[Ini hanya pandangannya saja yang sedang bergelut dengan kesedihan atau memang laut yang sangat indah di sore hari. Bagaimana rasanya terjatuh di dasar laut?]
Langit yang bercampur dari oranye dan kemerahan di atas laut yang sangat luas tak berujung. Pikiran konyolnya kini mengganggu dirinya yang ingin sendiri.
Karin teringat sketsa terakhir yang diukir Hamish, seorang wanita muda yang sedang membaca di perpustakaan. Wanita yang cantik dan anggun, bahkan nampak sangat cantik hanya dari gambaran dua dimensi yang menampakan wajah sampingnya.
Karin menghela nafas panjang, ia menatap jauh ke arah langit. Ini bukan seperti dia sedang cemburu atau sebagainya.
[Kalau dia punya seseorang yang dia sukai. Kenapa tatapannya seperti itu. Aku tidak bisa mengendalikan amarahku atau kecewaku. Atau, untuk apa Hamish merencanakan perjalanan ini?]
Karin lagi-lagi menghela nafas. Ia menatap kosong arah laut selama berjam-jam. Ia tidak memikirkan apa-apa selain kenapa ia harus ikut dengan rencana Hamish. Jika ada nominasi menatap kosong selama berjam-jam, Karin mungkin akan menjadi juaranya. Ia benar-benar betah hanya berdiri dengan pikiran kosong menopang dagunya di tepi pinggiran pagar dek kapal, dari yang tadi langit yang masih berwarna biru gelap bercampur oranye menjadi langit yang menggelap pekat dengan cahaya rembulan sabit yang tipis.
Saat ia tengah asik termenung, jaket hangat yang terbuat dari wol berada di atas kepalanya membuyarkan lamunannya.
"Apa sih yang kau lihat dari sini. Kau tak bergerak sedikitpun dari sepuluh menit lalu aku menemukan tempatmu."
Hamish mengoceh, meski Karin yang telah sadar dari lamunannya, ia kembali melanjutkan lamunannya dan membiarkan lelaki itu mengoceh.
"Aku mencari-cari mu selama 30 menitan. Mungkin," ucapnya seraya melihat ponselnya untuk memastikan. Setelah menemukan Karin dan mendapati Karin hanya mengenakan kaos yang sama yang ia pakai tadi pagi. Hamish terpaksa kembali lagi untuk mengambil jaket wol miliknya, yang sering ia enggan pakai.
"Jaketnya di pakai. Ini jaket spesial loh." Hamish mengambil jaket di atas kepala Karin yang tak ia sentuh sejak tadi. Ia membuka kancingnya satu persatu, dan memasangkannya di bahu gadis itu. Tapi Karin masih tak bergeming, Hamish yang sebal dengan tingkah Karin, memegang bahunya dan memposisikannya di depannya. Hamish bersusah payah memasangkan jaket wol itu di badan Karin yang sedari tadi seperti kehilangan jiwanya.
Melihat Karin yang sama sekali tak merespon, ia memegang kedua pipinya yang dingin, mendekatkan wajah Karin di depan matanya, sangat dekat sampai ia bisa melihat iris matanya.
Dek kapal ini lebih terang daripada di jembatan Coastal yang hanya memiliki lampu hias kerlap-kerlip. Meski tidak terlalu terang, di ujung dek kapal ini tidak terlalu ramai orang berdiri menatap laut seperti Karin.
Hamish yang masih tidak melihat tanda-tanda Karin tidak merespon dirinya, ia membiarkan wajahnya sangat dekat dengan wajah gadis itu.
"Karin… Karin…" panggilnya berulang kali.
Karin yang menyadari pipinya menghangat, nafasnya menjadi sedikit berat, bibir ranum di depan matanya seperti memanggilnya. Matanya yang sedari tadi terasa kosong, kini ingin lebih dekat dengan wajah lelaki di depannya.
Karin mendekatkan bibirnya untuk dapat menyentuh bibir yang sedari tadi bergerak, berbicara sesuatu yang tidak ia mengerti.
[Kau bicara apa sih? Kenapa rasanya seperti dunia menjadi sunyi. Tidak ada suara apapun dan…]
Karin memejamkan matanya setelah bibirnya benar-benar bersentuhan dengan bibir lelaki di depannya. Ia bahkan berbagi nafas dengan lelaki itu untuk beberapa saat sampai Hamish mendorong tubuhnya pelan. Ia tersadar dan dalam keadaan bingung.
[A-apa yang tadi aku lakukan?]
Ia menatap wajah lelaki di depannya memerah. Karin menyentuh bibirnya yang basah. Ia menyadari telah melakukan kesalahan yang fatal. Karin berjalan meninggalkan Hamish, meski ia lupa harus kemana arahnya.
Tapi tangan Karin ditahan oleh genggaman Hamish. Ia menarik Karin dengan cepat dan mendekapnya dalam pelukannya.
[A-aapa? Kenapa? Kupikir dia akan marah.]
[Entah bagaimana aku harus merespon itu. Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi. Tapi hatiku bahagia. Hamish mengingat ciuman yang diberikan Karin beberapa detik lalu.]
Hamish terus memeluk Karin yang masih setengah sadar. Dadanya terasa panas dan berdegub sangat kencang. Ia memeluk gadis itu dengan erat juga ingin membuatnya mendengar degup jantungnya.
Ia melepas pelukan hangat itu dengan terpaksa, "Kau mabuk laut ya?" tanyanya. Hamish menanyakannya selama tiga kali sampai Karin berkedip.
"Hah? Apa?" kesadaran Karin baru kembali. Seutuhnya.
"Kau mabuk laut?" tanyanya dengan gerakan mulut yang ia perlambat agar gadis di depannya menangkap sinyal pertanyaannya.
"Tidak. Tapi tadi aku seperti bermimpi." Ucapnya linglung.
Hamish setengah tertawa setengah kesal.
[Jadi tadi kau sedang tak sadarkan diri? Ciuman itu juga kau lakukan karena tidak sadarkan diri, huh?]
Hamish menggerutu dalam hati. Ia menaruhnya kedua tangannya di atas kepala.
"Kau mabuk laut?" tanya Karin dengan polos setelah melihat raut wajah Hamish dan tingkahnya yang memegang kepala.
[Ahh aku kesal sekali.]
Hamish menatap mata Karin dengan seksama, memastikan ia tidak berbohong melupakan ciuman itu. Ciuman pertama sejak sepuluh tahun bertemu lagi, atau ciuman kedua sejak mengenal gadis yang ia sukai itu.
Hamish memegang kedua bahu Karin dengan erat, ia menatap lekat wajah gadis itu dan mendekatkan wajahnya. Ia mencium bibir merah karin yang sudah mengering karena angin di atas dek kapal yang sangat dingin. Karin yang bingung dan kaget dengan sikap spontan Hamish, melotot seketika, tangannya yang menahan dada bidang Hamish pun tak bertenaga.
Hanya satu yang dapat Karin lakukan untuk membuat Hamish berhenti, ia menggigit bibir bawah lelaki itu dengan cepat. Hamish yang kaget memberhentikan ciumannya. Awalnya ia kesal dengan sikap Karin yang menggigit bibirnya, tapi ia berubah kesal karena dirinya yang tak terkontrol.
"M-maaf," ucapnya.
"Eh. A.. maaf juga." Spontan Karin juga meminta maaf, dan lalu menyesal karena telah meminta maaf.
Mereka berdua memasang wajah canggung. Untug saja dek sedang sepi dan beberapa orang tengah sibuk berbincang mengarah ke laut. Angin laut juga menyamarkan perbincangan mereka. Karin berjalan dulu ke depan, tapi ia kemudian menoleh ke arah Hamish.
"Um.. aku lupa jalannya."
Hamish yang tidak ingin berkata apa-apa menggenggam erat tangan Karin dan menuntunnya untuk mengikutinya dari belakang. Jantungnya masih berdegup kencang, yang mungkin saja terasa di aliran nadi tangannya,
"Pastikan kau ingat jalannya. Aku tidak mau mencarimu lagi loh kalau tersesat."
[Apa tadi dia tidak balik ke mobil karena dia lupa jalan pulang?]
Sama seperti Hamish, Karin menahan untuk tidak berkeringat. Meski kini jantungnya juga sama cepatnya dengan irama milik Hamish. Yang ia rasakan ketika di pelukannya.