
"Syukurin!" Maura yang menjawab.
Tangan kanan Aneska terulur, dan sejurus kemudian terdengar teriakan kesakitan dari sisi paling kanan. Dia menarik rambut kuda Maura dengan kencang. Membuat Kiki kelabakan di tempat karena suara nyaring Maura memenuhi gendang telinganya.
Maura yang tidak terima balas menjumput rambut Aneska yang dicepol asal dengan bolpoin. Sakit, Aneska hanya meringis, tidak berteriak heboh.
"Apa? Apa? Apa? Berani lo sama gue?" Maura memajukan tubuhnya. Kiki sampai merapatkan tubuhnya di sandaran kursi. Takut kena cakaran salah alamat.
"Lo kira gue takut sama lo selama ini?" Aneska berdiri, menginjak kaki Kiki lalu merangsek ke Maura.
Kemudian terjadilah adu jambak ronde kedua. Kiki sambil mengaduh langsung menyingkir. Dia tidak mau terlibat.
"Pisahin, Ki." Reygan berkata dengan tenang. Dia menahan Riana yang hendak berdiri, berniat memisahkan.
Kiki di dekat pintu bergidik. "Nggak berani gue."
Reygan berdiri, melangkahi dua kursi sekaligus dan menarik bahu Aneska hingga lepas dari Maura. Yang justru dihadiahi jambakan Aneska. Maura yang belum puas, dia kembali merangsek maju. Tangannya menggapai rambut Aneska.
Riana yang sejak awal ingin melerai mendadak ragu.
"Hah," embusan napas Kiki terdengar lelah. "Ya beginilah hidup seorang Reygan, Ri. Hidupnya Adit mah beda banget. Kalem, lurus, bahkan nggak menanjak. Beda sama yang ini. Kalau yang ini kamu harus terbiasa lihat adegan jambak rambut seperti itu. Malah kalau dulu-dulu nih ya, ada adegan adu panco. Yang paling parah, adegan mandiin sapi."
Riana melongo. Dia percaya saja dengan narasi Kiki barusan.
Kiki memang benar, dia tidak berbohong. Tapi untuk yang terakhir itu, jangan dipercaya, ya.
****