Elisa sudah bersiap mengenakan kemeja berwarna pink dan celana hitam yang nampak sangat serasi di tubuhnya. Gadis itu sengaja mengikat rambutnya supaya terlihat rapi dan semakin bersiar aura kecantikannya. Dia sudah bersiap dan bergegas menuju ke meja makan.
Jonathan sudah duduk di tempatnya sembari membaca surat kabar. Wajahnya nampak serius dan tatapannta tertuju pada rangkaian huruf yang berjajar di salah satu kolom tentang ekonomi yang sedang dibacanya. Dia terlihat fokus dan penuh konsentrasi. Di depannya sudah tersedia secangkir kopi dan dipiringnya sudah terhidang roti bakar yang diolesi selai cokelat kesukaannya. Sudah sebulan menikah, Elisa tentu tahu kebiasaan dari sang suami.
Elisa memudurkan kursi dan mulai menempelkan pantatnya untuk sarapan. Dia membalik piring dan mulai mengambil omelet dan acar sayur yang dipersiapkan oleh Bibi. Gadis itu memang lebih menyukai sarapan omelet daripada roti bakar seperti Jonathan.
Jonathan segera menutup surat kabar ketika melihat Elisa sudah berada di tempatnya. Dia melipat koran menjadi empat dan menatanya di samping meja makan. Setelah itu dipandanginya wajah sang istri yang terlihat cantik pada pagi ini.
"Kamu mau kemana? Kenapa berpenampilan seperti itu?" tanya Jonathan yang heran. Dia mengagumi penampilan Elisa yang anggun namun bibirnya tidak mau mengatakannya secara langsung karena gengsi yang lebih besar.
"Oh, aku. Hari ini aku berencana mengajukan lamaran kerja ke beberapa perusahaan. Aku bosan di rumah dan ingin mulai bekerja," sahut Elisa sembari menyendok omelet yang sudah ada di dalam piringnya. Dia nampak sangat menikmati menu yang disajikan.
Jonathan menatap wajah Elisa dengan lekat.
"Tidak boleh! Memangnya siapa yang mengijinkanmu bekerja? Aku hanya ingin kamu diam di rumah dan menjaga kehamilanmu dengan baik, bukannya berkeliaran di luar sana. Aku tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada bayi di dalam kandunganmu karena itu adalah sesuatu yang menjadi inti perjanjian kita," jelas Jonathan dengan tegas.
Elisa melirik ke arah Jonathan dan mengeluhkan keputusannya.
"Heh, aku bosan di rumah. Lagipula, aku berhak bekerja karena tidak ada pasal yang mengaturnya dalam kesepakatan. Aku janji akan menjaga kandunganku dengan baik sehingga kamu tidak perlu cemas," janji Elisa. Dia sudah menelan makanan dan langsung meminum susu coklat yang ada di dalam gelas. Dia merasa perlu menjelaskan semuanya pada Jonathan.
"Pokoknya aku tetap tidak setuju lagipula jatah uang bulanan yang kuberikan sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhanmu sehingga kamu tidak perlu susah mencari tambahan penghasilan lagi," bantah Jonathan yang tidak mau kalah dalam adu argumennya.
Elisa menghela napas panjang, sesekali dia mengelus perutnya supaya tidak tersulut emosi.
"Sudahlah, jangan mengajakku berdebat di pagi hari. Aku cukup lelah karena semalam kurang tidur sehingga jangan menambah beban di dalam pikiranku! Aku akan tetap bekerja, bukan karena uang semata melainkan sebagai penghilang stres karena kebanyakan berdiam di rumah. Aku akan bekerja supaya kelak saat kita berpisah, aku masih punya pegangan penghasilan dan tidak mengandalkan uang darimu," tegas Elisa yang mulai kembali menyendok omeletnya. Dia menjadi cuek dan tidak melihat ke arah Jonathan lagi.
Jonathan semakin kesal karena dia tidak suka dibantah namun dia berusaha mengotrol emosinya karena tidak mau membuat kehamilan Elisa terganggu nantinya.
"Baiklah, aku tidak mau berdebat denganmu. Kamu boleh bekerja hanya di kantorku saja supaya mudah mengawasimu dan kehamilanmu. Kalau di tempat lain, aku tidak mengijinkannya. Silahkan ajukan lamaran karena disana sedang membuka beberapa lowongan untuk karyawan baru yang memiliki kemampuan. Kita lihat, apakah kamu mampu menembus seleksinya dengan kepercayaan dirimu yang terlalu tinggi itu," jelas Jonathan sambil menggigit roti bakarnya.
Elisa terdiam sejenak sambil merenung. Lumayan juga ide yang ditawarakan oleh Jonathan. Meskipun dia terpaksa melihat wajahnya setiap saat di kantor namun perusahaan Jonathan terkenal memberikan gaji yang besar pada karyawannya. Tidak ada salahnya mencoba bukan.
"Baiklah, aku akan melamar kesana. Tetapi tolong sportif dan tidak mengganggu penyelenggaraan wawancara kerja disana karena aku benar-benar ingin membuktikan kemampuanku pada lelaki sombong sepertimu!" tegas Elisa dengan penuh keyakinan.
"I see, aku lihat gimana nanti. Hari ini aku mengatakan punya tugas untukmu bukan, kamu harus mengunjungi rumah nenekku karena dia sudah lama merindukan kehadiranku. Kamu bisa menghiburnya da menemaninya berkebun karena dia suka menghabiskan waktunya di kebun," jelas Jonathan.
Elisa menoleh ke arah Jonathan dan heran kenapa dia justru diminta menemui neneknya padahal pernikahan mereka saja tidak diketahui oleh kedua orang tuanya.
"Semalam nenek menelepon dan mengatakan sedang panen dan ingin membawakan hasil kebunnya kemari. Aku terlalu sibuk sehingga tidak sempat menemaninya. Kamu harus membuat nenek terkesan dan tidak marah padaku karena menikah diam-diam. Oh ya, katakan kalau kita menikah akibat MBA," jelas Jonathan.
Elisa membuka mulutnya karena kaget dengan keputusan Jonathan.
"Apa? MBA, apakah aku tidak salah dengar? Kamu seolah mengatakan kalau aku sengaja berbuat dan sekarang menanggung akibatnya? Astaga, enak saja. Aku bukan gadis seperti itu," bantah Elisa. Dia kembali meneguk susu cokelat karena pikirannya sedang kacau.
"Memangnya kamu mau jujur kalau kamu menikah berdasarkan kontrak? Tidak bukan? Makanya turuti kemauanku. Bilang saja kita tidak bisa menahan diri sampai kamu hamill. Titik," tegas Jonathan.
"Baiklah, kalau memang itu keputusanmu," sahut Elisa.
Mereka berdua melanjutkan makan pagi tanpa bersuara karena pembicaraan mereka memang telah selesai sebatas masalah nenek semata. Elisa masih gondok karena dipaksa berbohong MBA. Dia tidak mau berbohong namun MBA mungkin lebih baik daripada mengaku hamil pada lelaki yang bahkan tidak diketahui nama dan wajahnya.
"oh ya, Papa mertua sudah keluar dari Rumah Sakit bukan, nanti malam kita temui mereka sekedar menjenguk," ajak Jonathan yang membuat Elisa sedikit kaget. Dia tidak menduga Jonathan ternyata perhatian pada ayahnya.
"Darimana kamu tahu hal itu?" tanya Elisa penasaran. Dia tidak memberitahu tentang kepulangan Papanya namun Jonathan sudah tahu.
"Perawat yang kuminta menjaga Papa mertua yang mengatakannya," sahut Jonathan denga santai.
Elisa bahkan baru mengetahui kalau Jonathan menyewa jasa perawat untuk mengawasi papanya. Sungguh aneh melihat lelaki seperti Jonathan yang terlihat angkuh dan tidak mau dibantah ternyata punya sisi perhatian juga.
"Terserah kamu saja," balas Elisa yang kehabisan kata-kata dalam meladeni perdebatan dengan Jonathan.
Tiba-tiba dia teringat kejadian semalam di kamar kosong. Dia menatap aneh wajah Jonathan yang sedang menikmati sarapan paginya. Elisa penasaran namun dia takut kalau pertanyaannya justru membuat Jonathan tersinggung. Dia hanya menelan kembali pertanyaan ke dalam pikirannya karena teringat salah satu butir perjanjian dimana tidak boleh mencampuri urusan masing-masing.
"Mungkin perempuan yang semalam adalah kekasihnya," simpul Elisa yang kembali menyantap omeletnya. Dia lebih baik tidak mengetahui apapun tentang Jonathan daripada semakin mengenalnya.