"Aku nggak mau jauh dari Mama!"
Itu adalah jawaban Reygan beberapa tahun lalu ketika dirinya bertanya kenapa Reygan memilih tinggal bersamanya. Dia tahu anak itu diam-diam ingin mencari keberadaan papanya. Namun hanya dipendam sendiri. Reygan tidak berani bicara langsung padanya.
Diana mencoba bertanya lagi tahun lalu. Lalu dijawab dengan jawaban serupa.
"Aku nggak mau ninggalin Mama!"
Reygan sudah besar, dia bebas menentukan pilihan. Diana tidak akan menghalangi keinginan Reygan jika ingin pergi mencari papanya. Bukan karena dia tidak menyayangi, justru karena dia amat menyayangi Reygan. Jadilah semalam dia bertanya lagi.
"Aku nggak akan kemana-mana. Aku ingin melindungi Mama."
Diana menutup pintu kamar Reygan dan menangis lama di sana. Dia pikir Reyga-nya sudah berubah. Reygan tetap sama. Justru dirinyalah yang berubah. Dia takut jika suatu hari nanti Reygan akan kecewa padanya.
Barangkali jika Reygan tahu, lebih dari kecewa, Reygan akan pergi meninggalkannya. Jika hari itu datang , dia tidak tahu apakah masih bisa hidup dengan kebencian Reygan.
Diana menyeka pipinya cepat ketika dilihatnya sosok yang dia tunggu melangkah keluar gerbang. Dia segera turun dari mobil sebelum Reygan menyeberang ke halte.
Tidak perlu dipanggil, Reygan segera mengetahui keberadaan mobil mamanya di depan gerbang sekolah. Dia menghampiri dengan langkah lebar.
"Anes!"
Reygan mengerutkan dahi. Semuanya memudar. Kemudian menoleh ke belakang.
Aneska yang hendak menyeberang juga menoleh bingung ketika namanya dipanggil. Apalagi oleh orang asinng yang tidak dia kenal. Namun dia tetap mendekat karena Diana melambaikan tangan agar Aneska mendekat.
"Tante manggil saya?"
"Iya," katanya antusias. "Kamu Anes, kan?"
Aneska mengangguk ragu. Masih bersikap defensif.
Reygan mendekat, "Mama kenal dia?"
"Anaknya Tante Rita. Dulu kalian pas kecil suka main bareng. Masa lupa?"
Aneska bengong sejadi-jadinya. Fakta barusan sulit diterima nalarnya. Hatinya juga menolak fakta itu. Maksudnya begini, selama ini, dua tahun lebih dia menghindari Reygan karena sebal dengan tingkahnya. Tapi kenapa fakta barusan seolah menertawakannya.
"Kalian dulu kalau main suka lupa waktu. Itu bekas luka di dahi Reygan karena jatuh dari pohon mangga. Kamu ingat, Nes? Kalian nakal banget, suka iseng nyuri mangga di pohon tetangga. Sampai yang punya marah-marah ke Mama, lho." Diana melirik lelaki di sampingnya.
"Ya?" Aneska terdistorsi. Belu, bisa menerima fakta jika dirinya 'teman masa kecil Reygan', kini dia dijejali dengan cerita Tante Diana-sebelum masuk mobil tadi sempat mengenalkan diri. Namun tetap saja Aneska tidak ingat.
Reygan yang duduk di bangku depan, hanya mendnegus pelan. Dirinya juga menyangkal fakta yang mamanya bicarakan. Kalau mereka teman, setidaknya dia ingat tentang Aneska. Tapi nyatanya tidak.
Dan kenapa mamanya bisa mengenali Aneska hanya sekali lihat?
Mobil itu berbelok ke sebuah restoran. Jam makan siang. Aneska tadi sudah bersikeras menolak ikut di mobil Tante Diana.
Tapi seseorang sudah lebih dulu duduk di sebuah meja. Seperti sedang menunggu kedatangan mereka. Orang itu berbalik setelah Diana menyapa pelan.
Aneska yang berjalan paling belakang mendadak ragu. Dia mengerjapkan mata untuk memastikan siapa yang menunggu mereka-atau tante Diana.
"Kenalin, teman Mama, Rey."
reygan menjabat sopan.
"Danu," balasnya menyebut nama. Kemudian menoleh ke Diana, "Anakmu sudah besar rupanya. Cakep pula. Pasti idola di sekolah nih."
gelak tawa itu, Aneska hanya menyaksikan dari kejauhan. Dia menatap Reygan dan lelaki itu secara bergantian, dan berhenti di wajah bahagia Diana. Apa arti semua ini? Ke mana wajah-wajah yang dia kenali di selembar foto usang milik Reygan? Kenapa justru orang itu yang ada di sana?
Diana yang menyadari Aneska berhenti, melambaikan tangan, memanggilnya untuk mendekat.
****
Diana harus kembali ke kantor, ada masalah serius, sedikit menyesal tidak bisa mengantar Reygan dan Aneska pulang. Reygan tidak masalah. Rumah mereka dekat dari restoran. Lagipula di depan restoran ada halte bus.
Hujan turun sore itu. Halte yang semula lengang, kini penuh sesak oleh orang yang berlarian untuk berteduh. Siapa yang sangka sore yang cerah tiba-tiba langit menumpahkan hujan.
Reygan yang semula duduk, memilih berdiri. Merelakan tempat duduknya untuk wanita paruh baya. Aneska yang mengerti maksud Reygan, ikut berdiri. Saking penuhnya halte itu, mereka berdiri di tepi halte yang tampias hujan.
"Siapa pula yang lagi sedih? Panas, nggak ada mendung, eh hujan." Aneska bicara dengan dirinya sendiri.
Garing, ya?
Tidak ada reaksi. Dia kira Reygan dengar. Begitu dia mneoleh, ternyata lelaki itu sedang melamun.
"Sejak kapan lo dekat dengan Sonia?"
Berhasil. Reygan akhirnya mneoleh. Namun kalimat yang keluar dari mulutnya membuat Aneska kesal. "Apa urusan lo?"
Tunggu, tarik napas Aneska, jangan emosi dulu. Kamu hanya perlu memastikan satu hal. Abaikan kalimat ketus lelaki itu.
"Soalnya kalian tuh dekat banget." Bohong. Aneska baru mengetahui fakta itu tadi pagi. Dan dari hasil cerita rani yang setengah-setengah karena marah sarapannya belum habis sudah ditarik Aneska.
reygan mengerutkan dahi. Aneska hampir mneyerah, karena wajah lelaki itu clueless sekali. Mana yang katanya Reygan pintar bla bla bla. Tapi diajak bicara yang rumit sedikit dia tidak peka.
Iya sih, Aneska yang salah. Mungkin dia perlu sedikit blak-blakan.
"Om Danu tadi teman kantor Tante Diana?"
"Apa urusan lo?"
Aneska menyerah. Kebetulan bus merapat, Aneska berniat naik lebih dulu, karena dia berada di posisi strategis. Tapi seseorang menyenggolnya, Aneska yang tidak imbang jatuh terduduk. Dia mengaduh pelan.
Dan bus sudah penuh. Lengkap sudah penderitaannya.
"Selain hobi ngejar bus, lo ternyata bakat jatuh juga."
Aneska mendongak sinis. Bisa-bisanya Reygan enteng mengatakannya, bukannya membantu berdiri.
Reygan mundur untuk duduk di tempatnya semula yang kosong. Halte masih menyisakan beberapa orang yang memang berteduh, bukan mneunggus bus. Aneska segera bangkit sebelum malu. Ralat. Dia sudah kepalang malu. Bahkan seorang ibu-ibu menanyakan apakah dia baik-baik saja.
"Jadi kenapa kita dulu bisa temenan?" Pertanyaan ajaib Reygan.
Selang beberapa menit dari insiden Aneska jatuh, bus kosong merapat. Mereka duduk dengan jarak satu bangku. Aneska di depan. Reygan memilih duduk paling balakang dekat jendela.
"Mana gue tahu!" Iya, kan? Siapa juga yang menyangka kalau mereka berteman baik dulu? Lalu saling melupakan.
"Gue sempat pindah, ikut Mama. Baru pas masuk SMA gue balik ke sini."
Penjelasan Reygan diterima. Anehnya mereka tidak saling kehilangan. Mungkin karena mereka masih kanak-kanak.
"Gue minta maaf soal foto."
"Hmm?"
"Foto itu nggak sengaja kecuci."
Reygan menghela napanya pelan. "Foto itu udah lama banget. Nggka kecuci juga udah pudar sendiri."
"Tapi-"
"Orang-orang di foto itu udah bahagia sendiri-sendiri."
Aneska memainkan jemarinya, menggigit bibir. Apakah dia harus sampai sejauh ini? Semua orang punya cerita dan masa lalu maisng-masing. Yang sebagian besar di antaranya tidak ingin diusik orang lain. Apalagi disentuh, orang yang bersangkutan dipaksa untuk mengingat lagi. Itu menyakitkan.