Hari ini Beni sama sekali tidak bisa fokus dalam bekerja. Semua cerita yang dikatakan oleh Elisa telah membuatnya merasa bersalah. Gadis itu adalah korban dari perbuatan Jonathan di malam itu. Elisa bahkan tidak tahu siapa lelaki yang sudah menghamilinya. Benar-benar sesuatu yang kejam untuknya.
Beni sudah beberapa kali berjalan dari kursinya ke dekat jendela. Dia hanya mondar-mandir karena bingung menghadapi semuanya. Baru kali ini Beni dalam dilema dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia yang biasanya selalu mempunyai banyak solusi mendadak tidak bisa berpikir dengan jernih. Semuanya nampak aneh dan tidak masuk akal tetapi memang sebuah kenyataan.
"Aduh, bagaimana sekarang ini aku harus bertindak," keluh Beni seraya mengacak rambutnya sendiri. Dia sedang frustasi dan hanya itu yang bisa dilakukan untuk mengurangi rasa sesak di dalam dadanya.
Beni menatap ke arah langit yang cerah. Ada banyak awan yang berarak dan nampak tersusun rapi di langit. Andai saja dirinya bisa berbagi cerita dengan seseorang yang bisa dipercaya pasti bebannya tidak akan sebesar ini. Sayangnya dirinya sendirian sekarang.
Beni teringat masa kuliahnya ketika persahabatan bersama Jonathan dan Bryan terjalin dengan indah. Setiap hari mereka selalu bersama bahkan kuliah di jurusan yang sama. Beni adalah seorang anak yang lahir dari keluarga yang kekurangan. Karena kebaikan kedua orang tua Jonathan lah yang membuatnya bisa sesukses seperti sekarang. Dia sudah dianggap sebagai anak oleh kedua orang tua Jonathan. Mereka menyayanginya dan berharap selamanya Beni akan mendampingi Jonathan yang manja sejak kecil.
"Seandainya Bryan masih ada bersama kami, aku tidak akan merasa kesepian," batin Beni seraya membayangkan wajah salah seorang sahabatnya yang kini tidak lagi bersama. Bryan memang memilih untuk menjauh karena Jihan. Jonathan yang telah merebut Jihan dari Bryan sehingga membuat persahabatan mereka langsung berakhir. Beni merasa rindu pada Bryan yang dulu selalu baik dan penuh perhatian. Sekarang, setiap kali bertemu sikap Bryan dingin dan angkuh. Sikap yang tidak berbeda dengan yang ditunjukkan oleh Jonathan yang angkuh.
"Apakah aku perlu menghubungi Bryan dan mengajaknya makan siang bersama?" gumam Beni seraya memegang ponsel di tangannya. Dia hendak menghubungi Bryan namun mendadak semua itu diurungkan.
"Tidak, kalau sampai Jonathan tahu maka aku bisa kena omelannya," putus Beni seraya meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku celana panjang yang dikenakannya. Beni sudah tidak tahu kemana lagi bisa berbagi cerita.
Tak berapa lama ponsel milik Beni bergetar. Pemuda berkacamata itu segera melihat siapa yang menghubungi. Dan alangkah terkejutnya ketika membaca nama Bryan yang tertera di layar ponselnya.
"Bryan?" gumam Beni kebingungan. Baru beberapa saat yang lalu dirinya berpikir untuk menghubungi Bryan dan sekarang lelaki itu yang menghubunginya lebih dulu.
"Umur panjang, dia yang menghubungiku," kata Beni dengan tatapan yang penuh kegembiraan. Akhirnya dia bisa berbicara dengan Bryan.
("Hei. Kenapa kamu tidak jadi menghubungiku. Aku melihat dari layar kalau kamu hendak menghubungi tetapi kenapa batal?") tanya Bryan ketika mereka sudah berbincang melalui telepon.
"Hmmm itu sebenarnya itu, ehhmm aku hanya hmmmm mau menanyakan kabarmu saja," kilah Beni yang berusaha melepaskan kecanggungan diantara keduanya. Mereka memang kerap berdebat karena Beni yang selalu membela Jonathan meski mengatahui lelaki itu bersalah.
("Katakan saja secara langsung. Aku sangat mengenalmu dan aku yakin ini pasti ada hubungannya dengan Jonathan?") tebak Bryan yang ternyata benar. Mungkin Bryan sudah hafap bahwa semua permasalahan yang dialami oleh Beni pasti disebabkan oleh Jonathan.
"Bukan begitu hanya saja aku sedang rindu makan siang denganmu. Itu saja kok," ungkap Beni. Dia berpikir tidak mungkin untuk semakin menyulut pertengkaran dan kebencian diantara mereka berdua. Bryan dan Jonathan masih bisa berbaikan jika mereka menghendaki namun ego telah membuat keduanya memilih untuk tidak mengakuinya.
("Makan siang? Boleh saja. Aku ada waktu luang siang ini. Kita akan bertemu di Restoran yang biasanya,") kata Bryan sebelum menutup panggilan.
Beni masih terdiam setelah panggilan telepon diakhiri. Keputusannya untuk tidak mengatakan apapun pada Bryan memang benar adanya. Setidaknya Bryan dan Jonathan tidak akan bertengkar karena Elisa. Dulu mereka kerap berdebat karena Jihan dan sekarang muncul Elisa. Beni heran kenapa mereka selalu terhubung pada perempuan yang sama. Apakah mereka terlalu mirip dalam karakternya sehingga dalam hal perempuan pun seleranya sama
"Aku harap Bryan akan menemukan perempuan lain yang bisa membuatnya merasa jatuh cinta, dan kuharap perempuan itu bukanlah Elisa," kata Beni yang hendak kembali ke meja kerjanya. Rasanya sudah cukup lama dirinya meninggalkan kewajiban utama pekerjaannya. Dia harus kembali bekerja dan menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum Jonathan kembali dari kencannya.
"Untung saja dia anak orang kaya sehingga kedua orang tuanya bisa mendukung semua yang diingikannya," gumam Beni yang mulai mengerjakan laporan di laptopnya. Beni adalah pemuda yang cerdas dan bertanggung jawab untuk semua pekerjaan yang sedang dilakukannya meskipun Jonathan tidak berada di kantor.
Sementara itu Elisa di apartemennya sedang menemani Bibi untuk memasak. Dia sedang tidak ada pekerjaan sehingga memilih untuk menghabiskan waktu di dapur. Elisa merasa kangen pada Ibunya yang selalu menyiapkan makanan untuknya.
"Masakan Bibi sangat enak," puji Elisa kepada ART nya.
Bibi tersenyum karena merasa senang mendapatkan pujian dari majikannya. Dia sudah lama bekerja untuk Jonathan sehingga sudah terbiasa memasak sesuai selera lelaki itu. Dan setelah keberadaan Elisa disana, justru membuatnya semakin merasa bahagia.
"Non ini bisa saja kalau membuat Bibi melayang," balas Bibi.
Mereka pun bercengkerama mengenai masakan dan beberapa kebiasaan Jonathan semasa mereka belum menikah dulu. Elisa sengaja ingin mengetahui karakter lelaki angkuh yang setiap hari selalu mengajaknya berdebat.
"Mas Jonathan itu memang tegas tetapi sebenarnya hatinya baik," ungkap Bibi yang membuat Elisa heran. Darimana Jonathan punya sisi baik karena setahu dirinya selama ini Jonathan memang jahat dan tukang marah.
"Bibi, aku tidak pernah melihat kebaikannya. Dia itu setiap saat kerjaannya marah terus. Sekalinya baik pasti ada yang diinginkan," ungkap Elisa sambil membantu membersihkan sayuran.
Bbi pun tertawa dan membuat Elisa semakin heran.
"Kenapa Bibi tertawa?" tanya Elisa heran.
"Maaf Non. Tetapi setiap kali melihat kalian berdebat rasanya Bibi seperti melihat drama di televisi. Bertengkar sebagai lambang perasaan cinta. Istilahnya malu tapi mau," ungkap Bibi sambil tertawa.
Elisa tidak terima dengan kesimpulan dari Bibi. Dia tidak merasa cinta pada Jonathan.
"Tidak. Bibi salah. Tidak ada yang seperti itu dalam kisah kami," bantah Elisa.
"itu lebih aneh lagi Non. Kalau tidak ada kisah yang begitu kok sekarang Non bisa hamil? Tandanya kalian memang saling cinta tetapi egois untuk mengakuinya," sahut Bibi yang berhasil membungkam Elisa.