"Apa yang kamu lakukan!" sergah Elisa segera memukul lengan Jonathan keras setelah tersadar dari rasa terkejutnya. Sementara Jonathan yang mendapat tamparan di bahu dan lengannya hanya memegangi area itu dan mengusapnya pelan sembari mengulas senyum.
Jujur saja sebenarnya Jonathan sendiri tidak menyangka jika dia akan melakukan hal gila itu hanya karena mendapati Elisa terus saja menyebut nama Brian di depannya. Namun, alih-alih merasa bersalah hati pria itu justru merasa senang karena dapat memberi pelajaran kepada istri pembangkangnya.
"Anggap saja itu hukuman karena kamu tidak menurut pada perkataanku," ujar Jonathan dengan santainya sementara Elisa yang mendengar itu semakin diliputi amarah.
"Apa kamu bilang? Hukuman? Mana ada hukuman seperti itu?" sergah Elisa geram.
"Ada. Buktinya tadi ada. Kenapa? Kamu menginginkannya lagi?" tanya Jonathan menatap genit ke arah Elisa yang membuat wanita itu semakin membulatkan matanya.
"Gila! Kamu pikir aku ini perempuan apa?" Elisa mengusap bibirnya kasar. "Jangan pernah melakukan hal menjijikkan itu lagi! Lagi pula memangnya kamu tidak ingat apa isi perjanjian pra nikah kita dahulu? Aku bisa saja menuntutmu karena telah melanggarnya!" hardik Elisa yang masih diliputi emosi. Sementara Jonathan yang kembali mendengar Elisa membahas perjanjian mereka pun seketika turut diliputi geram.
"Jangan pernah mengungkit perjanjian nikah kita lagi, Elisa!" umpat Jonathan menatap nyalang pada Elisa membuat gadis itu mengerjapkan matanya sesaat karena bingung dengan permintaan yang baru saja Jonathan layangkan.
"Memangnya kenapa? Kita membuat janji bukan untuk dilanggar, Jonathan!" sentak Elisa tak mau kalah namun justru semakin memancing amarah di benak Jonathan.
"Karena aku tidak menyukai itu. Kamu istriku jadi aku berhak atas apa pun yang ada di dalam dirimu, hidupmu dan semuanya! Termasuk bibirmu yang indah itu!" geram Jonathan dalam hati sembari menggenggam erat stir mobilnya. Ingin dirinya meneriakkan kalimat itu tepat di depan telinga Elisa namun sekuat hati Jonathan menahan karena tidak mau semakin memperparah suasana di antara mereka.
Lagi pula sebenarnya apa yang dikatan oleh Elisa adalah benar. Tetapi, kenapa dia seakan tidak rela melihat wanita itu dekat dengan pria lainnya? Jonathan sontak menggelengkan kepala saat beberapa pikiran konyol terlintas di otaknya. Tidak, mana mungkin dia menyukai Elisa. Dia seperti ini hanya tidak ingin Brian melampiaskan kekalahannya dahulu kepada istrinya karena bagaimana pun, meski pernikahan mereka hanya berstatus kontrak namun selama Elisa masih bersama dengannya itu berarti Elisa masih menjadi tanggung jawabnya. Ya, bukankah hal itu termasuk dalam perjanjian pra nikah? Jonathan semakin meneguhkan hatinya. Kepedulian itu jelas karena dirinya terbiasa bersikap tanggung jawab atas hal apa pun.
"Berhentilah mengoceh atau aku akan kembali menciummu," ujar Jonathan saat telinganya terasa panas akibat cuitan yang terus keluar dari mulut wanita di sampingnya itu. Sementara Elisa yang mendengar gertakan dari Jonathan seketika menutup mulutnya sembari terus mengumpat di dalam hati dengan segala sumpah serapah yang jelas dia tujukan pada Jonathan.
Sesampainya mereka di basement apartemen, segera Elisa keluar dari mobil dan membanting pintu sampingnya dengan keras lalu berjalan begitu saja meninggalkan Jonathan yang senantiasa meneriakkan namanya. Hingga Elisa tiba pada pintu apartemen itu terlebih dahulu dan Jonathan yang baru keluar dari lift segera menyusul langkah gadis itu.
"Elisa! Apa telingamu sudah tidak berfungsi!" sergah Jonathan geram saat dirinya sedari tadi memanggil nama Elisa hingga tenggorokannya terasa kering namun gadis itu tetap saja berjalan bahkan mengindahkan panggilannya.
Namun, belum sempat Elisa memberikan jawaban, pandangan keduanya seketika terfokus pada seorang pria yang telah lama duduk di ruang tamu unit apartemen milik Jonathan sembari menunggu atasannya itu kembali.
Jonathan yang melihat keberadaan Beni di sana pun seketika melepas cekalan tangannya di lengan Elisa dan membiarkan gadis itu masuk sementara dirinya dengan segera menyambangi Beni dan memilih duduk di seberang pria yang masih mengenakan jas kerjanya itu.
"Ada apa?" tanya Jonathan dingin seraya menatap pada Beni yang mulai mengeluarkan berkas-berkas miliknya.
"Proyek kita di Bali mengalami kendala," ucap Beni langsung pada intinya karena paham betul jika Jonathan merupakan pria yang sangat benci bertele-tele terutama dalam urusan kerja.
"Kendala apa?" tanya Jonathan yang masih setia melihat Beni membuka beberapa berkas yang dia bawa.
"Tentang pembebasan lahan. Masih banyak warga yang enggan menjual tanahnya kepada kita," tutur Beni menjelaskan.
"Kenapa? Apa uang yang kita tawarkan kepada mereka masih kurang banyak?" Jonathan mengerutkan keningnya. Namun, belum sempat Beni menjawab dering telepon dari ponselnya seolah memotong pembicaraan mereka.
Segera Jonathan merogoh benda pipih yang masih setia berada di dalam saku celananya itu. Lalu matanya mulai menilik nama yang tertera di sana. Maudy.
Senyum Jonathan pun seketika mengembang saat mendapati nama tersebut dalam ponselnya. Segera pria itu bangkit berdiri dan bersiap meninggalkan Beni di bangkunya.
"Aku angkat telepon sebentar, kamu bisa membuat minuman sendiri karena pelayan hari ini sengaja kuliburkan. Atau mintalah pada Elisa jika dia ada di dapur," ujar Jonathan lalu melangkah pergi begitu saja meninggalkan Beni yang hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan.
Beni merupakan asisten pribadi Jonathan yang telah merangkap sebagai sahabat sekaligus saudara bagi pria itu. Sudah jelas dirinya tahu apa pun yang ada dalam hidup Jonathan termasuk siapa sosok yang membuat pria itu tersenyum bahagia hanya karena melihat namanya tertera di layar ponsel. Meskipun Beni tidak melihat langsung siapa itu, namun setidaknya dia bisa menebak dengan jelas sosok yang kini tengah berbincang dengan bosnya tersebut.
Maudy, sang mantan kekasih yang masih begitu dicintai oleh sosok Jonathan namun mereka terpaksa harus berpisah karena gadis itu lebih memperioritaskan cita-citanya untuk menempuh pendidikan di luar negeri.
Beni yang merasa jengah menunggu kepergian Jonathan pun bergerak dari tempat duduknya hendak menuju dapur untuk mengambil minum. Tentu saja dirinya mampu menganggap apartemen itu sebagai rumahnya sendiri, bahkan Beni pun telah diberikan kepercayaan oleh Jonathan untuk mengetahui pasword pintu akses apartemen tersebut.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Nona muda?" tanya Beni saat tiba di dapur dan mendapati Elisa ada di sana. Sebenarnya dia tadi ingin membuat minumnya sendiri, namun mendapati istri kontrak atasannya itu yang ternyata juga berada di sana rasanya tidak apa-apa bagi Beni untuk sejenak tinggal.
Sementara Elisa yang sedang mengiris buah untuk dia bawa ke dalam kamar sontak berjingkat di tempat saat mendengar suara maskulin dari arah belakangnya. Segera Elisa memutar tubuh dan betapa terkejutnya dia mendapati Beni yang sudah berdiri di ambang pintu akses keluar - masuk dapur itu.
"Seharusnya aku yang bertanya kenapa Anda berada di sini," ucap Elisa menatap Beni sekilas kemudian kembali berkutat pada buah di hadapannya. Sementara itu, Beni yang melihat Elisa sibuk dengan kegiatannya seketika berjalan mendekati gadis itu.
Di sisi lain, Jonathan yang baru saja selesai dengan panggilannya segera kembali ke ruang tamu namun hanya kekosongan yang dia dapatkan. Tidak ada satu orang pun di sana yang akhirnya membuat pria itu berjalan masuk menuju dapur untuk mengambil minum dan siapa tahu melihat kehadiran Beni di ruangan itu.
Namun, betapa terkejutnya Jonathan saat dia hendak menuju dapur dan dia dapati Beni dan Elisa sedang tertawa riang. Entah mengapa, namun hal itu cukup membuat amarahnya kembali mendidih bahkan kepalanya terasa hampir terbakar karena kedekatan yang tampak di antara keduanya.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" hardik Jonathan dengan geram.