Flashback
Sesampainya di pekarangan rumah Jonathan segera keluar dari mobilnya dan menutup pintu mobil itu dengan keras. Segera dia melangkahkan kaki menuju pintu utama dan membukanya dengan begitu kasar hingga menciptakan suara gebrakan akibat benturan dari pintu dan dinding di belakangnya.
"Tu-- tuan?" sapa seorang pelayan yang sedang membersihkan meja terlonjak kaget ketika mendapati kehadiran Tuannya yang begitu tiba-tiba.
"Di mana Elisa?" tanya Jonathan dengan suara penuh emosi yang tidak lagi bisa dia kontrol. Sementara sang pelayan yang mendengar pertanyaan dari Tuannya itu seketika mengerutkan kening bingung. Pasalnya, yang dia tahu tadi sang Tuan dan Nyonya-nya berangkat pergi bersama. Lalu, kenapa kini Jonathan justru pulang sendiri dan mempertanyakan keberadaan Elisa?
"Sa-- saya tidak tahu, Tuan. Nyonya Elisa belum pulang sejak tadi," ucap pelayan itu dengan sedikit terbata menciptakan sebuah decakan kecil dari bibir Jonathan.
"Kalau begitu ke mana Elisa pergi? Kenapa dia belum sampai rumah?" Jonathan mendudukkan diri pada sofa ruang tamu rumahnya sembari bergerak gelisah. Beberapa kali dirinya melirik ke arah jam tangan yang melingkari tangannya.
"Ke mana dia? Kenapa sampai sekarang belum juga pulang?" Jonathan kembali bergumam. Sejenak pria itu menyandarkan dirinya pada bantalan sofa sembari terus menggerakkan kakinya resah. Hingga sebuah suara deru mobil seketika membuat Jonathan bangkit dan menegakkan punggungnya.
Elisa memasuki rumah itu dengan senyum yang begitu menawan sembari membawa sekantong plastik berisi makanan kesukaannya yang tadi sempat dibelikan oleh Bryan saat melewati penjual di pinggir jalan. Awalnya Elisa hanya membatin saja saat melihat gerai yang menjual makanan kesukaannya itu, namun matanya yang mengisyaratkan antusias dan rasa begitu ingin berhasil di tangkap oleh Bryan. Ya, siapa yang tidak akan paham saat melihat pandangan Elisa yang seketika terpaku pada sang penjual kue itu bahkan tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun meski mobil yang dia tumpangi telah melaluinya cukup jauh.
"Kamu ingin membeli itu?" tanya Bryan membuat Elisa yang sedari tadi memfokuskan pandangannya pada gerobak penjual makanan di atas trotoar seketika mengerjapkan mata.
"A-- apa? Ah, tidak, aku hanya ..."
"Baiklah, kalau begitu aku akan membelikannya untukmu. Tunggu sebentar, aku akan mencari tempat untuk memutar balik mobil ini," ujar Bryan memotong ucapan Elisa.
Dan inilah Elisa sekarang. Pulang, dengan perasaan begitu bahagia padahal beberapa menit yang lalu dia sempat menangis dan panik saat berdebat dengan Jonathan maupun menjalani kenyataan jika dia tidak mempunyai uang sepeser pun untuk membayar tagihan taxi. Tuhan memang selalu baik, dan Elisa meyakini itu.
"Dari mana saja kamu?" tanya Jonathan seketika menghentikan langkah Elisa. Lagi-lagi gadis itu mengerjapkan matanya karena tidak percaya jika sedari tadi ternyata ada Jonathan di sana.
"Kamu sudah di sana sejak tadi? Ah, kenapa aku tidak menyadarinya?" ujar Elisa lebih pada dirinya sendiri.
"Dari mana saja?" Jonathan mengulang pertanyaannya.
"Kenapa baru sampai rumah?" imbuhnya yang kini berjalan mendekati Elisa sembari melipat kedua tangannya ke depan dada dengan tatapan penuh telisik.
"Tadi macet. Dan ada sedikit kendala," jawab Elisa tampak begitu acuh kemudian gadis itu kembali melangkahkan kakinya meskipun berakhir gagal karena lengannya sudah lebih dahulu dicengkeram oleh Jonathan.
"Jonathan! Apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku, ini sakit sekali," rintih Elisa saat merasakan cekalan Jonathan begitu kuat di lengannya.
"Aku belum selesai berbicara denganmu," papar Jonathan dengan penegasan di setiap kalimatnya.
"Memangnya apa lagi yang perlu kita bicarakan?" Elisa menatap nyalang ke arah suaminya itu. Sementara Jonathan semakin menggertakkan giginya saat mendapati istrinya itu bersikap lancang padanya.
"Apakah kamu baru saja membentak diriku? Dengar Elisa, aku adalah suamimu. Dan sebagai istri tidak sepatutnya kamu bersuara keras seperti itu denganku!" sergah Jonathan begitu murka.
"Kamu memang harus diberi pelajaran agar tidak semakin bertindak seenaknya dan juga menjadi mudah diatur. Istri seorang Jonathan harus dipenuhi sikap sopan santun. Tidak seperti dirimu yang sama sekali tidak tahu apa itu etika," ujar Jonathan yang semakin menunjukkan rasa geramnya, namun hal itu tidak membuat Elisa yang tengah diliputi perasaan senang menjadi takut.
"Aku memang miskin tetapi jelas aku mengerti etika lebih dari dirimu. Sekarang lepaskan tanganku karena aku ingin segera beristirahat, Jonathan," ucap Elisa yang turut mempertegas suaranya.
"Kamu bilang apa? Mengerti etika? Orang yang mengerti etika tidak mungkin pergi meninggalkan sebuah acara saat acara itu belum sepenuhnya selesai!" sentak Jonathan.
"Dan orang yang mengerti etika tidak akan memarahi istrinya di depan semua orang, Jonathan. Kamu sama saja denganku. Sudahlah, lepaskan tanganku segera!" Elisa berusaha terus menarik lengannya.
"Apa yang ada di tanganmu?" tanya Jonathan melirik bungkusan putih di tangan Elisa, sementara Elisa yang melihat lirikan Jonathan seketika mengeratkan genggamannya pada kantong plastik itu dan menjauhkannya dari Jonathan. Meskipun akhirnya pria itu tetap saja berhasil merebut bungkusan itu dari tangan Elisa.
"Jonathan! Apa yang kamu lakukan?! Berikan itu padaku!" seru Elisa berusaha merebut kembali bingkusan putih itu.
"Apa ini? Martabak manis?" Jonathan menatap aneh bingkisan berisi kue di tangannya.
"Kembalikan!" seru Elisa yang akhirnya berhasil meraih kue kesukaannya kembali.
Sejenak Jonathan mengerutkan keningnya dengan pandangan masih terfokus pada bingkisan yang dibawa oleh Elisa. Lalu, dengan cepat pria itu melangkahkan kakinya dan kembali mencekal lengan Elisa yang baru saja akan membuka pintu kamarnya.
"Ada apa lagi, Tuan Jonathan yang terhormat?" tanya Elisa begitu geram.
"Dari mana kamu mendapatkan makanan itu? Bukankah kamu tidak membawa uang sama sekali tadi?" Jonathan memicingkan pandangannya ke arah Elisa.
"Dan, bagaimana caramu bisa sampai ke rumah ini?" ujarnya semakin menelisikkan pandangan.
"Itu sama sekali bukan urusanmu!" jawab Elisa cepat, kemudian gadis itu menyentak cengkeraman Jonathan di lengannya dan segera memasuki kamar meninggalkan Jonathan yang masih terdiam dengan kepala dipenuhi tanya.
"Elisa!!" seru Jonathan meluapkan amarahnya, namun tetap tidak mendapatkan sahutan hingga akhirnya yang bisa dia lakukan hanyalah memukulkan kepalan tangannya ke udara. Sementara dalam kamarnya, Elisa menutupi telinganya dengan headphone yang mengalunkan suara musik penenang jiwa sembari memakan martabak manis isi cokelat keju favoritnya.
Deruan musik mulai menggema di seluruh ruangan serta di telinga Jonathan ketika pria itu melangkahkan kakinya untuk masuk ke sebuah club yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Pikirannya benar-benar kalut karena sikap Elisa yang selalu saja membuat dirinya berakhir sebal. Dan di sinilah Jonathan sekarang, duduk di sebuah meja panjang dengan sebotol air mineral yang telah dia pesan. Malam ini Jonathan tidak akan membuat dirinya berakhir mabuk, dia hanya ingin menenangkan pikiran dengan bercengkrama bersama teman-temannya.
Jonathan kerap bersenang-senang di club hanya untuk menemui teman-temannya. Sesekali dia memang masih meneguk minuman keras namun malam ini dia masih ingin tetap terjaga dalam kesadaran penuh karena tidak mau mabuk. Besok dia ada rapat penting yang menuntut penampilan prima sehingga dia mencegah mabuk.