Sesampainya di apartemen, Jonathan segera membuka pintu di depannya dengan gerak begitu perlahan, kemudian kembali menutup pintu itu dengan perlahan pula.
Bahkan saat melewati ruang tamu pria itu harus melangkah dengan sedikit mengendap seraya terus berusaha menyeret kopernya masuk. Jonathan benar-benar takut untuk bertemu dengan Elisa semenjak pria itu mengetahui kenyataan jika yang meniduri Elisa hingga hamil adalah dirinya sendiri. Jonathan benar-benar tidak sanggup untuk membayangkan bagaimana reaksi Elisa ketika mengetahui kenyataan yang ada.
Bagaimana jika gadis itu akhirnya menaruh dendam dan memupuk rasa benci terhadap dirinya? Memikirkan hal itu membuat benak Jonathan semakin dilanda takut. Dia masih belum siap jika harus menerima luapan amarah dari Elisa meskipun memang tindakan yang dia lakukan sudah sangat keterlaluan. Bagaimana pun karena ulahnya masa depan Elisa berakhir rusak. Sudah pasti dirinya akan mendapat amukan gadis itu jika sampai tahu.
Satu hal yang membuat Jonathan semakin dilanda perasaan menyesal setelah mengetahui kenyataan yang terjadi. Bagaimana dahulu dia sering mengatakan Elisa merahan, rendahan hingga tak tahu diri, rusak, hamil di luar nikah dan tidak tahu siapa ayah dari janinnya. Betapa menyakitkannya kalimat-kalimat yang sering Jonathan lontarkan dahulu ketika mereka sedang berdebat. Dan itu benar-benar membuat Jonathan semakin merasa dilanda banyak dosa. Begitu besar kesalahannya kepada Elisa hingga mungkin dirinya tak lagi pantas mendapatkan kata maaf.
Meskipun begitu, tetap saja Jonathan belum siap menerima amukan dari gadis yang selama ini telah menjadi istrinya tersebut.
Sesampainya di ruang tengah, tubuh Jonathan seketika menegang dan kaku di tempat saat mendapati pintu kamar Elisa tiba-tiba terbuka menampilkan Elisa yang masih memakai setelan piyama lengkap dengan sebuah gelas bening di dalam genggaman tangannya. Sepertinya Elisa sengaja keluar untuk mengisi gelas kosong itu lagi.
Jonathan yang melihat itu benar-benar bingung harus melakukan apa. Pikirannya semakin pusing kala pembahasannya bersama Beni malam lalu terus terngiang di dalam kepala.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku memberitahu Elisa kenyataan itu sekarang?" Batin Jonathan kian dilanda resah terlebih saat melihat wajah polos Elisa saat sedang bangun tidur. Wajah polos layaknya manusia tanpa dosa yang dengan bejat telah dia kotori.
Memikirkan itu rasanya Jonathan ingin sekali berlari ke arah Elisa kemudian bersujud dan mengutarakan penyesalan serta maaf yang sedalam-dalamnya. Tetapi, di lain sisi Jonathan juga masih belum siap karena rasa takutnya yang besar akan kemarahan Elisa.
"Bagaimana jika Elisa nanti menggampar wajahku? Atau, bagaimana jika nanti gadis itu marah-marah dan terus memaki diriku dengan segala sumpah serapah yang ada?" Batin Jonathan kian berkecamuk berusaha memutuskan tindakan yang akan dia ambil setelahnya. Bahkan keringat dingin pun mulai berkucuran membasahi kening pria itu. Jonathan benar-benar merasa tidak siap menerima segala bentuk amukan dari Elisa.
"Jo? Kamu tidak apa-apa, kan?" Elisa sedikit memiringkan wajahnya untuk dapat menilik wajah Jonathan lebih jelas lagi. Sementara Jonathan yang sejak tadi bergeming sontak terlonjak dari lamunannya.
"Ah, tidak. Aku ... aku hanya terkejut saja. Ngomong-ngomong kenapa kamu sudah bangun? Apakah kedatanganku mengejutkanmu?" Dengan sedikit gugup Jonathan melayangkan tanya.
"Tidak sama sekali. Lagi pula ini memang jam biasanya aku bangun pagi, kan?" ucap Elisa menjawab. Kemudian keduanya pun sama-sama mengarahkan pandangan pada sebuah jam dinding besar yang ada di ruangan tersebut.
Elisa tersenyum masam menatap jarum jam yang tengah menunjuk pada sebuah angka itu. Dia merasa wajar jika Jonathan tidak menghafal perihal kebiasaan yang selalu dirinya lakukan. Bagaimana pun dia jelas bukan siapa-siapa bagi pria itu. Tetapi, meskipun begitu tetap ada rasa terluka di hati Elisa yang jelas Elisa sendiri tidak tahu apa penyebabnya.
"Hei, kenapa aku malah sedih begini?" Dalam hati Elisa merutuki diri sendiri seraya terus berusaha mengembangkan senyumannya.
Di sisi lain, Jonathan yang telah menatap ke arah jam dinding tersebut segera kembali menolehkan wajahnya dan menatap Elisa kemudian menampakkan cengirannya. Dia benar-benar bodoh sampai melupakan kebiasaan Elisa yang satu ini.
"Maafkan aku," ucap Jonathan terdengar begitu kaku. Rasanya ingin sekali dirinya menarik Elisa saat ini juga dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya kemudian menumpahkan segala rasa sesal yang sejak semalam selalu bersarang di hati. Bahkan rasanya Jonathan ingin menangis saat ini juga di dalam dekapan Elisa. Tetapi, dengan keras dirinya berusaha untuk menahan dan tidak melakukan hal tersebut.
Jonathan terus memperingatkan dirinya sendiri. Bagaimana pun dirinya tidak boleh bertindak gegabag. Dia harus mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya kepada Elisa. Yang jelas, waktu pilihannya itu harus membuat Elisa bisa menerima sehingga tak marah dengan apa yang dirinya ungkapkan.
Jonathan berharap saat waktunya tiba gadis itu bisa dengan lapang dada memaafkan, bukan justru memukul dirinya dengan membabi buta kemudian malah menuntut dan menjebloskan dirinya masuk ke jeruji besi. Pemikiran terakhir adalah hal yang paling Jonathan takutkan.
Jika sampai Elisa menuntutnya ke pengadilan, bisa saja dirinya kalah terlebih Elisa sekarang masih berstatus menjadi istrinya. Bisa saja Elisa menggunakan momen ini untuk semakin menjebloskan dirinya ke balik jeruji besi dengan tuduhan dirinya sengaja menawarkan pernikahan sebagai sebuah solusi, namun nyatanya justru hanyalah sebuah jebakan. Memikirkan itu membuat kepala Jonathan semakin terasa pening.
"Jo?" Lagi-lagi Elisa berusaha menyadarkan Jonathan saat melihat pria itu seperti tampak kembali melamun.
"Ah, iya. Aku ... aku akan masuk ke kamar dahulu," ucap Jonathan setelah kembali lagi ke alam sadarnya dengan masih dilanda kegugupan.
Jonathan pun langsung melangkahkan kakinya masuk ke kamar setelah mendapati Elisa mengangguk. Di dalam kamarnya Jonathan kembali dilanda resah. Sesekali pria itu merutuki dirinya sendiri saat menyadari sikapnya yang tampak begitu bodoh saat berada di depan Elisa.
"Tidak. Aku tidak boleh bersikap seperti ini terus! Aku harus bisa mengontrol diri dan bersikap seperti biasa ketika berada di depan Elisa agar dia tidak menaruh curiga." Jonathan bergumam dengan dirinya sendiri.
Seharian itu, Jonathan benar-benar berusaha bersikap sebiasa dan sebaik mungkin kepada Elisa. Membuat Elisa justru berkali-kali terlihat mengerutkan kening saat mendapati sikap aneh yang Jonathan tunjukkan. Pasalnya, semenjak kepulangan pria itu dari Korea Jonathan selalu bersikap manis kepada dirinya. Mulai dari mengupaskan buah, membantunya mempersiapkan apa saja yang dia inginkan, dan juga beberapa hal kecil lain seperti menuntun Elisa kembali ke dalam kamar dengan alasan takut jika ada lantai yang licin dan membuatnya terjatuh.
Padahal Jonathan yang Elisa kenal selama ini selalu bersikap dingin dan acuh kepada dirinya. Lalu kenapa tiba-tiba dia berubah? Elisa semakin mengerutkan keningnya.
"Ada apa, Elisa? Kenapa kamu memandangiku seperti itu?"
"Tidak. Hanya saja, sikapmu hari ini sedikit berbeda," ujar Elisa mengutarakan isi hatinya.
"Benarkah?" Jonathan menatap serius ke arah Elisa.
"Ya. Kamu jauh lebih perhatian,"
Jonathan yang mendengar itu pun sontak mengembangkan senyumnya. "Apa kamu suka?"
"Tidak biasa saja," kilah Elisa cepat membuat Jonathan semakin melebarkan senyumnya.
"Aku benar-benar rindu saat kita berkelahi seperti ini, wajahmu yang salah tingkah benar-benar lucu."