Rani berdiri sigap. Melupakan PR yang kurang dua nomor. "Buruan, Anes! Gue antar. Keburu masuk, nih."
Orang yang sudah mengenal Aneska terbiasa memanggilnya dnegan potongan nama itu--Anes.
Heran karena mendadak Rani semagat begitu dia bilang ingin bertemu Reygan. Aneska mengikuti di belakang Rani yang memindai segala sudut sekolah, dia seakan bisa mencium keberadaan lelaki itu. Dia sepertinya sudah terbiasa mencari keberadaan Reygan. Atau Aneska saja yang tidak tahu kalau semua murid perempuan di sekolah ini sudah menjadi pemuja Reygan. termasuk sahabatnya sendiri. Dan hanya tersisa dirinya yang memilih menolak segala pesona lelaki itu.
Baiklah. Perlu Aneska ceritakan sedikit. Kemarin pagi, bukannya dia tidak mnegenali seorang Reygan. Semua murid di sekolah ini kenal siapa Reygan. Bukan. Reygan bukan anak pemilik yayasan seperti yang kalian harapkan. Dia spereti murid lelaki kebanyakan. Maksudnya, Reygan ini terkenal karena parasnya, juga kelakuannya. Jika saja lelaki itu bertingkah sesuai dengan parasnya, mungkin Aneska akan sedikit respek.
Makanya di dalam bus kemarin pagi, dia diam saja. Pura-oura tidak kenal. Hei, mereka memang tidak kenal. Bahkan lelaki itu menatapnya dengan asing. Aneska jamin seratus persen jika Reygan tidak tahu tentang dirinya. Bagaimana bis atahu? Aneska bukan perempuan yang suka cari perhatian padanya, termasuk juga curi pandang. Yang selama ini Aneska lakukan adalah menghindar ketika m=rombongan Reygan lewat.
Bukan karena dia merasa terintimidasi atau malu berpapasan, hanya saja dia sebal melihat gaya Reygan yang di atas awan itu. Iya, dia rupawan. Dia juga pintar. Terus apa? Kalau kelakuan dia saja nol besar!
Aneska mengaduh ketika wajahnya terantuk kepala Rani, yang entah sejak kapan berhenti di depannya. Dia sudah akan mengomel ketika satu pandangan lebih menyita daripada memarahi Rani yang berhenti mendadak.
Arena basket di sana seharusnya menjadi arena bermain bola basket, tanding antara klub, bermain-main iseng memasukkan bola ke dalam ring. Bukannya malah menjadi adu jontos. Memangnya mereka siapa? Mereka masih anak lelaki serba tanggung yang masih minta uang ke orangtua tapi berlagak sok bisa mneyelesaikan masalah dengan main pukul? Kekanakan!
Lebih lagi, orang yang dicari Aneska ada di sana. Tanpa perlu repot mencari ke kelasnya.
Aneska nekad melangkah ke lapangan basket, Rani sudah melarang, berteriak agar tidak usah mendekat daripada ikut kena masalah. Lagipula di sana hanya ada murid lelaki, murid perempuan hanya menonton di kejauhan.
Jam berapa sekarang? Ah, jam tujuh kurang lima. Pak Dodo pasti sibuk di depan. Sementara lapangan ini jauh dari ruang guru. Anak-anak yang menonton juga enggan melaporkan, mereka mendapat tontonan gratis dan enggan berakhir begitu saja tanpa klimak.
Aneska semakin dekat dengan Reygan. Dia tidak peduli, dia hanya perlu mengembalikan jaket ini sekarang. Beberapa orang di sana juga menahan agar Aneska tidak mendekat. Bahaya. Takutnya Aneska kena pukul tanpa alamat.
"Tapi gue mau balikin jaket Reygan!" teriaknya keras kepala.
Reygan yang mendengarnya, menoleh. Kesempatan emas untuk lawannya, dia berhasil membalas. Menghantam pelipis Reygan tanpa halangan.
"Ya kan bisa lo balikin nanti, Nes! Lo nggak ngerti situasi?"
"Justru gue ngerti!" balasnya. Aneska menoleh ke Reygan yang tersungkur di lapangan, dia melemparkan foto yang semalam dia temukan.
Foto itu jatuh tepat di hadapan Reygan yang tercekat. Wajahnya mendadak pias demi melihat selembar foto yang berharga di hadapannya.
"Itu foto keluarga lo, kan? Gue nemu di jaket. Gue minat maaf, fptp itu nggak sengaja ikut kecuci. Dan yang lo lakuin sekarang, bikin orang yang ada di foto itu malu!"
Salah satu sahabat Reygan, mencekal lengan Aneska. Memberinya isyarat agar mundur dan menjauh. Tapi Aneska keras kepala, dia belum selesai.
"Lo nggak malu sama mereka? Lo sekolah cuma buat pamer sana sini? Apa yang mau dipamerin? Kalian sok hebat!" Matanya menatap nyalang ke beberapa orang di sana. Yang dengan sengaja membiarkan Reygan berkelahi dengan Burhan tanpa ada yang berusaha mencegah.
Beberapa orang menahan Burhan yang hendak bergerak maju ke arah Aneska. Egonya sebagai lelaki tersinggung.
Reygan meraih foto itu dan bangkit. Dia merebut jaket di tangan Aneska dengan kasar. Lalu melangkah tenang meninggalkan lapangan. Bahkan seruan Bu Ida tidak mengehentikan langkahnya.
Ketika bel pulang berbunyi, Aneska melihat Reygan yang lari memutari lapangan. Dia berhenti sejenak di depan kelas untuk menatap ke lapangan rumput.
"Nggak seharusnya Reygan kena hukuman." Rani berdiri di sebelahnya.
"Itu kurang buat dia. Nggak bikin jera."
"Reygan mukul orang bukan tanpa alasan, Nes."
"Ya namanya mukul ya mukul. Nggak bisa apa diomongin dulu?"
****
Suara mobil yang memasuki halaman membuatnya lompat dari kasur dan berlari menuruni anak tangga dua-dua sekaligus. Bahakn sebelum mamanya mematika mesin mobil, dia sudah membuka pintu.
Reygantersenyum lebar menyambut mamanya pulang. Hanya pulang dari kantor. Tidak dari bepergian jauh. Reygan sudah terbiasa melakukannya. Dan mamanya tidak keberatan. Dia senang melihat Reygan menunggunya pulang. Lelahnya terbayar.
"Kamu berantem lagi, Rey?"
"Iya," jawabnya jujur.
"Kok Mama nggak ada telepon dari sekolah? Mama nggak dipanggil?"
Karena Reygan lebih memilih menggantinya dengan hukuman daripada harus membuat Mama datang ke sekolahnya.
"Kok kesannya Mama mau banget ketemu Bu Ida?"
Mama terkekeh. Seraya melangkah masuk, dia meraih kepala Reygan dan mendekapnya.
"Kamu udah makan, Rey?"
Reygan menggeleng. "Aku nunggu Mama."
Mama menatap anaknya serba salah. Dia sudah makan dengan klien sebelum pulang tadi.
"Mau makan apa? Mama masakin?"
"Telur mata sapi, Ma."
Mama meletakkan tasnya di sofa dan menuju dapur. Reygan duduk di meja makan dengan tenang. Menunggu telur mata sapi kesukaannya siap.
"Mama capek?"
Pertanyaan itu membuatnya sadar. Reygan selama ini hanya minta dibuatkan telur mata sapi karena kasihan melihat dirinya yang lelah sepulang kerja. Anak lelakinya bahkan mengalah demi dirinya.
"Kamu nggak bosen telur mata sapi terus?" Mama menyendok nasi ke piring.
"Aku makan apa aja, Ma."
Diana tergugu. Reygan kecil bukan tipikal makan apa saja. Reygan kecil bahkan tidak suka telur mata sapi.
"Kamu bukan anak kecil lagi, Rey. Kalau kamu lapar, kamu nggak usah nunggu Mama. Kamu bisa pesan atau makan di luar sama teman kamu."
Reygan mengangguk. Tidak melawa perkataan mamanya. Dia menyuap kembali nasi ke mulutnya.
"Mama mandi dulu. Habis makan jangan kabur, luka kamu perlu diobati."
Reygan mengacungkan jempolnya.
Reygan yang dikenal brutal dan sangat cuek di sekolah kini berubah menjadi penurut dan sangat manis ketika saat berada di rumah. Entah Reygan yang seperti ini atau memang keadaan yang turut memaksanya untuk menjadi dewasa, untuk lebih mengerti bahwa diusia ini sudah bukan waktunya untuk egois dan membuat Mamanya khawatir.
****