Anyone is easy to love when there is nothing but sunshine. But I am asking to be loved when there is rain, thunderstorms, hurricanes and tsunamis. I want someone who will be there to enjoy the rainbow with me.
~Pierre Jeanty
.
.
.
Pukul 07.00, di mana rutinitas sebagian besar orang dimulai.
Bus merapat ke halte. Beruntung pagi ini tidak hujan, jadi tidak perlu ada yang mengeluh. Meski begitu, dia tetap merapatkan jaketnya. Tidak hujan memang, tapi langit sudah dipenuhi mendung.
Sopir bus menarik tuas kemudi ketika dia melihat seorang gadis berlari ke arah bus. Tangannya melambai, meminta siapapun yang melihatnya, untuk bilang sopir agar berhenti.
Dia kebetulan melihat. Beruntung dia tidak berselera untuk jail pagi ini, jadilah dia berseru. "Tunggu, Pak! Teman saya ingin naik."
Teman? Seragam mereka sama. Meski dia tidak kenal gadis itu.
Sang sopir menginjak rem kembali, menunggu. Gadis itu sudah sampai di depan pintu bus, mengatur napasnya yang terengah.
"Lo nggak merasa ditunggu?"
"Sebentar..." katanya sambil mengangkat satu tangannya. Gadis itu butuh menarik napas.
Dia turun, kemudian mendorong bahu gadis itu agar bergegas naik. Gadis itu bersungut karena bahunya didorong dengan kasar.
Keadaan di dalam lebih buruk. Gadis itu harus berdesakan dengan beberapa orang dewasa dengan perawakan yang lebih besar dari dia. Jujur, dia merasa tidak nyaman. Jadilah dia mmeilih untuk turun satu undakan dan berdiri di samping pintu. Berhadapan dengan lelaki yang mendorong bahunya dengan kasar tadi. Mereka sama-sama membuang muka ke luar pintu yang separuhnya terdapat jendela.
Hujan turun deras. Gadis itu terpaku di jendela yang mengembun. Lelaki di depannya juga melakukan hal yang sama. Karena pemandangan di luar sana mengabur, berganti dengan embun, jadilah lelaki itu tidak mempunyai pilihan selain melamun. Dan hanyut.
Lelaki itu benci hujan.
Bukan. Berbeda dengan kebanyakan orang yang mengeluh tidak suka hujan karena hujan membuat aktivitas mereka terhambat. Dia sungguh benci hujan secara harfiah.
Menarik pandangannya dari pintu, dia menatap gadis di depannya yang menatap pintu dengan khidmat. Dia segera bisa menebak, gadis itu suka hujan.
Pandangannya turun ke badge di seragam gadis itu. Mulutnya merapat nama yang tertera di sana. Mencoba mengingat barangkali dia sempat dengar namanya. Sampai keningnya berkerut, dia tidak ingat apapun tentang gadis itu. Wajah gadis ituj juga asing di matanya. Anak pindahan? Mungkin.
Gadis itu menoleh, hingga matanya menangkap ke mana mata lelaki di depannya terarah. "Lagi lihat apa lo?"
Lelaki itu mendongak. "Anak baru?"
"Anak baru?" Gadis itu mengangkat sudut bibirnya. "Nggak mungkin lo kenal. Karena gue bukan perempuan pemuja Reygan."
Gadis itu tahu namanya? Padahal dia mengenakan jaket yang menutupi seragamnya. Bukan anak baru ternyata.
Reygan tersenyum singkat. Dia tidak tertarik meladeni kalimat sarkasme Aneska-nama gadis itu.
Bus berhenti di halte depan sekolah. hujan belum juga reda. Sebenarnya percuma juga, mereka sudah terlambat. gerbang sekolah sudah ditutup. Kalau tidak hujan, sekarang seharusnya sudah pengibaran bendera di lapangan.
Aneska yang berdiri beberapa meter di sampingnya terlihat mengeluh. Reygan tidak mengeluh, dia sudah mengutuk hujan sejak tadi di dalam hati.
Tanpa berpikir lagi, dia menyeberang. Mengabaikan rasa sakit ketika hujan menghunjam tubuhnya. Dia tahu cara untuk merayu Pak Satpam agar mau membukakan gerbang.
Aneska reflek ikut berlari menyusul. Dia yakin orang senakal Reygan pasti punya cara agar bisa masuk ke sekolah. Urusan hukuman bisa dipikir nanti.
Reygan sudah persis di depan gerbang, mulutnya bersiap untuk melancarkan aksi merayunya.
Pak Dodo yang melihatnya, dengan payung segera berlari mendekat membawa kunci gerbang. Reygan senang bukan main, dia tidak perlu mengeluarkan energi untuk merayu.
"Mas Reygan, langsung ke ruangan Bu Ida ya. Beliau sudah berpesan."
Aneska tidak memperhatikan, dia sibuk menghalau hujan yang menimpa kepalanya dengan kedua tangan.
Dicari Bu Ida. Itu kalimat biasa. Hanya saja terdengar suram ketika yang dicari Reygan.
"Kenapa ya, Pak?"
Gerbang sudah terbuka separuh, Reygan maish berdiri di tempat. Dia menunggu jawaban.
Sudah cukup kemarin dia dihukum membersihkan toilet seluruh sekolah karena mengusili anak kepala yayasan. Hanya iseng biasa, tapi dasarnya cengeng, makanya mengadu ke Bu Ida. Kalau diingat, akan panjang daftar hukuman yang diterima Reygan, tidak cukup waktunya. Reygan harus segera menemui Bu Ida.
Pak Dodo menggeleng. "Mas Reygan bikin ulah apalagi memangnya?"
Reygan mengangkat bahu dan melangkah ke ruang guru. Aneska sudah lari ke ruang kelas sebelum basah kuyup.
****
Jangan dikira Aneska bisa bebas dari hukuman karena dia bisa masuk ke kelas. Berterimakasih kepada Bu Ratna yang berbaik hati membiarkan dia mausk kelas. Tapi mimpi buruk, bukan, kenyataan pahit menghampiri ketika bel istirahat berbunyi. Malapetaka itu datang.
Aneska sudah membayangkan semangkok bakso yang masih mengepulkan asap di kanting, juga segelas teh hangat. Tapi pupus sudah dengan kehadiran Bu Ida di depan pintu kelasnya. Tatapannya terhunus ke Aneska seorang. Dia segera tahu apa kesalahannya.
"Kebetulan lapangan masih kotor, kamu sapu." Titahnya.
"Tapi, Bu. Saya bisa jelaskan."
"Jelaskan? Kamu mau dihukum seperti Reyga maksudnya?"
Aneska menoleh ke lapangan. Dengan celana digulung hingga betis, lelkai itu berlari mengelilingi lapangan luas bertelanjang kaki. Kecipak air terlihat ketika kakinya menginjak rerumputan hijau.
"Oke, Bu. Saya pilih lari." Aneska memutuskan cepat. Berpikir logis jika lari bisa selesai dalam hitungan menit, sementara menyapu seluruh lapangan bisa jadi setengah jam. Dia segera melepas sepatunya sebelum Bu Ida berubah pikiran.
"Anak jaman sekarang. Ibu prihatin lihat kamu suka anak macam Reygan." Kalimat itu menghentikan Aneska yang hendak ke lapangan.
"Maksud Ibu?"
"Kamu, sama speerti yang lain, kan? Yang setiap hari ngintil Reygan." Bu Ida enteng sekali mengatakannya.
Aneska, yang masih ingat sopan santun, hanya mengatupkan mulutnya. Menahan diri untuk tidak berteriak di depan orang yang lebih tua. Lebih lagi, orang yang dia hormati.
"Saya aja nggak kenal dia, Bu."
"Sudah sana. Kamu lari dua putaran saja."
"Memangnya dia berapa putaran, Bu?"
"Sepuluh putaran. Sekarang baru lima putaran."
Aneska melangkah ke lapangan. Merasakan rumput di kulit kakinya. Terasa geli dan dingin. Dia segera menyusul Reygan, berlari di samping lelaki itu dalam diam. Bahkan beberap kali dia berusaha mendahului, yang selalu dibalas Reygan lebih cepat.
Satu putaran, Aneska berhenti mengatur napas. Dia tidak sangka lapangan mendadak bisa seluas ini. Sementara Reygan terus berlari. Seregamnya bahkan sudah menempel di badan karena keringat. Tapi lelaki itu seperti tidak kepayahan. Mungkin sudah terbiasa dihukum. Lapangan sudah bersahabat baik dengannya.