Hamish membayangkan sesuatu agar terus terjaga, ia menahan kantuk sejak tadi malam, selain dirinya tidak dapat tidur karena kepanasan dan sedikit was-was dengan penghuni yang diceritakan Karin. Ia tidak tahu pukul berapa sekarang karena ponselnya yang mati sejak kemarin, tapi melihat keadaan di luar lebih terang dari beberapa jam lalu, Hamish merasa matanya sudah tidak tertahankan untuk segera ia pejamkan.
Baru beberapa menit ia memejamkan matanya, ia mendengar pintu sebelah kamarnya berderit. Hamish terbangun dan mengintip melalui sela pintu kemana Karin akan pergi. Gadis hanya mengenakan pakaian tipis ke arah laut pagi hari.
[Apa ia mau berenang lagi? Atau melihat sunrise? Tapi bukan di pantai ini matahari terbit.]
Hamish terus saja menguap, meski ini bukan kali pertama ia tidak tidur semalaman. Ini kali pertama dari ia setelah pingsan dari tenggelam ia tidak istirahat dengan benar. Sekujur tubuhnya terasa sakit ditambah ia harus tidur di kasur tipis yang tidak ada bedanya tidur di lantai.
Meski mengantuk ia memilih mengikuti Karin dari jarak lima meter, pun ia tidak berencana untuk sembunyi. Semakin cepat mereka dekat semakin baik untuknya. Sesekali Hamish membuat suara menguap dengan sengaja agar didengar Karin. Tapi gadis itu kekeh tidak menoleh ke belakang. Ia menyusuri bibir pantai dari ujung ke ujung lalu duduk di akhir langkahnya.
"Kau sering melakukan ini ya?"
Hamish bertanya dari jarak yang sama, pun ia tidak berharap Karin menjawabnya jikapun Karin mendengarnya.
"Iya."
Karin menjawab dengan perasaan yakin. Perasaan jauh lebih baik dari tadi malam. Ia telah menyadari diikuti Hamish sejak ia keluar dari pintu. Hanya saja ia menunggu waktu yang tepat untuk mengajaknya berbicara. Karin tidak menyangka, Hamish duluan yang akan berbicara. Yang jelas hari ini ia memantapkan hatinya untuk meminta maaf dan menceritakan semuanya secara bertahap. Itupun jika Hamish bertanya padanya.
Tapi tidak ada balasan setelah ucapan jawaban terakhir Karin. Entah mereka sedang menikmati langit yang sama atau pikiran mereka sedang saling menjauh.
"Aku minta maaf."
Kalimat yang sama terucap dari dua bibir yang berbeda di waktu bersamaan. Mereka tidak saling menatap satu sama lain.
"Kau meminta maaf untuk apa?" tanya Karin memecah kecanggungan di antara mereka. "Padahal sejak awal kau yang banyak membantu dan-"
"Kau sendiri minta maaf karena apa? Kalau kau marah seharusnya itu menjadi hakmu kan." Hamish sengaja memotong ucapan Karin. Ia tahu tapi tidak ingin mendengarnya lebih lanjut.
"Meski itu hakku untuk marah, bukan hakku memarahi mu. Mungkin gitu?" ia menjawab asal dan terkekeh. Hamish juga ikut terkekeh.
"Lagi pula aku menunjukan sisi kekanak-kanakan ku. Dan semua yang terjadi tidak ada sangkut pautnya denganmu," sambung Karin.
Mereka berdua masih dengan melempar pandangan ke arah laut yang bertabur langit berwarna kemerahan. Sangat indah untuk dilewatkan. "Kau sendiri minta maaf karena apa?" desaknya sekali lagi.
Gerak-gerik Hamish berubah canggung, ia bingung bagaimana memulainya. "Kalau aku bilang karena 10 tahun lalu, kau jangan banyak tanya ya," pintanya, dengan ragu.
Kesunyian menyelimuti di antara mereka. Karin jujur saja tidak tahu harus merespon apa. Begitupun Hamish yang spontan membawa masa lalu sebagai alasannya. Karin membenamkan wajahnya di antara lututnya, ia ingin seluruh kehangatan mentari yang terbit dari arah pantai timur untuk menghangatkan kepalanya yang tidak digunakan selama dua bulan.
"Eh berapa lama kau sudah di sini? Dan kenapa?" tanya Hamish hati-hati. Tapi hatinya sudah tidak tahan menahan rasa penasaran ini.
[Akhirnya kau bertanya juga. Padahal aku menunggu waktu beberapa saat lagi untuk membuka hatiku secara menyeluruh.]
Karin hanya tertawa terbahak-bahak merespon pertanyaan Hamish. Lelaki itu mematung dengan wajah bingung. "Apa?" seolah pertanyaannya terbenam di dasar laut. Gadis yang kini duduk di sampingnya berubah menjadi gila.
"K-karin? Kau masih waras kan?" tanyanya dengan wajah takut.
"Dasar bodoh! Tentu saja. Cuma, tunggu," Karin melanjutkan tawanya, ia bahkan sampai berjongkok di pasir menahan perutnya. "Haaah, terasa lega sekali." Karin yang menyelesaikan tawanya kini berdiri meregangkan badannya.
[Setelah menangis lalu tertawa, pasti lega sekali. Tapi bisa-bisa yang melihat kau pun bisa salah sangka, nanti.]
Hamish menoleh kesana kemari, memastikan tempat ini sepi. Meskipun ini hari pekan, terlalu pagi untuk wisatawan datang berenang, kecuali satu. Di ujung sana berlawanan dari tempat mereka duduk, ada seorang gadis berambut coklat pendek yang sedang melepas setengah pakaian renangnya baru naik dari arah laut. Lebih anehnya, gadis itu mengangkat papan selancar di pinggangnya.
[Hah? Siapa yang berenang pagi-pagi?]
Hamish takjub dengan keanehan yang ia lihat pagi ini. Bukan tentang siapa yang berenang di pantai pagi-pagi. Tapi keadaan pantai ini yang bukan tempat yang pas untuk berselancar.
[Apa pantai ini sekarang dihuni orang-orang aneh? Apa Karin juga ketarik ke pantai ini karena dia sekarang jadi tidak waras?]
"Ah dia? Aneh ya. Tapi aku takjub sama dia. Waktu itu dia berenang sore-sore. Terkadang pagi-pagi. Yang lebih anehnya lagi, dia konsisten berselancar meski dia tau di sini bukan tempat yang pas untuk olahraga itu."
Karin masih meregangkan badannya saat ia menjelaskan. Gerakan olahraga yang simple untuk melenturkan badan yang sudah lama tidak ia peraktikan.
"Tapi kalau misal dia pemula si. Mungkin tidak masalah. Aku ga tau juga sih," sambungnya lalu pergi.
"Eh? Kau mau kemana?"
"Entah mengapa rasanya aku mau menulis hari ini," ucapnya seraya melambaikan tangan dan meninggalkan Hamish yang masih mematung.
Lelaki itu masih duduk di pasir pantai yang lembut, mencerna penjelasan Karin, juga pemandangan yang barusan ia lihat, dan rasanya, teman lamanya itu bukannya tidak waras atau sedang tertarik ke tempat aneh ini. Tapi dirinya yang menemukan mereka di saat ia sedang buntu dengan pekerjaannya.
[Aku juga jadi teringin menggambar. Gadis peselancar aneh tadi, aku jadi ingin tahu lebih lanjut tentangnya. Apa sebaiknya aku mulai mewawancarainya ya? Jika dilihat dari wajahnya sepertinya dia masih sangat muda.]
[Sejak awal pertemuan ini memang terasa aneh. Yang ia pikir seseorang hampir mati karena bunuh diri, lalu kenapa pulau ini yang ia pilih? Padahal tidak ada jaminan ia akan bertemu Karin. Terlebih lagi gadis itu tidak sedang dalam kondisi baik, yang selama ini dia pikir baik-baik saja.]
[Tapi jika diingat-ingat, memang Karin tidak mengupdate sosial medianya sejak 4 bulan lalu. Jika diingat-ingat lagi, sebelumnya ia pernah jarang mengupdate, sekedar menulis puisi pendek di Nicebooknya selama 2 bulan sekali.]
Hamish termenung di setiap langkahnya, dengan melepas sendalnya dan membiarkan kakinya merasakan lembutnya pasir putih, ia menyusuri pantai sekali lagi sebelum kembali ke penginapan.