"Aku hanya sedang membuat minuman, seperti apa yang kamu katakan. Aku membuatnya sendiri," jawab Beni cepat seraya menjauhkan dirinya dari Elisa saat dia dapati Jonathan telah berdiri di sana dengan raut wajah begitu tak bersahabat.
Sementara Jonathan yang mendengar itu masih terus menatap nyalang ke arah keduanya. Kecemburuan lagi-lagi mengisi kepalanya dengan kebencian.
"Aku hanya memotong buah untuk kubawa ke kamar. Ada apa dengan wajahmu?" tanya Elisa menatap heran ke arah wajah Jonathan yang telah memerah karena berusaha keras menahan amarah.
"Memotong buah dan membuat minuman jelas hanya memerlukan tangan untuk bekerja. Lalu, kenapa kalian justru tampak begitu dekat. Tertawa bersama, saling bertukar pandang. Dan apa tadi? Kamu bahkan menggenggam tangan istriku, Beni," geram Jonathan masih mempertahankan tatapan datarnya.
"Tangan Elisa baru saja teriris pisau. Aku tidak mungkin membiarkannya begitu saja 'kan?" Beni ikut melayangkan tanya yang membuat Jonathan semakin menggeram marah namun tak bisa berkata apa-apa karena dia dapati ucapan yang Beni katakan adalah benar. Terbukti dengan adanya sebuah plester kecil yang melingkar pada salah satu jemari Elisa.
"Sudahlah, kalau begitu aku akan pergi ke atas sekarang." Elisa yang merasa malas jika harus kembali berdebat dengan Jonathan pun lebih memilih hengkang dari sana. Sementara Beni yang masih melihat gurat cemburu terpatri jelas di wajah Jonathan berusaha keras menahan senyuman meskipun kenyataannya hal itu gagal dia lakukan.
"Kenapa dengan bibir sialanmu itu?" ujar Jonathan melihat gurat aneh di wajah Beni. Yang dengan cepat membuat pria itu salah tingkah. "Apa? Aku hanya tersenyum."
"Senyummu terlihat meremehkanku," papar Jonathan tak suka. Sementara Beni yang mendengar iti justru sontak menggelak tawa.
"Itu hanya perasaanmu saja," ujar Beni riang. "Tetapi, aku benar-benar tidak menyangka jika kamu akan terlihat begitu menyeramkan saat cemburu."
"Apa katamu? Aku tidak sedang cemburu, sialan!" sanggah Jonathan cepat, yang justru menarik Beni untuk semakin menggoda atasan sekaligus sahabatnya tersebut.
"Ah, benarkah? Lalu apa yang aku lihat tadi?"
Jonathan melirik tajam ke arah Beni. "Pria mana pun pasti akan melakukan hal yang sama saat melihat istrinya terlalu dekat dengan pria lain. Terlebih pria tak laku seperti dirimu," ujar Jonathan mengeluarkan cibiran.
"Hinaan yang bagus. Sayang sekali aku tidak akan terkecoh semudah itu," papar Beni kemudian menyesap minuman di gelasnya. "Jika kamu menyukainya, kenapa tidak jujur saja? Semua orang pasti akan memaklumi itu karena bagaimana pun Elisa memang istrimu."
"Jangan mengada-ada. Aku sama sekali tidak pernah menaruh hatiku padanya. Kamu tentu paham dengan hal itu," sahut Jonathan cepat.
"Baiklah, setidaknya aku jadi merasa lega," papar Beni kembali melayangkan senyuman.
"Apa maksudmu?"
"Tidak. Hanya saja ... aku pikir, mungkin aku bisa menggantikan posisimu nanti saat kalian sudah benar-benar menghabiskan masa kontrak itu. Ah, seharusnya dulu Elisa bertemu denganku saja. Jangankan pernikahan kontrak untuk menutupi kehamilannya, menikah serius pun akan aku lakukan."
"Sialan, apa kamu sengaja memancing emosiku?" Jonathan menggeram marah namun sebisa mungkin menahan gejolak itu. Sementara Beni yang mendengarnya sontak melenyapkan senyuman di wajah. "Tidak. Aku benar-benar sedang serius sekarang," terang Beni membuat Jonathan semakin membulatkan matanya.
"Aku akan membunuhmu jika sampai hal itu terjadi," umpat Jonathan yang masih berusaha keras menahan kesal. "Sebaiknya kita kembali ke depan untuk membahas masalah proyek tadi."
"Hei, hei, apa masalahmu? Kenapa kamu tidak mengizinkanku untuk mendekati Elisa? Lagi pula, bukankah kamu bilang jika tidak mencin--"
"Hentikan ocehan tidak bergunamu itu, Jerk! Lebih baik segera terangkan tentang masalah sebenarnya yang terjadi." Jonathan semain mengepalkan tangannya, sementara Beni yang melihat kemarahan itu hanya mengembangkan sneyum. Ada saat-saat pria itu suka menggoda Jonathan yang memang terlalu mudah mendapatkan emosinya.
Mereka pun duduk di ruang tamu dan mulai membahas permasalahan serius yang tengah bisnis mereka hadapi. Cukup serius hingga Jonathan sesekali terlihat menghela napas jengah.
"Bisakah kamu mengurus semuanya untukku? Dua hari lagi aku akan melakukan penerbangan ke Singapura," ucap Jonathan di tengah pembicaraan mereka. Sementara Beni yang mendengar hal itu seketika membulatkan mata.
"Kamu tidak bercanda 'kan? Setelah cukup lama aku menerangkan semua ini kepadamu, dan kamu masih melimpahkannya ... astaga! Kamu bahkan lebih menyebalkan dari apa yang aku duga." Beni mengusap wajahnya. Dia jelas tahu alasan penerbangan Jonathan ke Singapura, namun yang membuat Beni tidak habis pikir, bagaimana bisa rekannya itu lebih memilih menemui tambatan hatinya di saat keadaan sedang genting seperti ini?
Usai pembahasan yang cukup pelik, Jonathan memutuskan untuk menuju ke kamar Elisa hendak memberitahu tentang kepergiannya kepada gadis itu. Namun, betapa terkejutnya dia saat membuka pintu di depannya dan dia dapati Elisa hanya tengah memakai pakaian dalamnya.
"Aakkhh!! Apa yang kamu lakukan?! Sial! Cepat pergi dari kamarku!" pekik Elisa dilanda panik saat dia tengah ingin mengganti pakaiannya dengan piyama namun tiba-tiba pintu kamarnya berdecit dan dia lihat sosok Jonathan di sana.
Sementara Jonathan yang mendapatkan lemparan bantal dari Elisa segera bergegas keluar dan kembali menutup pintu di depannya. Jonathan menempelkan tubuhnya pada pintu itu seraya merasakan jantungnya yang kian berdebar kencang seiring dengan bayangan tubuh mulus Elisa dan perutnya yang buncit kian terpatri dalam ingatan. "Sial, apa yang baru saja aku lakukan," ujar Jonathan tak habis pikir dengan dirinya sendiri, namun saat pria itu hendak melangkah pergi, suara pintu terbuka sontak menahan gerak kakinya.
"Dasar pria pria tanpa sopan - santun! Kenapa tidak mengetuk pintu dahulu tadi?!" sergah Elisa yang kala memeriksa keadaan di luar kamarnya ternyata masih dia temui sosok Jonathan di sana.
Sementara Jonathan yang merasa enggan disalahkan atas kasus tersebut segera memasang wajah datar dan dingin andalannya. "Kenapa kamu menyalahkanku? Salahkan dirimu sendiri yang ceroboh! Apa kamu tidak tahu fungsi kunci di balik pintu itu? Atau, kamu sengaja melakukannya untuk menarik perhatian Beni?"
Elisa yang mendengar itu sontak mengernyit. "Apa maksudmu? Kenapa malah jadi membawa Beni dalam masalah ini?"
Jonathan memejamkan matanya sejenak mendengar pertanyaan itu. Dia juga tidak tahu kenapa tiba-tiba otaknya kembali terpintas tentang ucapan-ucapan yang tadi sempat Beni layangkan, yang membuatnya kembali diliputi amarah.
Lalu perlahan pria itu menghela napasnya. Mengingatkan diri sendiri atas tujuannya datang menemui Elisa. "Tidak. Tidak seharusnya kami bertengkar lagi," ucao Jonathan mengingatkan dirinya sendiri. Mengingat Elisa saat ini tengah mengandung. Setidaknya dia harus memikirkan kesehatan gadis itu karena akan merepotkan jika sampai hal tersebut berakhir mengganggu rencana penerbangannya.
"Dua hari lagi aku akan melakukan perjalanan bisnis ke Singapura." Jonathan menjelaskan, yang hanya ditanggapi Elisa dengan raut wajah begitu datar.
"Lalu?"
Jonathan mengusap tengkuknya sejenak, sebenarnya dia pun tidak tahu apa tujuannya mengatakan hal ini pada Elisa. "Tidak ada. Aku hanya ingin mengatakannya saja. Siapa tahu kamu bingung mencariku nanti. Itu saja. Ya sudah kalau begitu. Aku pergi," ujar Jonathan gugup, kemudian dengan cepat melangkahkan kakinya menjauh. Meninggalkan Elisa yang masih setia dengan gerutuannya.
"Dasar, manusia aneh!"