Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Asa Dalam Sketsa

🇮🇩Phantom_Puella
--
chs / week
--
NOT RATINGS
12k
Views
Synopsis
Setelah memiliki masalah dengan editor di Penerbit MN Pustaka, Karin memilih menyembunyikan dirinya di sebuah pulau kecil dan menghabiskan waktunya di penginapan Pantai dengan penuh depresi. Tak di sangka, itu menjadi tempat di mana ia bertemu kembali dengan teman lamanya sekaligus cinta pertamanya, seorang Komikus yang baru naik daun. Pelarian Karin yang awalnya untuk berlari dari kenyataan kini berubah untuk mencari kenyataan dengan genggaman tangan Hamish yang erat menuntunya. **Blurb “HOI kau sudah mati?” tanyanya saat ia berusaha mengangkat badan lelaki yang sedang pingsan dan menyeretnya ke tepi pantai. Karin merasa kesusahan tapi ia lega, ia menemukan tubuh lelaki itu dengan cepat. Karin yakin ia masih hidup, tapi ia cukup khawatir karena setidaknya pasti sudah ada air asin yang masuk paru-parunya. "Ayo jadi partnerku. Kalau kau tidak bisa menulis untuk buku-bukumu. Menulislah untuk komik ku!" Hamish menadah tangannya, ia menatap Karin dengan yakin. Mereka adalah dua manusia yang akan saling memberi harapan di masa-masa terpuruk yang tidak terduga.
VIEW MORE

Chapter 1 - Dua Orang Bodoh

Seorang gadis yang sama sudah duduk di bibir pantai itu selama 2 bulan, ia datang setiap pagi saat mentari menyingsing dan setiap petang ketika mentari ingin menenggelamkan diri. Seolah ia menjadi tuan yang berkewajiban menyambutnya setiap pagi dan berpamitan ketika senja.

Sang mentari pun menjadi terbiasa dengan raut wajah sang gadis penyambut. Raut yang selalu sama muncul saat ia duduk dengan melipat lututnya, perasaan yang selalu pilu ia bawa menghadap sang mentari. Seolah ia ingin sang Mentari turut prihatin padanya.

"Lihat dia, aku tidak ingat sejak kapan tapi dari seminggu lalu dia terus saja duduk di sini di waktu yang sama."

suara setengah berbisik yang melewati punggung Karin, tapi ia tidak peduli. Ia tidak akan beranjak sampai kakinya lelah dengan posisi menekuk.

"Halah, paling dia sedang putus cinta. Biasalah anak muda jaman sekarang. Lebay menghadapi masalah begituan."

[Karin sangat benci mendengar kata-kata itu. Putus cinta? Tidak semudah itu. Kepercayaannya pada lelaki brengsek itu tidak hanya tentang cinta antara dua hati. Ia lebih sekedar seperti kekasih. Ia juga editornya, temannya, seniornya. Ia sangat percaya padanya sampai rasanya kepercayaan ini merenggut sedikit demi sedikit ruang di hatinya, ruang semangatnya, dan menjadi parasit di otaknya. Ia menderita setengah mati. Ini cinta pertama? Tidak juga. Tapi ini cinta pertamanya yang berhasil ke jenjang hubungan serius. Suara-suara itu terus beriringan muncul di kepalanya, entah untuk menyakinkan dirinya atau malah membuat dirinya tambah sengsara. Apa yang salah pada dirinya? Pada kehidupannya? Ia harus bagaimana? Lanjut atau berhenti dan menyerah. Apa ini akhir dari karirnya?]

Setiap hari Karin merenung, memikirkan hal yang sama. Atau terkadang ia akan tertidur tidak sadarkan diri sampai terkapar ketika memeluk lututnya di pinggir pantai yang selalu ramai di lalui orang-orang. Selama dua bulan ia melakukan hal yang sama. Beberapa orang yang bahkan melabelinya si gadis gila. Meski ia tidak benar-benar gila atau mungkin sudah setengah gila.

"Apa aku sudah gila?"

Gadis itu sesekali bertanya pada dirinya ketika ia selesai merenung. Matahari mulai sudah tidak nampak, langit pun sudah menjadi gelap. Telapak kakinya terasa kebas, Ia mulai berdiri, meregangkan badannya. Ia berbalik dan ingin kembali ke penginapannya.

Karin telah menyewa indekos di kawasan Pantai ini sejak 2 bulan lalu. Ia sedang berlari dengan kenyataan hidupnya yang rumit. Dan entah bagaimana Pantai Pelawan menjadi tujuan utamanya untuk menyembunyikan diri dari kejaran pihak penerbit yang terus menagih naskah lanjutan darinya.

"Apa ini? Kenapa laut malam ini terasa seperti memanggilku? Apa selama ini memang seindah ini?"

Gadis itu menoleh kebelakang ketika ombak berderu di belakangnya. Ia seperti terhipnotis dan menuju arah laut perlahan.

"Aku pasti benar-benar sudah gila. Duduk disini selama dua bulan membuat otakku menyusut," teriak Karin melantangkan suaranya di Pantai yang sudah sepi. Penjaga sudah pulang di kediamannya masing-masing.

Gadis itu kini berjalan sedikit lebih cepat dan tertawa, ia mengejar ombak. Seolah memintanya untuk mengajak dirinya. T idak ada yang perduli pada kegiatannya. Ia sudah dianggap gila. Kecuali seorang lelaki yang baru kembali di tanah kelahirannya, setelah sekian lama.

"HEI!"

Lelaki itu berteriak berkali-kali mencoba untuk menghentikannya. Tapi suaranya terbenam dengan suara ombak yang berderu. Ini bukan ombak yang besar, ia mungkin tidak sampai selutut. Tapi lokasi Pantai yang sepi membuat suara deru itu memenuhi ruang di sekeliling mereka.

"OI, apa kau sudah gila?!"

Ia berteriak lagi dan mengejar gadis yang semakin lama berjalan ke tengah laut. Tampak mimik cemas dan takut setengah mati pada wajah lelaki itu. Tapi tidak dengan gadis gila itu, ia nampak tenang dan tersenyum. Selama dua bulan ia hanya memandangnya, hari ini ia ingin berenang dan bersatu bersamanya.

[Sialan. Apa aku juga bakal mati hari ini. Dasar manusia gila mana yang ingin berenang petang-petang begini. Dia pasti ingin bunuh diri saat pantai mulai sepi. Tidak akan kubiarkan sialan!]

Jaraknya mulai dekat dengan gadis itu, dengan keadaan buru-buru lelaki itu ingin segera menyusul gadis gila yang semakin ketengah.

"HOI!" teriaknya sekali lagi.

Beruntungnya kali ini gadis itu menoleh ke arahnya, tapi dengan keadaan cemas, ia tidak sengaja tersandung batu karang dan setengah tenggelam. Kini hampir seluruh pakaiannya basah, dan membuat beban memberat.

[Brengsek, aku bahkan lupa melepas jaket ini.]

Lelaki itu bersusah payah melepas jaket saat berada di tengah laut dengan ketinggian sedada, membuatnya sempoyongan, ombak pun tak tinggal diam mendorong dirinya. Membuat ia bertambah panik dan kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh sekali lagi dan mencoba berdiri dengan rasa takut. Saat itu gadis yang ia tolong menghilang di hadapannya. Rasa paniknya bertambah berkali-kali lipat.

Karin mendengar ada suara teriakan, ia menoleh kesana kemari dan saat ia menoleh kebelakang, tampak siluet lelaki dengan gerakan aneh tidak jauh darinya. Ia nampak bingung.

[Siapa orang bodoh yang berenang malam-malam begini, pikirnya.]

Karin sudah tidak menjejakan kakinya di atas tanah, ia adalah seorang perenang handal. Ia sering berenang, itu juga satu-satu hobinya. Melihat orang yang tidak jauh darinya bergelagat aneh, ia mendekatinya dengan berenang di dalam air. Tapi penglihatannya menjadi buruk karena malam semakin gelap.

[Sialan si bodoh ini bunuh diri di depanku ya. Menyusahkan sekali. Kalau aku tidak menyelamatkannya, besok aku bisa jadi tersangka utama. Mengingat orang-orang sekitar tahu dia yang terakhir kali beranjak dari bibir pantai.]

Karin mempercepat berenangnya menuju ke tempat lelaki itu. Meraba kesana kemari karena penglihatannya yang buruk. Sampai akhirnya ia menyentuh bagian kaki lelaki itu, ia mencoba mengangkat bagian tubuh lainnya, dan mendirikan badannya agar ia bernafas dengan udara lagi.

"HOI kau sudah mati?" tanyanya saat ia kesusahan mengangkat badan lelaki itu dan menyeretnya ke tepi pantai.

[Karin merasa kesusahan tapi ia lega ia menemukan tubuh lelaki itu dengan cepat. Karin yakin ia akan masih hidup. Ia tidak terlalu lama tenggelam. Tapi Karin cukup khawatir karena ini air asin. Setidaknya pasti sudah ada air asin yang masuk paru-parunya. Ia harus segera membaringkan dirinya dan mengecek pernapasannya lalu melakukan CPR, pikirnya.]

Dengan susah payah Karin membaringkan lelaki itu di tempat yang datar, ia bahkan sampai melepas kaosnya untuk dijadikan bantalan, karena tidak ada hal lain yang dapat digunakan. Tidak lama setelah ia memberikan napas buatan dan CPR lelaki itu bangun dengan tercengang.

Karin menghela nafas lega setelah dan tergeletak di sampingnya hanya dengan menggunakan sport bra.

"DASAR BODOH! KALAU MAU MATI JANGAN DI DEPAN MATAKU!"