Chereads / Garis Interaksi / Chapter 4 - 4. Dunia Tidak Adil

Chapter 4 - 4. Dunia Tidak Adil

Coba kalau diingat lagi ke belakang, mereka naik bus dari halte yang sama, bus yang sama pula. Jadi kemungkinan besar, mereka akan bertemu lagi pagi ini.

Reygan mendadak naik bus seminggu ini, rencanannya begitu. Dia akan mencoba naik angkutan umum yang dia pikir lebih efisien dibanidng mobil. Dia sudah bosan naik mobil dengan risiko ada penumpang dadakan yang minta diantar pulang. Reygan risih. Mereka seharusnya cukup sadar diri Reygan membiarkan mereka berkeliaran di sekelilingnya. Bebas. Asal tidak skinship alias menggelayut manja. Dan tidak untuk minta diantar pulang. Enak saja. Reygan bukan sopir mereka.

Kembali ke si Aneska-Aneska ini, yang kemarin merusak acaranya dalam rangka memberi pelajaran Burhan di lapangan basket. Gadis itu tidak perlu muncul bak pahlawan sambil melempar foto keluarganya di depan muka. Sambil mulut pedasnya meghakimi. Ini kekanakan. Aneska tidak tahu tentang dirinya. Mereka tidak kenal. Dan tidak dalam hubungan sedekat itu untuk menjudge dirinya. Seharusnya Aneska tidak seberani itu.

Memangnya dengan cara apalagi kalau bukan adu jotos? Beragumentasi dengan Burhan? Percuma. Orang itu perlu babak belur.

Tahu kenapa? Burhan kemarin menggoda adik kelas, dan Reygan melihatnya. Menggoda yang sudah di taraf tidak bisa ditolerir oleh Reygan lagi.

Bus merapat ke halte. Pagi ini dia tidak perlu berdesakan dengan para karyawan kantor. Bus masih lengang. Pukul setengah tujuh pagi.

Sisi bus digedor dari luar ketika bus mulai berjalan. Reygan refleks menoleh karena dia duduk persis di dekat jendela. Orang yang dia pikirkan beberapa menit yang lalu muncul. Dia heran, gadis ini punya hobi mengejar bus?

Sang sopir yang melihat ada penumpang yang mengejar bisnya, menginjak rem mendadak. Padahal Reygan sempat berpikir jahat agar sopir bus tidak melihat gadis itu.

Gadis itu duduk di bangku yang berseberangan dengan bangku Reygan. Dari caranya berjalan masuk tadi, dia tidak menyadari jika ada orang yang kemarin dia teriaki di lapangan basket. Gadis itu selain menyebalkan, juga innocent.

Seperti itu sampai bus tiba di halte depan sekolah.

Reygan membiarkan gadis itu menyeberang lebih dulu. Dia tidak ingin disangka mengikutinya.

Di depan gerbang, Reygan disambut Kiki, Adit dan Ari. Mereka berebut untuk merangkulnya, itu wujud kekhawatiran mereka sebenarnya. Takut jika pagi ini reygan tidak muncul di sekolah.

"Ah, kenapa kalian yang nyambut sih?" keluhnya.

Pelukan ketiganya semakin erat.

"Woy, lepas. Nanti dikira gue homo!"

Ketiganya kompak mundur. Lalu pertanyaan ajaib keluar dari mulut Ari. "Kok lo bisa bareng Anes?"

"Anes?" Reygan meninggalkan gerbang, melangkah ke halaman sekolah, diikuti ketiga temannya. "Siapa?"

"Yang barusan turun dari bus sama lo. Yaelah." Ari menimpali.

"Oh? Aneska?"

"Kebanyakan cewek nih temen kita, Bray. Anes aja nggak kenal. Mata dia silau sama bedak-bedak perempuan di sekeliling." Kiki ikut meledek.

"Ya mana kenal kalau dia cuma diam di dalam kelas atau perpus," belanya.

"Bukan. Lebih tepatnya Anes yang nggak mau ada urusan sama lo." Ari berkata logis, yang diiyakan kedua temannya.

"Kok kalian jadi bela dia?" Reygan berhenti.

"Dia cantik, lo nggak." Kiki menjawab datar.

"Tapi gue ganteng!" Reygan belum menyerah.

"Tapi gue bukan homo!"

Mereka hampir tertawa lagi kalau saja Sonia tidak mucul di depan mereka. Perempuan tomboi yang mendekati Reygan. Dan anehnya, reygan welcome dengan Sonia. Sangat berbeda dengan perempuan-perempuan di sekelilingnya selama ini. Sonia seperti mendapat tempat khusus di dekat Reygan.

Kalau ditanya, "Kalian pacaran, ya?"

Reygan akan menjawab dengan tenang. "Teman. Gue cuma anggap dia teman, yang butuh gue. Dan gue butuh dia."

Reygan membiarkan ketiga temannya pergi. Dia sibuk mengamati wajah muram Sonia pagi ini.

"Nggak dipukul lagi, kan?" tanyanya lirih.

Sonia yang tadi menatap ke arah lain, menatapnya. Lalu menggeleng.

Reygan meraih bahu Sonia, menggiringnya ke arah kantin. "Gue belum sarapan. Temenin."

Sonia mendecih pelan namun tetap menemani. Melihat Reyga yang menatap bubur ayam dengan lahap.

Tiga bulan dia dekat dengan Reygan. Bukan dekat karena suka. Sonia tidak menyimpan perasaan apa-apa. Hanya saja dia nyaman berada di sekitar Reygan, orang yang mengerti dia di sekolah ini. Orang yang menjadi teman baik, ketika yang lain memilih untuk pergi setelah tahu latar belakangnya.

Sonia bercerita banyak hal dengan Reygan. Membagi banyak hal yang telah dia simpan sendiri. Reygan orang yang tepat untuk tahu, dan dia percaya dengan lelaki itu.

"Pssttt! Sejak kapan mereka pacaran?"

Rani menoleh horor. Lebih tepatnya menatap tajam Aneska yang baru saja melontarkan kalimat konyol barusan.

Semua orang tahu hubungan Reygan dan Sonia, terkecuali Aneska. Manusia gua yang tidak mau bersinggungan dengan Reygan, yang kini mendadak ingin tahu.

"Sejak kapan lo mau tahu urusan dia?" Rani membalas telak.

"Apa susahnya tinggal jawab," desisnya. Mereka harus pelan-pelan jika tidak ingin terdengar oleh objek pembicaraan.

"Reygan!" Rani bertindak berlebihan. Aneska terlambat mencegah. Orang yang dipanggil sudah menoleh.

"Barusan-hmppph." Aneska melakukan tindakan preventif. Membungkam mulut Rani dengan erat kemudian menyeretnya berdiri keluar kantin.

"Kenal Anes, Rey?"

"Nggak."

"Temen sekelasku. Di kelas, cuma dia yang masih anggap aku. Yang lain udah anggap aku angin."

Reygan tidak tertarik. "Anes..."

"Dia nggak naif. Apa adanya. Cuma dia kan yang berani bentak-bentak kamu pas berantem tempo hari?"

Benar juga.

"Mungkin maksud dia bukan menghina kamu, Rey. Tapi biar kalian berhenti berkelahi."

"Kok jadi ngomongin dia?" Reygan malas saja membahas Anes-Anes itu.

Sonia memutar topik. Sebelumnya dia sempat ragu. "Aku udah nggak betah di rumah."

"Jangan ada pikiran buat keluar dari rumah, Son. Jangan."

"Aku lelah, Rey."

"Kamu pikirin Mama kamu. Siapa yang lebih lelah? Kamu harus ada di samping dia. Kamu mau tinggalin dia sendiri?"

"Mama memilih bertahan di sana. Aku udah bujuk, Rey. Kita bisa pergi ke rumah Oma. Tapi Mama menolak/

Sonia anak tunggal. Tidak ada orang yang lebih dewasa di rumahnya. Jadilah Sonia sendiri yang menjadi korban atas keegoisan ayahnya. Sosok ayah yang seharusnya menjadi panutan, melindungi dan mengayomi. Bukan sebaliknya. Dan Sonia kehilangan itu semua.

Reygan juga tak jauh bereda. Mereka sama-sama menyedihkan. Bedanya, Reygan lebih senang mendengarkan ketimbang membagi apa yang dia simpan.

"Kalau butuh bantuan, jangan sungkan bilang ya, Son."

Di antara dunianya yang tidak adil, dia masih beruntung karena punya Reygan.

Satu-satunya lelaki yang peduli, pada setiap kisahnya atau pun masalah yang kadang hanya dia pendam sendiri. Rasa sesaknya memang selalu sama, namun saat bersama Reygan, lukanya mereda, terkikis, kemudian perlahan memudar, membuatnya kembali bersemangat melawan dunianya yang hampir hancur.

****