Chereads / Garis Interaksi / Chapter 13 - 13. Kebahagiaan

Chapter 13 - 13. Kebahagiaan

"Lo cemburu, Ki?" Adit menyikut lengannya.

"Kagak. Gue udah hapal jadwal dia. Sehari sama kita. Sehari sama Sonia."

"Sonia siapa?" Riana bersuara.

Kiki berbaik hati menjelaskan. "Rumit, Ri. Yang jelas Sonia ini spesial di mata Reygan."

"Spesial?" kejarnya. Riana sampai meletakkan sendoknya.

"Baru dekat tiga bulanan lah. Banyak yang ngira mereka pacaran. Tapi nggak. Reygan anti pacaran. Sonia juga bukan perempuan yang gampang baper."

"Kak Maura?"

Ari menyahut. "Duh! Yang itu udah lain cerita. Dia kayak dedemit yang muncul sewaktu-waktu lalu bikin masalah. Kamu kalau ketemu dia banyak-banyak istighfar, Ri."

"Fans nomor satunya Reygan, Ri. Kalau ada yang deketin Reygan, harus berhadapan dulu sama dia. Nah, di antara banyak perempuan, yang lolos cuma Sonia."

"Kok gitu?" kernyitnya.

"Ada lah dulu masalah. Maura cari gara-gara sama Sonia. Reygan jelas bela Sonia. Maura dibikin malu di depan umum." Adit ikut menjawab. Namun enggan menyebutkan secara rinci kejadian itu. Dia jadi geli kalau ingat.

"Kemungkinan target Maura selanjutnya Anes." Kiki menyeruput tandas es tehnya.

"Kenapa bisa Anes?" Ari bingung. Karena setahunya Aneska bukan perempuan penggila Reygan. Da ke depannya tidak akan ada prospek seperti itu.

"Setiap hari mereka berangkat dan pulang bareng. Naik bus. Ini baru prediksi, sih. Buat jaga-jaga aja."

"Gue sih pegang Anes," kata Ari yakin.

Riana harus mengernyit lagi. Sonia, Maura, dan Anes?

"Aneska, Ri." Adit membaca kebingungan dan penasaran di wajah Riaa. Yang dibalas gumaman gadis itu. Kalau nama itu dia kenal. Aneska yang dimaksud di sini adalah Aneska kakak kelas yang cantik itu, kan?

Ceritanya panjang. Jadi dikelasnya, para makhluk yang suka berjubel duduk di meja belakang. Para kaum lelaki. Membuat semacam daftar kakak kelas most wanted. Dan di antaranya ada nama Aneska. Mereka memang belum gila pada taraf mengirim coklat dan bunga. Mungkin besok-besok hal itu akan terjadi. Lalu hal-hal norak lainnya pasti akan terjadi. Seperti menyatakan cinta di tengah lapangan, misalnya.

Riana belum lihat secara langsung orangnya, sih. Mungkin pernah berpapasan, hanya saja dia tidak mengenali Aneska.

Oh iya, di daftar itu tidak ada nama Maura dan Sonia. Jadilah Riana tidak tahu tentang mereka. Ini juga pertama kalinya dia dekat dengan kakak kelas. Berbaur dengan lingkup mereka.

"Kak Aneska yang cantik itu?" tanyanya polos.

"Ah, dia terkenal di kelas lo ya?" Kiki yang hendak berdiri, duduk kembali.

"Cantik? Iya, sih. Tapi galak. Sebelas duabelas sama Maura."

"Nih, Ari suka sama dia tapi nggak berani bilang." Adit mengejeknya. Sengaja. Yang dihadiahi dengan pitingan. Adit terus rela mencium ketiak Ari yang kecut itu.

"Mati gue mati, Ari! Ampun!"

Kiki berdiri, membayar ke kasir. Cuek meninggalkan meja.

Riana menatap Adit dengan prihatin.

****

Bel masuk sudah berbunyi dan Reygan baru menemukan keberadaan Sonia. Hanya untuk menemukan keberadaan gadis itu ketika jam istirahat ternyata semelelahkan ini.

Reygan menyeka keringat di dahi dan mendekat. Lalu berhenti tiga langkah di belakangnya.

Dia berbiat memberi kejutan, namun justru dirinyalah yang terkejut. Baru saja dia menyadari satu hal. Sonia bukan hanya berdiri diam di sini. Ada sebatang rokok yang terselip di jarinya.

Reygan merampasnya hingga membuat Sonia terkejut dan berbalik. Dia menginjak rokok itu dengan kakinya hingga padam.

Reygan tidak rugi ketika Sonia merokok. Bukan dirinya yang dirugikan. Itu pilihan yang diambil gadis itu. Terserah. Tapi Reygan tidak bisa melihat Sonia merusak dirinya sendiri perlahan-lahan.

Hari ini hanya rokok. Memang sepele. Hanya rokok. Tapi Sonia perempuan, Lalu besok apalagi?

"Jangan ngerokok ya. Please." Reygan berkata lembut.

Sonia menatap lelaki di depannya. Lihatlah, lelaki itu terlihat baik-baik saja. Bahkan hidupnya terlihat normal. Kenapa hanya dirinya di sini yang terlihat menyedihkan?

Kenapa dia tidak bisa seeperti Reygan yang terlihat baik-baik saja? Tidak, Sonia sudah berusaha. Dia berusaha bangkit. Apalagi kehadiran lelaki itu cukup membantu. Reygan ada untuk menguatkan. Hanya kemudian untuk mengancurkan.

Sesuatu yang dia anggap baik, justru menjadi alasan terkuatnya.

Kenapa harus Reygan? Beberapa hariini dia selalu bertanya pada hatinya. Kenapa bukan yang lain? Di antara milyaran orang, kenapa Reygan?

Pertanyaan itu ditelannya. Dipaksa untu dipendam. Harinya tidak ingin mendnegar jawaban apapun. Tetapi logikanya menang.

Jadi, lupakan Reygan yang menemaninya duduk mengobrol. Reygan yang merangkulnya ketika yang lain memilih melepas. Reygan yang selalu ada.

"Kemarin Papa pulang. Dia simpuh ke Mama..."

"Bagus dong. Dia minta maaf?" Reygan ikut senang.

Sonia tidak mengalihkan sedikitpun tatapannya dari Reygan. "Dia bersimpuh ke Mama agar Mama mau menandatangani surat cerai."

Senyum Reygan memudar.

"Dia nggak datang sendiri. Perempuan jahat itu ikut datang. Ikut bersimpuh ke Mama. Mereka bilang soal bahagia dan pilihan. Omong kosong!" Sonia tertawa. Dia berusaha menahan tangis yang mendesak.

Reygan diam mendengarkan.

"Bahagia mana yang mereka maksud? Kebahagiaan yang Mama bangun dari aku kecil? Atau kebahagiaan sekejap mata? Kebahagiaan yang mereka bicarakan di atas air mata kami!"

Bukan hanya Sonia yang terluka, Reygan juga. Dia segera mengerti. "Atas nama Mama, aku minta maaf."

"Bagus! Kamu ngerti yang aku bicarakan. Sejak kapan?" Sonia melepas topengnya. Dia tidak lagi menahan diri untuk berteriak di depan Reygan.

Entah sejak kapan. Selama ini Reygan hanya diam. Mungkin diamnya adalah salah besar, ketika masalah itu berlarut dan menjadi alasan kehancuran sebuah keluarga.

"Aku cuma punya Mama Papa, Reygan. Aku hanya punya mereka berdua. Kenapa harus ada orang lain yang ingin merebut kebahagiaan kami?"

Reygan tidak akan menyangkal apapun. Dia hanya membiarkan Sonia mengeluarkan semua sesak di dada.

"Tiga tahun bukan waktu yang sebentar! Tiga tahun aku harus melihat Mama dipukuli. Kamu tahu apa alasan Mama bertahan? Dia percaya kalau suami brengseknya bakal berubah. Kenyataannya? Nol besar! Mereka bahkan berani muncul di depan Mama. Kenapa baru sekarang? Kenapa nggak dari dulu? Biar kami nggak perlu menderita!" Teriakan yang diiringi dengan tangis itu mengiris hati Reygan. Tapi dia bisa apa. Sonia tidak butuh penjelasan apa-apa. Juga dirinya. Reygan sendiri juga butuh penjelasan.

Banyak pertanyaan yang mucul di benak Reygan. Yang harus dia tahan sampai nanti.

"Aku bertahan mati-matian di sekolah ini, Reygan. Setiap harinya kau harus dengar ejekan-ejekan. Mereka anggap aku hanya sampah. Kamu nggak bakal ngerti Kamu nggak ada di posisiku!"

"Kalau kamu mau percaya, aku nggak ada maksud apa-apa berteman sama kamu. Aku-"

"Kasihan? Itu alasan paling masuk akal. Kamu dan Anes sama. Kalian hanya kasihan!" Sonia tertawa. Namun terlihat menyedihkan dengan wajah penuh air mata.

"Aku tulus, Sonia!"

"Omong kosong! Tulus kamu bilang? Selama ini apa? Kami bukan cuma sekedar hancur. Kami nggak punya harapan hidup. Perempuan nggak punya harga diri itu merebut semuanya! Kami sekarang nggak punya apa-apa. Puas kamu?"

Reygan pias. Dia tercekat. Apa yang menjadi ketakutannya bukan hanya ilusi atau ketakutan itu semata, tapi menjadi kenyataan yang ingin dia sangkal.