Bryan masih tidak mempercayai apa yang baru dialaminya. Bagaimana mungkin dirinya yang ahli dalam mendekati perempuan bisa terpesona pada Elisa yang berstatus sebagai istri dari Jonathan, musuh besarnya. Kalau dipikirkan lagi, semua ini merupakan kebetulan yang tidak menyenangkan.
"Rasanya aku masih sukar mempercayai bahwa gadis di sampingku adalah istri dari Jonathan," gumam Bryan seraya melirik perempuan yang duduk manis di sebelahnya. Dia masih berpikiran bahwa semua itu hanya sebatas gurauan dari Elisa yang tidak mau didekati olehnya.
Bryan menggaruk rambutnya sembari mengemudi. Dia benar-benar tidak mengerti semua yang terjadi selama beberapa bulan dirinya meninggalkan Indonesia. Bryan telah menghabiskan waktunya selama enam bulan untuk mengurus cabang perusahaannya di Australia dan setelah kembali justru ketinggalan sebuah berita yang cukup mencengangkan.
"Elisa," sapa Bryan dengan nada yang terdengar ragu.
"Hmmm," sahut Elisa dengan wajah cantik dan tatapan mata yang begitu polos. Rasanya Bryan tidak mungkin bisa melupakan cara gadis itu dalam menatapnya.
"Kalau boleh tahu, sejak kapan kamu mengenal Jonathan hingga akhirnya memutuskan untuk menikah dengannya?" tanya Bryan. Dia merasa lega karena telah mencurahkan semua yang ada di dalam hatinya. Pelan-pelan dia akan mencari tahu tentang Elisa dan Jonathan yang membuatnya merasa bingung.
Elisa masih menatap Bryan dengan bimbang. Rasanya tidak mungkin Elisa akan mengatakan yang sebenarnya mengenai hubungannya dan Jonathan. Namun, Elisa tidak mungkin membohongi lelaki yang sudah menolongnya. Bryan adalah lelaki yang baik hati.
"Kami kenal begitu saja dan langsung menikah. Mungkin karena menemukan kecocokan satu sama lain makanya mau menikah secepatnya," sahut Elisa. Dia kembali menatap ke arah jalanan karena tidak mau menatap Bryan semakin lama. Bagaimana jika kebohongannya terbongkar nantinya.
"Berapa lama saling mengenal dan memutuskan untuk menikah?" tanya Bryan lagi. Pemuda itu begitu penasaran.
"Tidak sampai satu bulan," jawab Elisa. Dia masih belum mau melihat wajah Bryan.
"Tidak sampai satu bulan namun sudah memutuskan menikah. NO! Its BIG NO! Ini jelas bukan Jonathan yang sebenarnya. Jonathan tidak mau menjalin hubungan serius dan hidupnya hanya untuk main-main saja. Kalau dia memang menikah dengan Elisa, tandanya gadis ini pasti luar biasa," batin Bryan. Dia terus mencuri pandang ke arah Elisa yang sibuk menatap laju kendaraan di depan matanya.
"Cantik," batin Bryan yang menatap setiap lengkungan di wajah Elisa yang bagai pahatan yang sangat sempurna. Wajahnya lonjong, pipinya bulat, hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Astaga aku tahu kalau ini bibir yang memang disukai oleh Jonathan," batin Bryan dengan senyuman terkembang.
Elisa menoleh ke arah Bryan yang sedang tersenyum dan rasanya aneh karena pemuda itu tersenyum sendirian. Elisa menoleh ke kanan dan kirinya namun memang tidak ada yang nampak lucu baginya.
Bryan langsung diam karena melihat tatapan mata penuh keanehan dari Elisa. Dia tidak mau dicap sebagai pemuda gila karena tertawa sendirian.
"Kamu kuliah dimana, maksudku bagaimana ceritanya bisa bertemu dengan Jonathan. Kupikir kalian berbeda karakter," ungkap Bryan.
Elisa nampak tidak nyaman karena pemuda di sampingnya banyak bertanya tentang urusan pribadinya. Meskipun dia mengenal Jonathan namun rasanya tidak mungkin untuk bercerita secara pribadi kalau tidak benar-benar dekat.
"Aku rasa kita belum berada dalam tahap bisa berbicara secara pribadi seperti itu. Aku minta maaf," ucap Elisa dengan tulus dan sabar. Bryan semakin menyukai karakter gadis di sampingnya.
"Okey, aku mengerti," balas Bryan. Dia terus mengemudikan kendarannya menyusuri jalanan yang masih dipenuhi kendaraan yang lalu lalang. Di pinggir jalan, banyak pedagang yang ramai menjajakan dagangan kuliner malam. Semua nampak sibuk dengan kegiatannya sendiri.
Di dalam mobilnya, Bryan masih terus memikirkan mengenai sosok Elisa yang begitu istimewa di hadapanya. Meskipun banyak gadis cantik yang ditemuinya namun Elisa memiliki sesuatu yang unik. Sesuatu yang tidak bisa dilukiskan dalam sebuah kata-kata.
Tiga puluh menit kemudian, mobil Bryan telah sampai di palataran apartemen Jonathan. Elisa mengenali lokasi apartemennya. Dia hendak turun namun sebelumnya dia menarik napas panjang dan mengeluarannya.
"Kita sudah sampai," ucap Bryan. Dia sengaja mengajak Elisa bicara supaya tidak terasa hampa dan canggung di dalam mobil.
"Apakah kamu mau ikut masuk ke dalam dan menyapa Jonathan? Aku akan mengambilkan uang untuk ganti biaya taksi," janji Elisa.
Bryan tersenyum menatap ketulusan Elisa. Baginya, uang itu bukanlah masalah karena dia yakin Jonathan akan memberikan banyak uang kepada istrinya. Namun, Bryan tidak mau kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Elisa kembali. Dia merasa semakin penasaran dengan gadis itu.
"Tidak usah, sudah malam. Aku tidak mau membuat Jo salah paham dengan kedatanganku. Begini saja, besok kamu bisa membayar tagihan taksi dengan mentraktirku makan siang. Bagaimana?" tawar Bryan.
Elisa terdiam sejenak sebelum akhirnya dia menyanggupi untuk mengganti uang taksinya. Dia tidak mau berhutang pada pemuda yang baru pertama ditemuinya. Rasanya sungguh tidak bijak apalagi lelaki itu adalah rekan dari Jonathan.
"Baiklah, besok kita akan bertemu di restoran dekat pusat perbelanjaan saat jam makan siang. Aku akan kesana sekalian berbelanja kebutuhan rumah. Terima kasih atas bantuannya dan sampai jumpa," kata Elisa sebelum membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil milik Bryan.
Bryan melambaikan tangannya kepada Elisa yang tersenyum manis kepadanya. Entah mengapa hatinya merasa berbunga-bunga hanya dengan menatap wajah manis Elisa yang sedang tersenyum.
Elisa membalik badan ketika melihat mobil Bryan sudah meninggalkan halaman parkir apartemen. Sekarang dia sendiri. Elisa harus menghadapi pergolakan batinnya setelah pertengkarannya dengan Jonathan di tempat pertemuan tadi. Sekarang dia harus menahan perasaannya karena tidak mungkin meninggalkan apartemen malam hari seperti ini apalagi dia juga sedang hamil.
"Aku harus mencoba bersabar," ucap Elisa pada dirinya sendiri. Dia pun berjalan tanpa ragu menuju apartemen milik Jonathan.
Apartemen hunian Jonathan memang tergolong mewah dengan standar keamanan yang cukup tinggi. Para security disana bahkan sudah menghafal wajah satu persatu penghuninya supaya mengantisipasi adanya penyusup yang menyamar. Selain itu, adanya akses pengamanan sidik jari juga diterapkan di area tertentu untuk menunjang kenyamanan penghuni disana.
Elisa melangkah menuju ke pintu apartemen yang tertutup. Setelah memasukkan kode sandi dan sidik jarinya, gadis itu melangkah ke dalam ruangan yang langsung menyala secara otomatis ketika pintu terbuka. Elisa meletakkan sepatu yang dikenakannya di rak yang ada di dekat pintu dan nampak sepatu milik Jonathan sudah ada disana.
"Rupanya dia sudah pulang ke rumah," gumam Elisa didalam hati.
Elisa hendak melangkah kedalam ketika nampak seorang lelaki sedang berdiri menatapnya dengan tajam. Jonathan melihat ke arah Elisa sembari menyilangkan tangan di dadanya. Dia masih mengenakan stelan tuksedo rapi dan sepertinya memang belum berganti pakaian. Dia nampak menyembunyikan kekesalannya.
Elisa terdiam sebelum akhirnya memutuskan untuk berjalan tanpa menghiraukan kehadiran Jonathan disana.
"Kamu darimana?" tanya Jonathan sembari menahan lengan Elisa supaya tidak masuk ke dalam kamar. Jonathan mencengkeran erat lengan gadis itu hinga membuatnya meringis kesakitan.
"Bukan urusanmu!" tegas Elisa. Kalimat yang terasa bagai sebuah bentuk perlawanan kepada Jonathan yang sangat membenci adanya penolakan.