"Tadi pulang sama siapa, Dek?"
bakso yang dia kunyah nyaris melompat keluar. Kinan mengulurkan segelas air yang langusng disambar Aneska.
"Mas nggak ikhlas kasih bakso ke aku?"
"Ikhlas, Dek, ikhlas. Kamu lagi PMS?"
"Yang punya jaket kemarin bukan?" Maya menambahi.
"Ini lagi, Mbak Maya nggak usah ikutan kalau nggak mau aku ngadu ke Papa soal-"
"Beneran PMS nih anak," potong Maya.
"Aku cuma nggak sengaja satu bus sama dia. Titik."
"Rumahnya dekat sini berarti? Orang kalian turun di halte yang sama." Kinan masih menggoda.
Mama muncul dari dpaur, semua kompak diam. "Ada yang mau beliin lada bubuk?"
Aneska mengacungkan tangannya dengan semangat. Sejak kecil dia yang kebagian jatah ke minimarket kalau Mama kehabisan bahan masakan di dapur. Kebiasaan itu terbawa hingga sekarang. Aneska bisa diandalkan soal beli-membeli.
"Beli minyak goreng juga ya, Nes." Mama mengulurkan uang seratus ribuan.
"Es krim mangga ya, Nes." Kinan berseru.
Maya juga menimpali. "Magnum."
Aneska mendengus pelan sebelum melangkah keluar rumah. Kedua kakaknya selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan.
"Mas Ryaaaan!" Aneska membuka pintu seraya berseru memanggil sang empu minimarket yang berdiri di balik meja kasir.
Ryan sudah seperti kakak lelaki bagi Aneska. Malah di antara kedua kakak kandungnya, dia lebih memilih Ryan.
"Sore, Nes." Yang dibalas dengan senyum lebar.
Pandangan Aneska menyapu segala sudut minimarket dan tidak sengaja menemukan Reygan duduk di bangku panjang dengan meja yang menempel di dinding minimarket.
Sungguh, Aneska malas harus bertemu dengan lelaki itu. Dari sekian banyak minimarket, kenapa Reygan harus di sini?
Terpaksa. Rak minyak goreng ada di belakang Reygan. Lemari es krim juga ada di samping lelaki itu.
Sapa tidak ya? Tidak lelaki itu sibuk dengan mie cup-nya. Tidak usahlah. Lagipula dia hanya perlu mengambil minya goreng dan mie krim. Yang kalau dihitung tidak akan menghabiskan waktu sepuluh detik. Tapi dugaannya keliru. Rencanannya gagal begitu saja.
"Kalian satu sekolah, kan?" Ryan yang melihat gelagat Aneska, memutuskan bertanya. Atau memang sengaja, agar Reygan menoleh?
Reygan menoleh sambil mengunyah mie. Dia hanya menatap Aneska yang berdiri kaku di belakangnya sekilas sebelum kembali ke Rygan. "Kenapa, Bang?"
"Kenapa? Ah, nggak apa-apa." Ryan mengibaskan tangannya.
Reygan bukannya tidak sadar dengan kehadiran Aneska. Dia sudah melihat dari kejauhan gadis itu melangkah ke minimarket. Juga suara cemprengnya yang menyapa Ryan.
"Kalian beneran satu sekolah?" Ryan masih bertanya. Tadi tidak ada yang menjawab pertanyaannya.
Aneska yang sedang membaca brosur promo di meja kasir, mendongak. "Kenapa?"
"Tadi lihat kalian pulang bareng."
"Nggak."
"Nggak!"
Reygan dan Aneska menjawab kompak. Reygan kebetulan hendak membayar ke kasir, jadi dia dengar ucapan Ryan.
"Kita nggak pulang bareng, Mas. Ya emang jalannya aja searah." Aneska menyangkal.
Ryan ini tidak boleh diremehkan. Meski wajahnya rupawan dan lugu, namun Ryan menjadi salah satu biang gosip. Entah Ryan yang ember atau ibu-ibu kompleks saja yang pintar mengorek informasi dari Ryan.
Minimarket ini terletak di dekat gerbang kompleks. Jadi kalau ada apa-apa, Ryan bisa jadi orang pertama yang tahu. Termasuk urusan tidak penting seperti Reygan-Aneska-pulang-bareng.
Reygan juga ikut memperkuat. "Anes bukan tipe gue, Bang." Seraya mengeluarkan dompet dari saku belakang.
"Ngaca! Lo kayak tipe gue aja!" Aneska tersinggung.
"Siapa juga yang mau jadi tipe lo!" balas Reygan angkuh.
"Udah ya, udah." Ryan segera menengahi. "Halaman luas tuh. Kalian keluar, lanjutin di luar. Oke?"
Reygan meletakkan uang pas di meja dan melangkah pergi lebih dulu. Berpamitan singkat dengan Ryan. Aneska tidak terima, urusan mereka belum selesai. Enak saja main kabur begitu saja.
Aneska melangkah lebar-lebar, menyusul Reygan. Dia mengambil ancang-ancang. Dan dalam sekali gerakan, minyak goreng satu liter sukse menghantam punggung Reygan.
Berterimakasih kepada plastik minimarket Ryan yang kokoh, meski dipakai untuk memukul punggung orang, belanjaan Aneska tatp aman dan tidak berhamburan.
"Kok lo main fisik?" Reygan berseru alih-alih mengaduh sakit. Dia menoleh, lalu menatap plastik di tangan gadis itu. Benda apa gerangan yang sukses membuatnya mengernyit sakit. Gadis itu ternyata cukup barbar.
"Syukurin! Makanya kalau ngomong dijaga." Aneska menjulurkan lidahnya dan melewati Reygan begitu saja.
"Beruntung lo perempuan!"
"Kalau gue bukan perempuan kenapa?" Aneska berbalik dan mendekati Reygan. Lupakan soal es krim kedua kakaknya yang meleleh.
Reygan menghela napas keras dan berlalu. Percuma dia membuang energi hanya untuk meladeni gadis ini.
Mereka berpisah di perempatan. Reygan berjalan lurus. Aneska belok kanan. Pertengkaran mereka berakhir begitu saja, tanpa penyelesaian kata maaf.
"Kok lama? Kamu ngapelin Mas Ryan, ya?" Mama menatap heran. Meneliti anak bungsunya dari atas sampai bawah.
Belum sempat menjawab, Maya sudah menyela. "Magnum gue kok patah, Nes?"
Kinan juga menatap heran pada bentuk es krim mangganya yang menyedihkan. Lebih dari patah, remuk lepas dari stick kayunya.
"Ketemu orang gila tadi. Yaudah buat gebuk aja. Yang penting minyak goreng Mama utuh, kok." Aneska mencari pembelaan.
"Sejak kapan ada orang gila di kompleks?" Maya menyahut. "Kalau orang lain yang cerita ketemu orang gila di kompleks, baru gue percaya."
"Kok gitu?" Kinan penasaran.
"Orang gilanya di sini." Dengan muka datar, smabil menunjuk Aneska dengan dagunya.
Aneska belum lupa diri. Dia masih cukup waras untuk tidak menenggelamkan Maya di kolam renang.
Namun Aneska harus memikirkan ide lain suat hari nanti.
Aneska tidak bisa berenang.
****
Keesokan paginya, Reygan sudah memikirkan untuk balas dendam. Terpikirkan baru saja. Ketika bus hendak melaju, dia melihat Aneska berlari di kejauhan.
Dia menyeringai dan berseru ke Pak Sopir. "Tunggu, Pak. Saya ada yang ketinggalan.
"Loh? Nggak terlambat nanti?" Sang sopir menoleh sedikit.
"Nggak apa-apa, Pak. Sudah biasa dihukum." Reygan melompat turun. Bus segea melaju.
"Pak, tunggu!!!" Percuma. Aneska tidak bisa menghentikan bus yang melaju kencang. Dia berhenti di depan Reygan, terengah mengatur napas.
Selesai menormalkan napasnya, dia menoleh tajam. "Lo sengaja, kan?"
"Sengaja?"
Segala pikiran jahat sudah memenuhi otak Aneska.
"Coba dipikir, gue nggak sejahat itu. Kalau gue jahat, gue udah naik bus itu tadi. Tapi gue baik, makanya gue turun dari bus. Setidaknya lo kalau dihukum nggak sendirian."
Aneska mendengus. "Baik apanya? Baik tuh kalau lo bilang ke sopirnya buat nunggu gue!"
Reygan hampir tertawa ketika sebuah taksi kosong lewat. Dia segera melambaikan tangan. Melupakan tawanya.
Dengan bersungut, Aneska ikut masuk ke dalam taksi.
"Lagi marahan, ya?" Sang sopir taksi bertanya iseng seraya melajukan taksinya.
"Iya nih, Mas. Dia ngambek gara-gara semalam nggak dibales smsnya." Aneska menoleh, melotot tajam. Reygan tidak melihat, dia masih melanjutkan. "Posesif banget kan, Mas?"
"Tapi sayang, kan?" timpalnya.
"Ya sayang." Reygan menoleh, dia ingin melihat reaksi di wajah gadis itu. Sayang yang dia tatap tidak tertarik untuk menoleh.