Chereads / Asa Dalam Sketsa / Chapter 8 - Terpukau

Chapter 8 - Terpukau

[Tapi sebelum aku berhenti, aku ingin mengirim judul terakhir.]Hati kecilnya berkata begitu.

"kau ternyata hanya seorang pengecut ya!" teriakannya sekarang tidak lagi di samping tembok kamar Karin. Tapi di depan kamarnya.

Karin tak bergeming. Ia mengakui dirinya memang sangat pengecut.

"Memang kenapa kalau pengecut?"

Lelaki itu terdiam beberapa saat lalu mendobrak pintu. Meski engsel pintu yang longgar, kunci pintu yang kokoh membutuhkan dua tiga kali dobrakan. Karin yang mendengar dobrakan pertama, sangat terkejut. "Kau mau apa?!" lirihnya, suaranya seperti menghilang, tenggorokannya panas. Ketakutan.

Pintu yang berhasil didobrak memunculkan wajah yang setengah marah dan sedih. Ia menggendong tasnya, "Kau ikut aku!" perintahnya.

"A-apa?"

Karin bingung dengan permintaan, atau perintah Hamish. Tetapi lelaki itu tidak basa-basi. Ia menuju ke arah Karin, membereskan laptop Karin yang tergeletak, memasukan ke dalam tasnya. Membereskan semua pakaian Karin ke dalam koper, satu-satunya yang ia bawa. Karin yang tercengang masih terduduk tak jauh dari Hamish yang sedari tadi membereskan barang-barang Karin.

Hamish menggendong dua tas punggung, miliknya dan milik Karin. Tangan kirinya yang mengangkat koper milik gadis itu, dan tangan kanannya yang menggenggam erat tangan Karin. "Ayo kita pergi dari sini!"

"A-apa. Maksudmu?"

"Kalau kau bersembunyi di pulau ini karena kau sedang lari dari kenyataan, tidak peduli kemana kau pergi kan," Hamish masih memegang erat tangan Karin, tapi ia tidak menariknya, ia tidak ingin melukai Karin yang sudah terluka hatinya. "Ikut denganku juga termasuk pelarian. Dan aku akan bawa kau kemana pun aku pergi. Kita akan cari dan rebut kembali kenyataan itu!" ucapnya semangat yang tergambar di wajah yang setengah marah dan sedih.

Kali ini Karin tidak hanya bingung dengan sikap Hamish, ia juga terpukau. Bak dewa yang telah turun ke langit mengangkat dirinya untuk kembali semangat. Tapi ajakan itu tidak menghapus sebagian besar keraguan di hatinya – juga goresan luka yang masih basah.

Karin tidak mengangguk dan tidak menggeleng, ia menurut dan berdiri. Terus menatap tangan Hamish yang menonjolkan urat, ia tidak nampak seperti atletis karena ia selalu mengenangkan pakaian yang longgar dan berlapis untuk ukuran orang yang tinggal di tropis. Juga ini bukan musim hujan.

Karin seperti orang buta yang hanya mengandalkan tangan Hamish yang memegang erat tangannya, ia berhenti menahan langkah Hamish. "Kau. Kau yakin akan membawaku?" tanyanya datar.

Hamish mengangguk yakin.

"Kalau begitu, berjanjilah untuk tidak melepas tanganku." Karin mengucapkan hal yang tidak terduga dengan menunduk.

"Tidak akan!"

[Mulai sekarang aku akan hanya memegang tanganmu dan penaku. Tidak akan ada yang lain yang ingin aku pegang erat.]

"Ah tapi penginapannya?"

"Apa masih ada barang yang tertinggal?"

"Tidak." Karin ragu, ia mengkhawatirkan pengurus penginapan akan marah jika mendapati pintu yang rusak dan sampah keyboard yang tercecer di dalam. Juga skuter yang harus dikembalikan.

"Aku akan menelponnya setelah ini. Tidak usah khawatirkan yang lainnya."

Hamish melanjutkan langkahnya dan diikuti Karin ke arah parkiran mobilnya. Lelaki itu juga membukakan pintu untuknya, seolah memastikan Karin benar-benar ikut dengannya.

[Agak aneh. Aku tidak tahu harus berbicara apa setelah apa yang terjadi.]

"Kau tidak perlu memikirkan apa yang harus kau bicarakan atau apa. Kau istirahat saja." Hamish mengambil kantong belanjaan yang berisi beberapa camilan dan air mineral. Karin yang melihat air mineral, tersadar, ia sangat kehausan. Ia menenggak dengan buru-buru dan tersedak.

"Tidak apa-apa," ucapnya sebelum lelaki di sampingnya bertingkah lebih jauh lagi.

[Dia terkadang berlebihan juga. Aku tidak ingat apa dia memang seperti ini sejak dulu.]

Karin melirik kearah lelaki yang sedang fokus mengemudi, jalan ini taka sing bagi Karin, arah ke pelabuhan roro. "Kita mau kemana?" tanyanya penasaran.

Lelaki itu tak bergeming. Wajah Karin berubah, ia agak khawatir pilihannya malah membahayakan dirinya.

[Apa aku mau diculik? Tidak-tidak. Jelas tadi aku menerima ajakannya. Walaupun ini dilaporkan, ini tidak akan menjadi kasus penculikan.]

Karin membuang muka ke arah luar jendela.

"Ah sebenarnya aku juga tidak tahu mau kemana," jawabnya dengan nyengir. Wajahnya yang serius berubah menjadi konyol.

Wajah Karin memerah, ia kaget, ingin marah, aneh dan lucu di waktu yang bersamaan. Perasaannya yang tadinya murung, kini menahan tawa. Karin memilih tertawa kearah luar jendela.

"Ah maaf ya. Aku tidak ada persiapan apa-apa. Tapi lebih baik kita keluar dulu dari pulau ini."

"Tapi tujuan kita mau kemana?"

"Mungkin Bengkalis. Dari sana kita bisa ke daratan Riau. Jika sudah di sana, kita pikirkan lagi mau kemana."

"Kau ini aneh ya," Karin tertawa. Kali ini ia benar-benar tidak bisa menahan tawa gelinya.

"Lebih tepatnya, aku sebenarnya ingin marah sama kegilaanmu. Tapi boleh juga!"

Mereka berdua tertawa, membuat seisi kecanggungan di dalam mobil menghilang seketika, begitupun dengan atmosfer muram, sedih dan marah. Semuanya lenyap dengan tawa Karin yang renyah disambut tawa konyol Hamish. Ia sendiri tidak percaya akan memutuskan hal seperti ini tanpa terduga.

"Akan memakan sekitar 8-10 jam, jadi lebih baik kau tidur saja. Saat kita sudah di atas sana. Aku juga ingin tidur."

Hamish menguap beberapa kali melihat antrian yang memanjang di depannya.

"Tapi aku ingin melihat laut nanti."

"Ya terserah kamu saja. Aku tidak ikutan. Kau tidak akan hilang kan nanti?" ledeknya.

Karin hanya membalasnya dengan wajah cemberut memajukan mulutnya.

[Kau pikir siapa aku? Aku hidup sendirian selama bertahun-tahun.]

"Aku belum tidur loh dari kemarin. Ah aku baru ingat kita belum sarapan." Hamish menepuk jidat, ia terlalu serius dengan perjalanannya yang tanpa rencana sampai lupa membeli makanan di pinggir jalan untuk dibungkus.

Lagi-lagi Karin tertawa melihat tingkah temannya itu. Waktu menunjukan pukul 10 pagi, dan ia tidak mengalami rasa lapar karena perasaan yang campur aduk beberapa jam lalu menyelimuti dirinya.

"Bukannya di atas sana nantinya aka nada yang jual makanan?"

Karin belum pernah naik kapal roro. Ia tidak memiliki lisensi mengemudi, meski ia bisa mengemudi karena Farhan sering kali mengajarkannya mengemudi.

"EM… sebenarnya aku juga tidak tahu jadwal kapal ini sih. Ponselku mati. Dan karena buru-buru aku bahkan lupa berhenti ke konter." Lagi-lagi Hamish tidak terduga dan memasang tingkah polos.

"Astaga. Kau ini," Karin tertawa lagi. "Ini pakai ponselku saja kalau gitu. Apa nama kapal roronya?" Karin mengeluarkan ponselnya dan mulai pencarian. "Um…" ia menatap kearah Hamish dan menyeringai, "Jadwal rute ke bengkalis itu nanti sore pukul 15.00."

Hamish tertawa dan meminta maaf atas kecerobohannya.

"Yah kalau begitu lebih baik kita cari makan saja dulu."

Kini Karin harus mulai terbiasa dengan sikap urakan temannya itu.