Sejak pertengkaran mereka beberapa hari lalu perihal pesta dan kepulangan Elisa yang tidak diketahui oleh Jonathan dengan siapa, membuat baik Elisa atau pun Jonathan enggan membuka obrolan terlebih dahulu hingga hal tersebut semakin menciptakan jarak cukup besar bagi keduanya yang kini telah seperti manusia asing meskipun tinggal di dalam satu rumah yang sama.
Keterdiaman itu semakin memburuk saat baik Elisa dan Jonathan terus saja mempertahankan ego dan gengsi di dalam diri mereka masing-masing.
Suatu malam, Elisa yang sejak tadi telah bersiap untuk tidur terus bergerak gelisah di atas ranjangnya karena merasakan perut yang begitu lapar. Ingin dia tetap berusaha untuk terlelap karena terlalu malas dalam beranjak dan berjalan menuju dapur, namun sifat keras kepala yang Elisa tanamkan justru berujung membuat gadis itu sulit meraih tidurnya karena rasa lapar yang kian mendera membuat dirinya semakin merasakan tak nyaman. Dengan berat hati Elisa mulai bangkit dari tidurnya dan mendudukkan diri. Tatapan gadis itu terlihat begitu datar dan malas dengan kantong mata yang telah membentuk beberapa garis lipatan.
Sejenak Elisa mengerjapkan matanya yang terasa begitu berat karena rasa kantuk terus saja menerang. Tetapi, sepanjang dia memejamkan mata itu, sang mimpi seolah enggan untuk datang dan membawanya larut.
"Astaga, aku lapar. Kenapa perutku tidak bisa diajak kompromi sih, padahal tadi sudah makan malam tetapi kok masih lapar?" batin Elisa seraya memegang perutnya yang keroncongan.
Akhirnya, dengan sisa tenaga dan energi yang sudah berkumpul Elisa perlahan mulai menurunkan kedua kakinya menyentuh permukaan sandal slop berwarna pink dengan hiasan kelinci putih di atasnya. Elisa menyusupkan kedua kakinya tersebut pada sandal itu kemudian mulai melangkah menuju dapur untuk sekedar mengambil camilan atau mungkin beberapa buah yang masih berada di dalam kulkas untuk kemudian dia bawa kembali menuju kamar.
Namun, langkah Elisa seketika terhenti saat gadis itu mendapati suara yang menurutnya sedikit aneh memecah keheningan dalam rumah itu. Pasalnya baru beberapa jam yang lalu pelayan di rumah Jonathan berpamit untuk pulang, namun rasa-rasanya Elisa masih saja mendapati suara seorang wanita di sana.
Dengan langkah cukup pelan Elisa kembali menggerakkan kakinya sembari terus berusaha menajamkan indra pendengarannya. Gadis itu terus berjalan mengikuti arah sumber suara seiring dengan suara berisik seperti sebuah obrolan, atau sahutan dan sesekali suara lirihan pelan terdengar di telinganya.
Elisa mengerjapkan kedua matanya saat dirinya cukup yakin di mana sumber suara itu berasal. Yaitu apa sebuah kamar kosong yang terletak tepat di sebelah kamar Jonathan.
"Benarkah suara itu berasal dari kamar itu? Bukankah kamar itu kosong," batin Elisa yang berdebar-debar karena ketakutan.
Sebenarnya kamar itu memang sengaja dibiarkan kosong hanya untuk berjaga-jaga jika seandainya ada tamu atau keluarga mereka yang hendak menginap. Meskipun sepanjang Elisa menikah dengan Jonathan, sepertinya dia belum pernah mendapati hal itu. Tidak ada satu orang pun yang pernah menginap di rumah Jonathan selain kadang sang bibi jika suasana saat dirinya pulang namun cuaca ternyata hujan dan sudah gelap, atau suami pelayan yang bekerja di murah itu berangkat kerja ke luar kota dan berakhir meninggalkan sang maid sendirian di rumah. Dan selain itu, sejauh yang Elisa tahu tidak pernah ada lagi yang pernah menginap di sana. Lalu siapa orang-orang yang ada di dalam ruangan itu? Kening Elisa seketika mengernyit seiring dengan rasa penasaran dan degup jantungnya yang kian membuncah.
Pasalnya yang Elisa tahu Jonathan telah pergi beberapa jam lalu. Elisa jelas tidak mengetahui di mana suaminya itu berada sekarang. Namun, yang pasti kenyataan ini semakin menambah rasa waswas di dalam benak Elisa menyadari jika kini dirinya benar-benar sedang sendirian.
"Bagaimana jika itu adalah suara pencuri yang tengah menggogohi seluruh barang yang ada di dalam sana?" Dalam hati Elisa mulai menebak. Tetapi, memangnya apa yang ada di kamar tamu itu selain ranjang dan almari?
Kening Elisa pun semakin berkerut seiring dengan beberapa opini yang terlintas di dalam kepalanya. Ingin dia membuka pintu itu asal, tetapi rasa takutnya yang teramat besar membuat Elisa menahan hasrat itu.
Sesaat Elisa kembali menajamkan indra pendengarannya saat dia tidak mendapati suara tawa atau obrolan apa pun seperti tadi. Dengan cepat Elisa bergerak ke arah guci besar yang ada di samping bufet tv saat dia tidak dapati beberapa payung dengan gagang panjang tersusun rapi di dalamnya. Dengan cepat Elisa mengambil salah satu payung itu dan menggenggamnya erat seolah benda itu adalah satu-satunya hal yang akan menyelamatkan dirinya nanti.
Dengan langkah begitu mantap akhirnya Elisa kembali berjalan mendekati kamar tamu itu. Lalu, semakin dia mendekat, semakin jelas pula Elisa mendengar suara-suara yang ada di sana.
Elisa terus melangkahkan kakinya mendekat hingga dirinya benar-benar berada di depan pintu kamar tersebut. Namun, alih-alih asal membukanya begitu saja, Elisa lebih memilih memastikan keadaan kembali dengan menempelkan telinganya pada pintu tersebut yang mungkin dapat membuatnya mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam sana.
"Ayolah, Jo. Aku mohon lebih cepatlah!" ucap seorang wanita dengan suara yang dibarengi dengan sebuah erangan seketika memekakkan telinga Elisa bebarengan dengan mata gadis itu yang seketika membulat sempurna.
"Lebih kencang lagi, Jo! Ah, ayolah!" suara wanita itu kembali membuat jantung Elisa berdebar tak karuan dengan batinnya yang seketika berkecamuk penuh dengan berbagai macam pertanyaan. Siapa wanita itu? Apa hubungan wanita itu dengan Jonathan? Dan, sedang apa mereka di dalam sana? Apakah, yang terjadi adalah sama dengan apa yang tengah dia pikirkan? Deru napas Elisa kian memburu seiring dengan air mata yang tiba-tiba terjatuh.
"Ayo keluarkan sekarang Jo, aku sudah siap. Kita puaskan dahaga kita bersama," lirih wanita yang ada di dalam sana. Elisa yang mendengar itu pun seketika melangkahkan kakinya mundur lalu membalikkan tubuhnya dan berlari kembali menuju kamar.
Di atas ranjangnya Elisa menangis sesegukan menyesali keputusannya yang telah memilih untuk keluar kamar. Elisa tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya. Bukankah melakukan apa pun dengan wanita lain itu adalah hak Jonathan? Bagaimana pun Elisa sadar jika memang sejak awal pernikahan mereka hanyalah sebatas status kontrak. Tetapi, kenapa justru yang dia rasakan begitu sakit? Apakah ini karena faktor kehamilannya?
Dalam hati Elisa kian merutuki dirinya sendiri yang terlihat begitu lemah.
"Kenapa kamu menangis? Kenapa kamu menangis Elisa? Astaga ... dia memang bukan milikmu! Kenapa kamu menangis? Kenapa kamu merasakan sakit? Ayolah, jangan seperti ini. Kamu tidak boleh seperti ini!" Elisa memukul kepalanya pelan berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Namun bayangan akan suara wanita yang sempat dia dengar tadi, serta tebakan-tebakan yang muncul di dalam kepala Elisa tentang apa yang tengah Jonathan dan wanita itu lakukan di dalam sana tetap saja saja berakhir membuat gadis itu luruh hingga berakhir tidak bisa tidur.