Chereads / Garis Interaksi / Chapter 12 - 12. Atap Sekolah

Chapter 12 - 12. Atap Sekolah

Tiba di gerbang sekolah, Aneska harus terperangah melihat Reygan justru berhaha-hihi dengan murid perempuan, yang Aneska kenali sebagai adik kelas.

Reygan bahkan merelaka separuh bahunya basah demi gadis itu. Sementara dengan Aneska tadi...

"Mbak Anes, basah nanti. Jangan berhenti di situ." Pak Dodo menegurnya. Aneska memang berdiri di tengah gerbang persis. Menghalangi mobil guru yang hendak masuk.

Sepertinya Reygan tidak menyadari jika di belakangnya, Aneska, sedang memikirkan rencana jahatnya.

"Mangsa baru?" sindirnya keras. Sampai yang disindir menoleh.

Reygan merasa gadis itu sedang meneriakinya, bukan lagi menyindir. "Apa lo bilang?"

"Jatan temen lo ambil juga?" Aneska baru ingat siapa gadis tadi.

"Maksudnya apa? Ngajak ribut lo?" Reygan berbalik dan mendekati Aneska. Hingga berjarak satu langkah.

"Semua orang juga lihat, kali. Gimana lo haha-hihi sama dia."

"Jaga omongan lo!"

Aneska membeku. Wajahnya pias diteriaki seperti itu. Mata lelaki itu melotot tajam. Aneska mundur selangkah, memutus pandangan.

"Yee, biasa aja dong. Gue cuma bercanda."

Reygan tidak peduli apakah Aneska sedang bercanda atau tidak. Tapi apa yang Aneska katakan tadi, Reygan takut jika akan berbuntut panjang.

****

"Jangan lompat!"

Sonia sudah berada di tubir gedung. Menghadap ke depan sana. Beberapa orang yang melihat dari bawah berteriak, meminta gadis itu menghentikan tindakan gilanya.

"Ini sama sekali nggak menyelesaikan masalah."

"Lo nggak ada di posisi gue, Nes!"

Suara toa dari bawah menyela. "Tes, tes, tes. Kamu dengar bapak, Sonia? Ini Pak Rudi. Jangan lompat dulu. Kamu dengarkan Bapak."

Aneska masih berdiri di posisinya.

"Kita bisa bicara baik-baik, Sonia. Turun ya? Bapak berjanji akan membantu semampu Bapak. Aduh, Bapak nggak mau kalau sekolah ini jadi horor gara-gara kamu."

Hening.

"Eh, bukan! Bukan begitu maksud Bapak, Sonia. Turun sekarang, ya? Bapak akan penuhi semua mau kamu."

"Kalian nggak ngerti!" Sonia berteriak.

Aneska menoleh. Menatap sinis lelaki yang tadi datang ke sini lebih dulu. Reygan hanya diam dan tidak membantu sama sekali. Untuk apa lelaki itu berdiri seperti patung di sini? Tidak berguna. Ke mana hati nuraninya?

"Oke. Gue emang nggak ada di posisi lo, Son. Tapi gue..."

"Keluarga lo baik-baik aja!"

Aneska terpaksa diam. Membiarkan Sonia meluapkan emosinya. "Lo lahir di keluarga harmonis. Keluarga lo baik-baik aja. Keluarga lo utuh, Nes!"

"Salah Anes kalau dia punya keluarga utuh?" Reygan bersuara sengau. "Bukan begini caranya buat hukum aku, Sonia."

"Dengan cara apa? Lo bisa gantiin gue di sini?" Sonia berbalik. Seketika seruan ngeri terdengar dari bawah. Mereka mungkin terkejut dengan gerakan Sonia yang mendadak. Takut jika kaki gadis itu terpleset atau bagaimana.

Reygan merasa ditampar. Dia tidak punya nyali sebesar itu untuk berdiri di sana. Dia takut mati sia-sia. Hidupnya terlalu berharga untuk mati denga konyol seperti ini. Dia berusaha untuk tidak dikuasai emosi sesaat.

"Jawab!"

Aneska reflek maju selangkah. "Bukan begini, Son. Lo harusnya tunjukkan sama Papa lo kalau dia salah. Kalau dia nggak berhak nyakitin kalian. Mama lo bakal sedih lihat lo begini. Kalau lo mati, Mama lo bakal sama siapa? Siapa yang bakal belain dia?"

Sonia semakin terisak. Suara isakan itu meremas hati Aneska. Reygan sudah tidak peduli. Hatinya sudah remuk sejak tadi.

"Kita nggak bisa milih lahir di keluarga mana, Sonia. Kita nggak tahu apa yang bakal terjadi ketika kita dewasa nanti. Semua orang berubah. hidup berputar. Kalau keluarga lo begini, bukan salah lo. Ini salah mereka. Salah orang-orang dewasa itu. Dan semakin salah kalau beban itu diberikan ke lo, Son."

Aneska melangkah maju lagi. Hingga tersisa tiga langkah. Aneska mendongak, meyakinkan lagi. "Gue memang nggak tahu rasanya seperti apa. Karena gue nggak ada di posisi lo. Tapi gue coba memahami. Keputusan ini salah, Sonia. Lo nggak harus mati konyol dengan lompat begini. Hidup lo berharga."

"Mundur!!"

Aneska menatap tidak percaya. Dia pikir Sonia sudah berubah pikiran. Sama sekali tidak.

"Gue bilang mundur atau gue lompat!!!"

****

Sonia membenahi letak tas punggungnya ketika bus merapat ke halte sekolah. Pagi ini mamanya tidak bisa mengantar. Baru melangkah ke gerbang, Pak Dodo menghadang degan pertanyaan. "Mbak Sonia nggak apa-apa?"

Sonia mengangguk sambil membenahi kerah seragamnya. Pak Dodo tidak bertanya lagi.

Melewati lapangan basket, dia melihat Reygan masih mengenakan tas bermain basket di sana. Bersama ketiga sahabatnya. Saling tertawa. Salah satu dari mereka terjatuh.

Beberapa hari ini, dia merasa Reygan manjauh dari dirinya. Awalnya dia pikir lelaki itu berubah. Dirinya yang berharap terlalu tinggi jika Reygan akan berbeda dari yang lain. Reygan yang memahaminya. Reygan yang tertawa bersamanya.

Dan Reygan yang punya andil menghancurkan keluarganya. Orang yang selama tiga bulan terakhir amat dia percayai.

Sonia melanjutkan langkahnya ke kelas. Dia hanya berjalan lurus ke bangkunya, tidak sibuk mampir di bangku teman atau bertanya tentang PR. Hampir tiga tahun, dan dia sudah terbiasa.

"Pagi, Sonia. Ada PR Bahasa, udah ngerjain?" Aneska menyapa ketika Sonia lewat di samping bangkunya. Aneska yang bertanya tanpa mendongak, dia sibuk menyelesaikan tulisan di bukunya.

Yang selalu di balas Sonia dengan gumaman.

Hampir tiga tahun, Aneska tidak berubah. Masih sama. Andaikan saja Sonia mau sedikit membuka diri, sudah pasti dia akan berteman baik dengan Aneska.

Tapi sepertinya Aneska tidak memaksakan hal itu. Dia tiak pernah tersinggung ketika sapaannya hanya dibalas dengan gumam lirih. Justru teman sebangku Aneska, yang berteriak kepadanya. Banyak, lebih dari sekali. Dan sekarang juga.

"Kalau ditanya, dijawab pakai kalimat. Bukan dengung gitu. Lo belum jadi lebah, kan?"

Sonia melengos.

"Yee! Malah nyelonong." Rani reflek berdiri. Niatnya sih ingin menarik rambut Sonia. Tapi gagal karena Aneska menarik roknya.

"Lo bisa diem nggak, sih? Tulisan gue nyoret ini!" Aneska berseru sebal.

Rani menghela napasnya. "Lo ngerti nggak sih kalau gue lagi belain lo?"

"Nggak!"

****

"Woi, Rey!"

Reygan yang membuka lemari pendingin menoleh ke salah satu bangku. Ada satu tangan yang teracung. Lalu tatapannya turun ke wajah sang empu tangan.

Kiki nyengir lebar. Reygan beralih ke Adit dan Ari. Lalu ada Riana juga. Entah sejak kapan Riana resmi bergabung di lingkaran mereka. Kalau bukan karena Adit yang sedang mabok cinta.

"Makan!" Kiki berseru agar terdengar oleh Reygan. Maksudnya, dia ingin Reygan memesan makanan lalu duduk dengan mereka. Begitulah maksud Kiki. Karena dia juga menepuk tempat kosong di sebelahnya.

Reygan menggeleng sambil mengacungkan dua botol minuman. Kiki yang paham maksudnya mencebikkan bibirnya.

"Lo cemburu, Ki?" Adit menyikut lengannya.