Chereads / Asa Dalam Sketsa / Chapter 7 - Hancurkan Ingatan Buruk

Chapter 7 - Hancurkan Ingatan Buruk

Karin kini duduk manis di depan meja lipat kecil yang sempat ia beli setelah tahu penginapan hanya menyediakan kasur tipis dan lemari kecil. Ia membiarkan laptopnya menyala dengan keyboard eksternal favoritnya. Sembari ia menggulir ponselnya yang kembali ia nyalakan setelah dua bulan berlalu dengan hidup tanpa ponsel. Meski begitu Karin membeli ponsel lainnya untuk bermain game mobile sesekali.

Ia mengabaikan rentetan pesan yang editornya kirim melalui Gmail dan withapp. Meski sedikit, Karin berharap orang yang menghancurkan hatinya mengirimi dia pesan dan meminta maaf. Tapi itu tidak benar-benar terjadi. Atau malah tidak akan mungkin.

Tiga puluh menit setelah ia membiarkan ponselnya menyala, ia mengirimkan pesan kepada editornya dengan ragu. "Aku sedang berusaha," ucapnya. Ia mematikan kembali ponselnya.

Kontraknya akan habis tahun ini, jika ditambah sejak ia lari menyembunyikan diri, masa kontraknya tinggal 4 bulan lagi dari sekarang.

[Jadi jika dalam waktu 4 bulan aku berhasil mengirim 1 judul buku lagi. Apa aku harus lanjut?]

Sejam telah berlalu, satu-satunya yang telah ia tulis di laptopnya ialah kata 'Chapter', Karin membaringkan badannya menatap langit-langit. Mengingat isi novel pertamanya yang sudah debut, itu adalah novel romansa, yang sebagian isinya ia dapatkan dari kisah nyata.

…Ia adalah gadis yang kesepian, bertemu seorang lelaki yang mengisi harinya, meski banyak rintangan, perjalanan cintanya berakhir dengan baik, lelaki itu meski bukan pertama kalinya berpacaran, pada akhirnya gadis pemeran utaman dijadikan cinta terakhir oleh sang lelaki.

Karin menghela nafas.

[Lihat aku, kalau novel pertama aku tulis dengan kisah nyata, haruskah novel ini aku tulis juga dengan kisah nyata? Perselingkuhan, orang ketiga?]

Karin kembali duduk dan mencoba menulis kalimat pertama di chapter pertama, satu, dua, tiga sampai satu chapter telah berhasil ia rangkai. Tapi entah bagaimana emosinya mendidih seketika. Ia mengangkat keyboard eksternalnya dan membanting di tembok sebelahnya.

"Bajingan! Aku menulis cerita naas diriku sendiri! Aku seperti badut yang membiarkan seluruh dunia menertawaiku!"

Karin memukul tembok dengan keyboard eksternal hingga tidak tersisa tombol yang menempel pada keyboard mekanisnya. Ia sangat marah sampai tidak sadar telah merusak keyboard kesayangannya.

"Urgh. Bodohnya."

Karin kini berbaring di kasurnya yang tipis dan memejamkan mata untuk menenangkan hatinya.

[Aku tidak bisa menulis cerita romansa lagi. Atau lebih baik tidak menulis lagi. Atau aku menyewa ghostwriter? Tapi…]

"Karin!"

Teriakan seorang dari balik dinding, tempatnya berbaring.

"Apa yang kau lakukan di sana? Berisik sekali!"

Sekali lagi Hamish berbicara dengan suara berteriak. Meski dinding mereka bersebelahan, suara dari sebelah kamar tidak terlalu terdengar jika kau tidak berteriak.

[Sialan, aku baru ingat.]

"Kau juga berisik. Jangan berteriak. Bodoh!" Karin duduk menyender di dinding tepat di baik Hamish yang sedang menyender, "K-kau sedang apa di sana?" tanyanya sekali lagi. Tidak ada jawaban dari sebelah kamarnya.

[Dia sedang sibuk ya…]

"Aku tidak mengerti kenapa kau sangat marah. Kalau tebakan ku benar, yang tadi kau lempar itu keyboard kan."

Karin tak bergeming. Ia mencoba mengambil satu persatu tombol berwarna biru muda yang berceceran, keyboard ini ia beli setelah cetakan pertamanya terjual. Menggunakan keyboard laptop yang terus menyala selama lima jam tidak nyaman untuknya. Tapi uangnya sangat mepet untuk membeli perangkat seperti keyboard.

Karin tiba-tiba mengingat, alasan pertama kali ia menulis, itu dua belas tahun lalu. Lalu ingatan sepuluh tahun lalu, saat ia mendeklarasikan cita-citanya yang dianggap aneh pada saat itu di depan Hamish dengan percaya diri.

"Karin?"

"Ya?"

"Bicaralah. Lebih baik kau marah-marah dan bersuara daripada kau diam seperti itu," Celetuk Hamish.

"Hum? Bicara apa?" jawab suara sendu di balik dinding.

"Apa saja. Aku siap mendengarkan."

Karin masih memungut nya satu persatu, meluruskan kembali ingatan yang kusut, ingatan lima tahun lalu saat ia adalah baru membangun basis penggemar dari menulis di platform-platform. Ia menyambi menulis dari bawah, dan bekerja paruh waktu untuk biaya kuliahnya. Bahkan Karin pernah harus cuti untuk berkorban demi cita-citanya itu. Sampai ia menerbitkan bukunya di penerbit indie dan membuat namanya naik daun seketika, ia bertemu kembali dengan senior yang pernah membuatnya jatuh hati.

Senior yang ia pikir saat itu sangat keren, hatinya bertambah jatuh saat Karin tahu ia adalah editor yang dipilihkan untuknya, untuk menggarap buku keduanya. Kemudian maju ke ingatannya yang berpindah ke lima bulan lalu. Sinopsis dan kerangka dari buku kedua yang telah ia kirimkan disetujui oleh penerbit, ia diberi kesempatan 6 bulan pertama untuk menyelesaikannya. Saat itu Karin sangat senang, semuanya terasa seperti mimpi.

Dari menjadi penulis amatiran sampai ia menerbitkan buku pertamanya, dan judul keduanya. Tapi ini yang menjadi masalah.

"Masalah yang sangat besar…" Karin bertutur secara tiba-tiba.

Hamish yang sedang serius dengan pen tabletnya, ia terkejut tiba-tiba gadis di sebelah biliknya berbicara. Ia pikir Karin yang tiba-tiba diam membutuhkan waktu untuk sendiri.

"Masalah seperti apa?" jawabnya setelah beberapa saat memastikan itu benar-benar suara gadis yang ia ketahui.

"Aku rasa… aku tidak bisa menulis lagi…" ucapnya lirih.

Hamish sampai harus memberhentikan aktivitasnya untuk memastikan dengan jelas apa yang ia dengar.

"Kau ini bicara apa?" tanyanya, Hamish yang hampir menyelesaikan draft sketsanya, ia memberhentikan pekerjanya. Ia menyenderkan bahunya di dinding yang dingin, menembus di kaosnay yang tipis. Hamish berganti pakaian lebih tipis saat di kamar, karena ruangan yang panas dan tidak memiliki jendela.

"Aku mau berhenti."

Hamish menghela nafas panjang. Ia terdiam, menatap langit-langit. Ia sangat mengerti dengan apa yang diucapkan Karin. Tapi hatinya berat untuk mempercayai itu.

"Kalau kau berhenti, aku juga akan berhenti."

Terdengar seperti ancaman, tapi ia juga tidak bersemangat meneruskan apa yang ia kerjakan sejam yang lalu.

"Dasar bodoh. Kenapa kau harus ikut-ikutan berhenti, ini tidak ada hubungannya denganmu."

Karin duduk memeluk lututnya, ia tidak percaya lelaki di balik kamar ini mengucapkan hal bodoh yang tidak masuk akal.

[Untuk apa?]

"Kalau kau tanya kenapa aku berhenti. Kau tanya dulu dirimu sendiri. Apa kau yakin dengan keputusanmu? Dan kenapa kau harus memilih berhenti dengan mudah?"

Ucapnya memecah keheningan di antara mereka yang terpisah oleh tembok yang dingin.

"Aku kira orang yang marah akan membawa perubahan. Tapi benar ini sebuah perubahan, tapi bukan perubahan yang sebenarnya. Kenapa motivasi sekarang terasa seperti omong kosong?" ucap Hamish mengingat kata-kata motivasi yang pernah dibaca di sebuah Weebtun.

Gadis dibalik dinding tak bergeming. Ia tidak peduli dengan ocehan tidak jelas teman lama nya itu.

[Tahu apa sih dia. Ini tidak ada urusannya denganmu.]

"Sudahlah kau urus saja urusanmu sendiri. Meski manusia tidak dapat hidup sendiri. Ada keputusan yang hanya bisa dipilih sendiri," pungkasnya. Itu sebagai penutup perdebatan yang seharusnya selesai dengan saling mendukung satu sama lain. Tapi tidak untuk Karin.