"Sore, Anes."
"Sore juga." Aneska melengos begitu saja. Padahal biasanya dia yang heboh sendiri. Membuka pintu minimarket sambil berseru memanggil Ryan. Tapi kali ini ada yang berbeda.
Ryan juga merasakan hal itu. Mungkin saja Aneska sedang PMS.
Gadis itu mengambil eskrim jumbo dan satu makanan ringan lalu membawanya ke meja kasir.
"Tumben nggak beli titipan Mama, Nes?" Sambil memindai, Ryan berkata.
"Mama nggak masak sore ini. Tahu pada ke mana."
Ryan ber-oh pelan. Kembali bertanya, "Kok nggak beli magnum? Maya nggak di rumah juga?"
"Nggak ada."
"Kuliah mugkin?"
"Nggak tahu."
Ryan tidak bertanya lagi. Dia sudah memastikan kalau Aneska sungguhan PMS. Terbukti juga dari eskrim ember yang dibeli gadis itu.
Aneska menggumam pelan setelah membayar. Antara terdengar dan tidak. Tapi Ryan tetap bilang hati-hati di jalan.
Aneska tidak langsung pulang. Dia memilih duduk di salah satu bangku, membuka eskrim jumbo-nya dan melipat kaki di kursi, Dia menyuap dengan suapan besar.
Salah siapa semua orang di rumah mendadak pergi? Aneska lapar dan di rumah Mama tidak sempat masak apa-apa. Mas Kinan belum pulang kerja. Mbak Maya? Paling lagi pacaran.
Daripada suntuk di rumah, mending dia di sini, Setidaknya ada yang lewat, ada yang dijadikan objek pandangan.
Satu objek menyebalkan lewat di depannya. Seharusnya objek itu cukup berjalan lurus menuju rumahnya. Tidak perlu mampir ke minimarket. Dan pakai acara duduk segala di kursi sebelahnya.
Reygan menenggak air mineral dingin hingga tandas separuh. Lalu menatap Aneska lama. Celana joger, kaos hitam kedodoran, dan rambut panjang yang dicepol asal. Terlebih lagi posisi duduk gadis itu.
"Apa lihat-lihat!"
"Punya mata bisa lihatlah!" balasnya sengak.
Aneska menyendok eskrimnya lagi dengan gerakan berlebihan.
"Bagi dong, Nes." Reygan menela ludah melihat seember eskrim yang menggoda itu. "Lo nggak bakal habis makan segitu."
Anesa menyodorkan eskrim itu ke Reygan. Dia ganti membuka makanan ringan. "Baru pulang lo?"
"Futsal bareng anak-anak tadi. Mumpung nggak hujan."
Aneska menatap lagit gelap. Dia harus sms ke Mas Kinan agar pulang bawa makanan. Dia menarik ponsel dari saku celana, mengetik singkat dan mengirimnya.
Dia beralih ke Reygan yang menyantap eskrimnya dengan semangat. "Lain kali macan lo itu harus dikandangin."
"Macan? Maura maksudnya?"
"Siapa lagi? Nih ya, gue minta maaf bukan berarti gue yang salah."
"Ya terus ngapain lo minta maaf?"
"Ya males aja. Gue udah nabung satu hukuman di Bu Ida. Jangan sampai ditambah lagi. Gue tahu banget reputasi Maura, yang jelas bakal diputarbalikan sama dia."
"Nggak apa-apa. Ngalah aja sama dia. Kalau dia keterlaluan, jangan diem."
"Yang tadi itu keterlaluan. Dia ngatain gue rabun!"
"Serius, yang tadi itu nggak ada apa-apanya. Dia udah ngelakuin banyak hal,yang kaau gue sebutin lo bakal geleng-geleng kepala."
"Dan setiap bikin ulah, lo turun tangan kayak tadi?"
"Itu juga pas gue lihat. Nggak tahu yang lain."
"Jadi intinya, Maira suka bikin masalah sama orang yang deket sama lo?"
"Bisa jadi."
Aneska menghela napasnya. "Segitu besar ya pengaruh lo?"
"Gue pengen sekolah yang adem-adem aja. Berangkat, belajar, dan pulang. Nggak perlu ngurusin Maura yang gangguin orang."
"Ya kenapa harus diurusin?"
"Siapa coba yang berani ngelawan dia?"
"Gue." Aneska menunjuk dirinya sendiri. Reygan tertawa, hingga terbatuk. Aneska merebut eskrimya kembali. "Tawa lo."
****
"Mama kelihatan bahagia."
"Ya?" Diana mengangkat wajahnya. Diana pulang sejam yang lalu. Memasak sarapan dengan bahanyang tersisa di kulkas. Reygan harus sarapan sebelum berangkat sekolah. Dia tau anak lelakinya itu jarang sarapan.
Diana menurunkan sendoknya. Memang wajahnya terlalu kentara? Sampai-sampai Reygan menyadarinya.
"Mama bahagia?" Itu bukan pertanyaan biasa ketika Diana menatap mata Reygan. Bukan jenis pertanyaan apakah dirinya memang sedang bahagia. Bukan seperti itu.
"Mama bahagia bisa lihat kamu sebelum berangkat sekolah. Bisa masakin kamu sarapan. Kita duduk makan bersama." Diana bersikap normal, menjawab seharusnya.
Reygan meraih satu tangan mamanya di atas meja. Menggenggamnya. "Apa yang buat Mama bahagia, aku pasti dukung. Karena aku juga bakal bahagia, Ma."
Diana tersenyum. Mendapati wajah sendu Reygan menatapnya. Bagaimana jika Reygan tahu yang sebenarnya?
"Kamu mau janji satu hal, Reygan?"
"Janji apa, Ma?"
"Mama nggak mau kehilangan kamu. Jangan pernah tinggalin Mama, ya?"
Reygan mengangguk tanpa ragu. Tanpa diminta, dia akan tetap berada di samping mamanya. Bahkan dalam keadaan terburuk sekalipun. Bukan Reygan ingin hal itu terjadi. Tapi dia tahu hari itu cepat atau lambat pasti akan datang.
Di mana dirinya harus membuat keputusan besar. Yang mungkin menyakiti mamanya. Lebih dari itu, dia menyakiti dirinya sendiri.
"Hujan, Rey. Mama antar, ya?"
Reygan menggeleng. Meraih payung di dekat pintu. "Mama kan baru pulang. Mama mending istirahat. Aku bisa naik bus."
"Mobil kamu jadi rongsokan di garasi tuh."
Reygan mengangkat bahu. "Enakan naik bus, Mas."
"Kok gitu?" Diana menatap heran Reygan yang membuka payung di teras. "Karena Anes, ya?"
"Kok jadi Anes, Ma?"
"Kamu senang naik bus biar bisa bareng Anes, kan?"
"Nggak."
"Anes anaknya manis, Rey. Masa kamu nggak suka?" selorohnya. Dia hanya bercanda.
"Manis apanya sih, Ma? Anes itu nggak ada manis-manisnya." Reygan menekuk wajahnya.
"Iya, iya. Mama nggak akan ledeki kalian lagi. Sana berangkat. Hati-hati. Nanti siang Mama jemput. Oke?"
Reygan mencium punggung tangannya dan menerabas hujan.
Di perempatan jalan, dia bertemu Aneska yang sibuk menutupi kepaanya dengan kedua tangan. Tanpa permisi, Aneska berlari ke arah Reygan. Merapat di bawah satu payung yang sama. Membuat lelaki itu mengutuk pelan. Semoga Aneska dengar.
"Lo nggak punya payung?" sungutnya.
"Nggak tahu ditaruh Mama di mana!" jawabnya sebal. Dia hanya menumpang payung. Tapi reaksi lelaki itu seolah sedang ditempeli benalu.
Mama dan Papa ke Jogja dan masih pulang lusa. Entah ada acara apa di sana. Tanya saja ke Mas Kinan, dia yang diberi mandat penuh untuk menjaga rumah--memastikan jika Aneska tidak memecahkan piring dan Maya tidak pulang larut malam. Kalu saja weekend mungkin ketiga anaknya disuruh menyusul ke sana.
Reygan tidak lagi mendebat, memilih untuk segera bergegas menuju halte. Aneska di sampingnya berusaha mengimbangi langkahnya. Payung itu cukup besar, tapi dia merasakan sisi jaketnya basah. Nanti kalau Aneska merapat lebih dekat lagi, disangkanya modus. Reygan pasti sengaja membuatnya kesal!
Hujan masih turun ketika bus merapat di halte depan sekolah. Aneska membenarkan resleting jaketna ketika Reygan tanpa meunggu apalagi bilang, menyeberang lebih dulu. Setidaknya bilang, jangan main tinggal aja!
Dengan menggerutu, Aneska berlari kecil menyeberang. Habis sudah kesabarannya. Dia menyesal terlalu berharap jika Reygan sebenarnya baik. Menyebalkan tetap menyebalkan.