Mereka tidak berbicara sama sekali. Reygan memindahkan beberapa tumpuk buku dalam kardus. Sementara Aneska membersihkan rak besar dengan kemoceng. Debu berterbangan, membuatnya bersin berkali-kali.
Lama saling diam, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tapi Aneska benci keadaan senyap. "Tadi siapa?"
"Siapa?" Eh, Aneska kira lelaki itu enggan menyahut.
"Yang ketemu di depan tadi. Kok dia tahu nama gue?"
"Riana. Soal dia tahu nama lo, gue nggak tahu."
"Riana siapa?"
"Anak kelas sepuluh."
Percakapan itu selesai begitu saja.
"Jangan gerak!"
Aneska mendadak tegang. "Kenapa? Kenapa? Ada tikus, ya?"
"Bukan."
"Terus apa?"
"Diam, jangan gerak."
"Lo nggak usah nakut-nakutin gue deh!" serunya.
"Punggung lo." Reygan berpikri sejenak. Aneska tadi tidak takut dengan tikus, mungkin kalau cicak barulah masalah besar.
"Ada apa di punggung gue? Buruan bilang!" Aneska sudah merinding sendiri. Dia tidak berani menoleh. Tapi dia merasa ada pergerakan di punggungnya.
"Cicak."
"MAMAAA!!!!"
Reygan ingin tertawa, tapi melihat Aneska yang kelabakan di tempat membuatnya kasihan. "Gue ambil cicaknya. Jangan gerak. Cicaknya ikutan heboh ini. Makanya diam."
Aneska menurut. Dia hampir menangis.
"Buruan! Keburu masuk ke baju!!"
"Tapi..."
"Cepetan!!"
"Lo minta maaf dulu ke gue."
"OKE! GUE MINTA MAAF!"
Reygan sempat tersenyum sebelum menangkap cicak yang hampit menyelip di lipatan baju di dekat ikat pinggang. "Bentar. Sori, ya. Gue bukan aji mumpung. Nanti gue dituduh cari kesempatan."
"Udah cicaknya? Udah belum?!" Aneska sudah kalap. Bulu kuduknya berdiri. Sekujur tubuhnya dipenuhi keringat.
Reygan menangkapnya dan membuang keluar jendela. Aneska terduduk lemas. Mengatur napasnya. Dia tidak takut dengan tikus, tapi dia benci cicak.
"Gue aja nangis," sindirnya.
"Gue nggak nangis ya!" sergahnya.
"Itu di pipi apa?"
Aneska mengusap pipinya dengan tangan. Bukan air mata tapi keringat yang menetes dari dahinya. "Sialan!"
Mereka selesai ketika bel istirahat berbunyi. Lupakan tentang Aneska yang berteriak, menimpuk, dan menyebutkan segala binatang primata ketika melihat cicak. Reygan tidak bisa membantu banyak. Dia jadi kasihan dengan cicak-cicak yang kena timpuk Aneska. Bahkan ada satu yang sampai putus ekornya.
Reygan segera mencari keran air terdekat. Aneska menyusul.
"Soal Sonia, gue minta maaf. Itu cukup jadi masalah kalian. Gue sadar nggak berhak ikut campur."
"Gue belum berani ketemu dia," kata Reygan apa adanya. "Banyak hal yang gue sesalin. Gue malu ketemu sama dia."
"Soal di atap, gue mungkin sok tahu. Kalian di sana lebih lama. Ada hal yang nggak gue dengar. Tahu-tahu gue datang, sok pahlawan. Teriak-teriak nggak jelas."
"Nggak apa-apa, Nes. Thanks, lo datang waktu itu. Kalau lo nggak datang, gue mungkin juga kalap."
Aneska tersenyum.
"Jadi ini yang bikin Ari naksir sama lo?"
Aneska tidak lagi terkejut. Soal fakta itu dia sudah dengar lama. Tapi selama ini, Ari tdak berani bilang langusng. Mungkin dia sudah tahu apa jawaban Aneska.
"Kenapa? Senyum gue bikin terbang, ya?"
Reygan menggeleng. "Tapi sori. Hal itu nggak berlaku buat gue."
"Bilang aja lo mau ngejek!" Aneska sengaja melemparkan air di genggaman ke wajah Reygan sebelum melangkah ke kelasnya.
****
"Dijemput siapa, Ri?"
Mereka selesai merayakan ulangtahun Adit di lapangan basket. Seperti kejutan pada umumnya. Kiki yang menyiapkan kue. Ari yang menyiapkan tepung terigu. Reygan yang menyiapkan kado spesial untuk Adit. Jangan ditanya apa, besok saja biar orangnya langsung yang bilang.
Riana menoleh. Menadapati Reygan berdiri di sebelahnya sebelum duduk di kursi halte. Berjarak beberapa meter dari tempat Riana duduk.
"Atau mau naik bus?"
"Mama katanya mau jemput."
"Udah kamu telepon?"
"Aku nggak bawa HP, Mas."
Reygan tanpa diminta mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Nih, coba telepon. Siapa tahu Mama kamu lupa. Kamu kan biasanya pulang tepat waktu. Eh, tadi udah ijin kan?"
Riana mengangguk seraya menerima ponsel Reygan tanpa ragu. Sebentar lagi hujan, lebih baik menghubungi Mama sekarang. Kalau Mama tidak bisa menjemput, dia akan naik taksi.
"Mama kamu, Mas?" Riana urung menyentuh layar. Dia sungguh menunggu jawaban Reygan. Bahkan ditatapnya lelaki itu dengan seksama.
Hingga jawaban itu keluar dari bibir Reygan. "Iya, mamaku, Ri."
"Cantik."
Reygan mengangguk. Lalu berkata, "2809."
"Ya?" Riana belum mengerti.
"Kodenya, Ri. Ya ampun. Kamu laper? Nggak kebagian kue Adit tadi?" candanya.
"Eh, iya." Riana lalu mengetikkan kode itu. Layar membuka seketika. Dia mengetik nomor yang sudah dia hapal di luar kepala.
Sementara Riana sibuk berbicara di telepon, Reygan menunggu. Satu bus lewat, dia abaikan.
"Makasih, Mas." Riana mengansurkan ponsel kepada pemiliknya.
"Udah? Gimana? Dijemput?"
"Iya, Mama udah di jalan. Macet katanya."
"Aku temenin nunggu."
"Eh, nggak usah. Mas Reygan pulang duluan aja. Aku nggak apa-apa, kok." Riana tidak enak jika harus merepotkan Reygan.
Tadi saja dia mati-matian menolak tawaran Adit untuk mengantarnya pulang.
"Pulang jam segini atau tengah malam, sama aja, Ri."
"Maksudnya?"
"Nggak ada orang di rumah. Jadi nggak masalah aku pulang jam berapa. Kamu beda. Kamu perempuan. Kalau digangguin gimana? ini udah lewat jam tiga soalnya."
Riana tidak menolak lagi. Apa yang dikatakan Reygan masuk akal. Tapi satu hal menelisik keingintahuannya.
"Mas Reygan suka naik bus?"
"Suka. Kalau bawa mobil sering dimodusin minta antar." Reygan berkata santai.
"Jadi cuma aku yang belum minta antar jangan-jangan?" selorohnya.
"Wah, aku harus ngelewatin nyawanya Adit dulu." Mereka lalu tertawa.
Riana tiba-tiba mengeluarkan selembar kertas putih tanpa garis dari dalam tas. Dia juga mengambil bolpoin. Dengan gerakan cepat dia menggambar di atas kertas itu. Reygan memperhatikan.
"Taraaaaa!"
Reygan mengerutkan dahi.
"Hadiah buat Mas Reygan. Simpan aja."
"Apa ini? Reygan menerima kertas dari gadis itu. Dia meneliti dengan dahi berkerut. Sebuah lingkaran besar. Terdapat mata, hidung dan tawa lebar.
Riana berbaik hati menjelaskan. "Akhir-akhir ini sering lihat Mas Reygan murung. Mungkin Mas Reygan lagi banyak masalah. Tapi lihat Mas Reygan ketawa barusan, aku ikut senang."
"Boleh jujur, Ri?" tanyanya hati-hati. Riana mengangguk mantap. "Kamu nggak bakat gambar, ya?" Di luar dugaan, Riana justru tertawa.
"Padahal papaku jago ngelukis, lho."
"Oh, ya?"
Riana kemudian bercerita. "Jadi Papa itu mulai melukis sejak aku lahir, mungkin malah sebelumnya. Mulai dari hobi. Terus ada yang suka. Papa awalnya nggak mau lukisannya dijual. Tapi yang beli tetap ngotot. Sampai ngikutin Papa ke mana aja. Pernah juga sampai bikin tenda gerbang rumah. Papa luluh seminggu kemudian. Nah, dari situ semua dimulai. Papa bekerjasama dengan kurator ternama."
"Hebat Papa kamu." Reygan bertepuk sebelah tangan. Terlihat antusias. Bagaimana tidak, Riana begitu semangat menceritakan profil papanya dalam satu tarikan napas. Matanya berbinar bahagia. Seolah hanya dengan menyebut nama 'Papa' saja sudah membuatnya senang.