"Hai, Jo! Aku tidak menyangka jika kita akan bertemu lagi di sini. Wah ... rasanya dunia sempit sekali," ucap Bryan yang baru saja datang sembari menunjukkan suara kekehannya.
"Bukan dunia yang sempit. Lingkungan pergi kalian saja yang selalu sama," sahut Alex, teman mereka yang lain. Sementara Jonathan masih saja terdiam.
"Hahaha! Bisa jadi." Bryan mendudukkan dirinya tepat di seberang Jonathan.
"Kamu ingin minum?" Alex bertanya.
"Boleh," ujar Bryan menyanggupi. Lalu tatapannya beralih pada sebuah botol berisi air mineral yang berada tepat di depan Jonathan.
"Apa itu? Air mineral? Siapa yang memesannya?" ujar Bryan dengan tatapan begitu memicing.
"Itu? Milik Jonathan. Dia tidak ingin mabuk malam ini," jawab Alex sebelum benar-benar melangkah pergi menuju ke meja bartender.
"Kenapa tidak ingin? Apa kamu takut dimarahi oleh istrimu? Ah, ya, ngomong-ngomong selamat menikah dan menempuh hidup baru, Jonathan," ucap Bryan seraya mengulurkan tangan kanannya ke arah Jonathan yang seketika menimbulkan riuh teman-temannya yang lain.
"Apa kamu bilang? Jonathan telah menikah?"
"Siapa yang menikah? Jonathan? Dengan siapa?"
"Kapan kamu menyelenggarakan pesta pernikahan? Kenapa kamu tidak mengundangku ke pestamu?"
"Sepertinya dia sengaja merahasiakan kabar bahagia itu." Bryan menipiskan Bibirnya sembari mengangkat bahunya acuh kemudian mulai menyesap minumannya yang telah tersaji.
"Sengaja?" seketika tatapan teman-teman Jonathan pun kembali terpaku kepada dirinya.
"Kenapa kamu harus menutupi berita sepenting itu kepada kami? Apa kamu sudah tidak menganggap kami sebagai temanmu?" tanya mereka.
"Iya, kenapa kamu harus merahasiakan pernikahanmu?" imbuh salah seorang yang lain.
Mendengar itu Jonathan memijit keningnya sejenak. Niatnya ingin mencari tenang namun rangkaian pertanyaan dari teman-temannya justru membuat pria itu semakin merasa pening dan tertekan.
Sementara itu, Bryan yang melihat raut frustasi di wajah Jonathan tak lagi mampu menahan seringainya. Sebenarnya Bryan melakukan itu karena tidak tahan dengan rasa penasarannya atas hubungan yang terjalin antara Jonathan dan Elisa. Entah mengapa, tetapi rasanya Bryan ingin sekali menggali lebih dalam tentang hal itu.
"Ah, atau mungkin karena kalian dijodohkan? Apa itu sebabnya kamu tidak mau mempublikasikan status barumu? Kamu tidak benar-benar mencintaimu istrimu kan?" ujar Bryan yang semakin semakin memperpanas suasana antara Jonathan dan juga teman-temannya yang lain.
"Wah! Apa benar itu? Kalian dijodohkan?"
"Astaga, padahal ini bukan lagi jamannya Siti Nurbaya, tetapi kenapa kamu masih saja mau untuk dijodohkan, Jo?" tanya Alex yang seketika memancing gelak tawa dari teman-temannya yang lain.
"Mungkin karena Jonathan tidak sanggup mencari wanitanya sendiri."
"Atau mungkin ini karena urusan bisnis? Aku jadi penasaran dengan wajah istrimu. Apakah dia cantik?"
"Bisa jadi," sahut teman Jonathan yang lainnya.
"Apakah dia dari kalangan pengusaha kaya? Wah, aku benar-benar tidak menyangka jika hanya karena urusan bisnis kamu sampai rela mengorbankan masa depanmu, Jo."
"Mengorbankan apa? Justru menurutku wanita itu lah yang mengorbankan masa depannya karena mau menikahi Jonathan. Kamu tidak lihat gaya temanmu itu? Dingin dan kaku, pasti sangat memuakkan," sahut salah satu dari mereka. Suasana di meja itu pun semakin riuh sementara Jonathan hanya bisa menghembuskan napasnya kasar karena sedari tadi menjadi bahan perbincangan teman-temannya. Dan ini semua terjadi karena ulah Bryan, pria yang selama ini selalu menganggapnya sebagai seorang saingan.
Sebenarnya bukan sebuah rahasia lagi jika pertemanan yang terjalin antara Jonathan dan Bryan hanya lah sebatas di dalam mulut saja karena pada kenyataannya kedua pria itu selalu saja bersaing dan saling menyimpan dendam satu sama lain. Hal itu berawal dari saat masa-masa kuliah mereka di mana Bryan dan Jonathan berada dalam satu fakultas dan jurusan yang sama hingga akhirnya terjalin sebuah persahabatan di antara mereka.
Suatu hari, Bryn yang duhulu terkenal berpenampilan cupu menyukai salah satu gadis yang merupakan juniornya. Cukup lama pria itu menyimpan perasaannya sendiri, hingga saat dia memberanikan diri dan hendak menyatakan cinta, ternyata junior yang dia sukai itu telah menyatakan perasaannya terlebih dahulu kepada Jonathan. Hal itu benar-benar membuat Bryan sakit hati dan juga kecewa, ditambah dengan kenyataan jika ternyata Jonathan menerima perasaan gadis yang dia sukai itu. Bryan yang tahu pun semakin merasa murka dan berujung semakin membenci Jonathan.
Jonathan yang tidak tahu alasan Bryan menjauhinya pun hanya bersikap cuek sembari menjalin perkumpulan dengan teman-temannya yang lain. Sementara Bryan yang terkenal cupu lumayan kesulitan untuk mencari teman baru. Semua begitu mudah didapatkan oleh Jonathan, namun tidak dengan dirinya. Hal itulah yang menjadikan dirinya semakin benci dengan Jonathan dan semakin memupuk dendamnya. Dendam untuk mengusik Jonathan dan menyaingi segala apa yang pria itu lakukan. Termasuk dalam urusan bisnis, atau apa pun. Hingga akhirnya membuat Jonathan merasa jengah atas sikap Bryan dan turut memupuk perasaan benci di hatinya terhadap pria itu.
"Kami menikah bukan karena perjodohan," terang Jonathan lalu menenggak minumannya.
"Benarkah?"
"Sudah kuduga. Mana mungkin kamu mau dijodohkan!"
"Lalu, kenapa kamu tidak mengabari kami?" seketika teman Jonathan semakin merasa penasaran.
"Karena kami memang tidak mengadakan pesta. Hanya acara kecil yang dihadiri keluarga besar saja," ucap Jonathan menjelaskan sembari kembali menutup botol miliknya dan menyandarkan diri.
"Lalu, kenapa kamu terkesan menyembunyikan pernikahan itu?" Bryan mengangkat sebelah alisnya menatap ke arah rekannya itu. Sementara Jonathan yang melihat rasa ingin tahu Bryan seketika kembali menegakkan punggungnya.
"Kamu benar-benar ingin tahu itu?" ujarnya menatap Bryan dengan pandangan datar namun ada kesan mencibir di sana.
"Itu karena aku lupa memakai pengaman saat bermain dengan Elisa yang kemudian membuatnya berakhir hamil," terangnya begitu gamblang.
"Sebagai pria sejati, aku tidak mungkin menyuruhnya untuk membunuh janin itu kan? Lagi pula bagaimana pun janin itu merupakan darah dagingku. Calon anakku. Dan juga calon keturunanku. Jadi aku tidak mungkin menyuruh Elisa untuk memusnahkannya," ujar Jonathan yang seakan menekan pada setiap katanya dengan menatap Bryan begitu lekat seolah hendak mengingatkan sesuatu kepada pria di hadapannya itu.
"Sudahlah, sepertinya tidak ada lagi yang perlu aku klasifikasi di sini." sejenak Jonathan menatap ke arah jam di tangannya.
"Aku harus segera pulang atau istriku akan cemas karena kepergianku yang tanpa pamit padanya," imbuh Jonathan kemudian beranjak bangkit dari duduknya meninggalkan Bryan dan seluruh teman-temannya yang masih saling merasa heran.
"Tunggu! Hei, kamu harus menjelaskan sesuatu padaku!" teriak salah satu dari mereka.
"Apakah istrimu begitu garang sampai kamu takut untuk pulang larut malam?" imbuh temab Jonathan yang lain.
"Dia bahkan takut untuk meminum alkohol,"
"Aku benar-benar penasaran dengan sosok istri Jonathan. Secantik apa dia sampai bisa menaklukkan pria batu seperti itu?"
Bising dari teman-temannya masih saja terdengar namun Bryan tetap terdiam di tempatnya dengan pikiran yang juga berkecamuk.