"A-Apa? Siapa? Hei kau yang tadi mau bunuh diri kan?"
Lelaki itu bangkit dan duduk , ia menyadari seorang gadis terbaring di sampingnya. Suasana sekitarnya sangat gelap, ia meraba-raba tanah dan mengambil yang menjadi bantalan kepalanya. Membentangkan di depannya, dan menyadari itu sebuah baju.
"H-Hei. Kau tidak pakai baju ya?!" ucapnya kaget menyadari yang ia pegang ialah baju seorang gadis yang di sampingnya.
Gadis itu sangat kesal dengan respon lelaki yang sudah diselamatkan. Ia merebut baju yang berada ditangannya, dan memakainya.
"BUNUH DIRI? KAU BICARA APA BODOH! AKU YANG MENYELAMATKAN NYAWAMU YANG MAU KAU BUANG ITU!"
Karin merasa kepalanya sakit karena emosinya yang terkumpul dan meluap, ia merasa khawatirnya menumpuk sehingga tubuhnya tidak bisa berdiri. Tapi ia tetap memaksakan diri dan berakhir dengan sempoyongan
"Ah. Tunggu. Maaf aku tidak mengerti. Tapi sepertinya ada kesalahpahaman. Aku- tidak maksudku awalnya kukira kau itu mau bunuh diri dan aku hanya mencoba meraihmu."
Lelaki itu mulai bangkit dan mencoba mengejar gadis itu, tetapi kakinya terasa sakit. Ia menyadari kakinya terkilir saat tersandung batu karang. Namun ia tetap berusaha mengejar gadis itu. Malam ini terasa sangat gelap dari biasanya, sang rembulan bersembunyi di balik awan tebal.
"Kau tidak apa-apa? Kau terlihat tidak sehat. Lagipula kenapa kau berenang di saat langit sudah gelap?"
[Ah dia berisik sekali. Sudah diselamatkan masih saja berisik. Apa tadi lebih baik kutinggalkan saja tergeletak di sana.]
Karin merasa kepalanya ingin pecah. Karena sedikit panik saat menyelamatkannya, ia sempat meminum air asin laut. Kini kepalanya terasa berdenyut.
"Hei aku tanya apa kau baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi.
"Diam! Aku tidak apa-apa. Kau pulanglah. Aku sudah menyelamatkanmu jadi jangan sia-siakan nyawamu!" gertak Karin.
Lelaki itu menyadari ia tidak sedang tidak memakai jaket. Ia kembali ke tempat ia berbaring dan mencari kesana kemari jaketnya. Terlihat tidak jauh dari ia berbaring sebuah pakaian terbawa arus di bibir pantai. Lelaki itu nampak sangat jengkel, ia memeriksa setiap saku jaketnya yang basah. Mulai dari handphone dan ponselnya kini bertabur air asin dengan tambahan pasir putih.
[Sialan!]
Hanya gerutu yang bisa ia lakukan – tidak sebenarnya ia ingin menghampiri gadis itu dan memarahinya sekali lagi sampai lega. Tapi dari tempatnya berdiri sekarang, ia menyadari gadis itu terduduk dengan bersimpuh lutut di bawah sang rembulan yang kini muncul sangat cantik di atas kepala mereka. Ia memperhatikan untuk beberapa saat dan menyadari gadis itu tidak bergerak sama sekali.
Lelaki itu segera memakai jaketnya yang basah dan berlari menghampiri gadis yang terduduk itu, meski kakinya terasa perih dan tanah yang tenggelam karena tekanan di setiap langkahnya yang memberat.
"Kau tidak apa? Aku sudah duga kau nampak tidak sehat."
Ia memposisikan badannya untuk memapah gadis yang terlihat lemas di bawah sang rembulan, dan mencoba melihat dengan seksama wajah gadis di sampingnya dengan bantuan cahaya rembulan. Ia sangat terkejut.
[Karin?! Dia Karin?! Kenapa kami bertemu di saat seperti ini]
Meski ia nampak kaget dan ingin memastikannya, ia tidak ingin sebab ia yakin dugaannya benar. Ia ingin segera membawanya ke tempat yang lebih aman dan terang. Lelaki itu ingin gadis ini juga menyadari siapa dirinya.
[Tapi memangnya dia akan ingat? Itu 10 tahun lalu.]
"Hei, Ka-"
Ia terhenti, "Kau tinggal di mana? Biar aku antar"
Tidak ada jawaban untuk sementara, ia menunggu gadis itu sedikit lebih lama untuk sadar. Dan menjadikan gubuk pantai di sekitar untuk mengistirahatkannya sementara. Lelaki tu membaringkan gadis itu di sana dan pergi mencari air.
Tenggorokannya rasanya sakit dengan air asin yang telah ia minum dan teriakan yang sudah ia keluarkana, kini setiap ia berbicara tenggorokannya seperti melukainya. Bahkan kakinya yang terkilir kini sudah tidak merasakan perihnya lagi. Tubuhnya mungkin terbiasa dengan rasa perih itu sehingga tidak menjadikannya sinyal berbahaya.
Saat kembali setelah membeli air, gadis itu sudah tidak ada digubuk dimana ia membaringkannya.
"Haah… sudah kuduga."
Lelaki itu menghela nafas panjang dan melihat sekelilingnya. Ia memilih duduk di gubuk itu untuk beberapa saat dan memeriksa ponselnya yang mati. Lelaki itu tertunduk dan berpikir banyak hal.
[Kira-kira di mana dia tinggal. Haruskah aku mencarinya?]
"Eh kupikir kau sudah pergi."
Suara gadis yang dari kejauhan membuyarkan lamunannya, ia ingin menoleh dan menatap matanya tapi takut dengan respon dari gadis itu. Namun pada akhirnya ia tetap harus mengangkat wajahnya.
"Ponselmu rusak?"
Kini gadis itu kini berada di depannya menyodorkan handuk padannya.
"Ah ia tapi ini bukan salahmu kok. Jadi tidak usah khawatir." Ucapnya tersenyum untuk menenangkannya. Ia kemudian mengangkat wajahnya agar cinta pertamanya 10 tahun yang lalu menyadari siapa dia.
"Yah memang bukan. Kau bodoh sih. Kalau ingin masuk ke dalam air pastikan tidak membawa elektronik." Ketusnya dengan lempeng. Tiba-tiba raut wajah Karin berubah. Ia tidak mempercayai apa yang ada di depannya. Ia membaca raut wajah lelaki itu dengan seksama.
[Sepertinya ia tidak mengenaliku ya. Yah wajar sih.]
Karin berbalik badan. "sudah ya. Yah walaupun pertolonganmu tadi tidak berguna. Aku akan tetap berterima kasih untuk niatnya," celetuknya dan segera berlalu
[Urgh, seluruh badanku lengket sekarang. Um Aku tidak berkewajiban menawarinya bantuan lebih dari tadi. Biar saja dia mandi di toilet umum. Itupun kalau ada air yang hidup.]
Terkadang itu dilakukan penjaga untuk mematikan aliran air di toilet umum saat tempat wisata telah kosong untuk penghematan air dan pompa listrik.
[Setelah 10 tahun berlalu ternyata dia berubah sangat drastis. Lebih menjengkelkan. Tapi untuk beberapa alasan ia ingin lebih dekat dengannya.]
"Eh Tunggu! Tungu Ka-… Kakak, anu apa kau tau penginapan sekitar sini atau mengenal pengelolanya?"
[Hampir saja ia keceplosan. Dan untung saja ia pintar bermain kata. Kita bisa lakukan ini dengan perlahan. Itupun kalau aku tahan.]
"Ga tau tuh" cetusnya tidak perduli dan berlalu. Meski begitu tadinya jantungnya sempat ingin berhenti, ia pikir Hamish mengenali dirinya.
[Tapi ia yakin itu seperti tidak mungkin dua manusia yang tidak saling mengabari selama 10 tahun akan saling mengenal.]
Hamish tau Karin berbohong. Ia memilih mengikutinya secara diam-diam sampai ke penginapannya. Dan akan menginap di samping kamarnya bagaimanapun caranya.
[Karin merasa hatinya terluka lebih banyak dari ketika ia dikhianati editor sekaligus mantan kekasihnya. Ia merasa sejak awal mau itu cinta pertama atau cinta terakhir miliknya tidak pernah berhasil dengan baik. Bahkan harapan terakhirnya yang mustahil bertemu lagi dengan cinta pertama nya pun sirna.]
Sebab meski mereka kini bertemu kembali. Lelaki itu telah melupakan dirinya.