Chereads / Asa Dalam Sketsa / Chapter 5 - Nostalgia

Chapter 5 - Nostalgia

Setelah menyelesaikan makan malam, Hamish bukannya membawa Karin kembali ke penginapan, tapi ia malah membawa Karin yang kenyang dan mengantuk ke alun-alun Coastal. Meski malam telah memasuki puncaknya, Coastal area masih menjadi tempat yang didatangi untuk sekadar bersantai menatap laut di malam hari atau menjadi tempat untuk berburu wisata kuliner.

"Jadi nostalgia ya."

Hamish mengucapkannya sambil sumringah, ia membawa Karin duduk di bawah menara sembilan yang berada di tepian Coastal yang berdekatan dengan panorama pantai di malam hari. Jika cukup beruntung kau akan melihat kapal berlalu lalang dengan kerlab kerlib lampunya, karena Coastal area juga tergabung dengan pelabuhan.

[Hum? Sepatu roda…]

Karin memperhatikan dengan seksama para remaja yang sedang menari dengan indah di hamparan lantai dengan sepatu roda. Pemandangan itu mengingatkannya ketika ia pertama kali datang ke Coastal bersama Hamish dan teman-teman SMA yang wajah mereka sudah samar di ingatannya. Tapi kini salah satu ingatan samar itu berada di sampingnya.

"N-nostalgia apanya?! Aku tidak ingat apapun tuh," Ujarnya spontan dengan nada ketus.

"Kalau gitu, biar aku ingat-"

"Haaaah…"

Karin berdiri untuk merenggangkan badannya dan menguap keras dengan sengaja memotong ucapan Hamish. Ia tidak tahu akan merespon apa jika Hamish benar-benar menceritakan semuanya. Jika diceritakan sekarang itu akan menjadi ingatan yang memalukan.

[Oh kau masih aja pakai cara kuno degan berpura-pura lupa begitu. Kalau begitu, akan ku buat kau mengingat semuanya dengan mengulang kembali masa lalu itu.]

Hamish menyeringai melihat tingkah Karin yang mudah dibaca. "Ayo ke tempat selanjutnya!" ajaknya dengan antusias, ia tidak menunggu Karin menjawab. Hamish langsung menarik tangannya untuk mengikutinya ke tempat selanjutnya.

"Ah, aku capek! Sudah pulang saja," perintahnya tapi pegangan di tangan nya bertambah erat. Seolah mereka sedang berada di keramaian yang membuat ia khawatir kehilangan akan Karin.

Hamish membawa Karin ke jembatan yang menjadi ikon Coastal area, jembatan kokoh yang langsung mengarah ke tengah laut. Lelaki itu terus memegang erat tangan Karin untuk ia bawa ke ujung dari jembatan yang mengarah ke tengah laut. Saat di malam hari lampu hias warna-warni menjadikan lokasi jembatan ini bagai primadona untuk tempat melepas letih atatu sekadar berbincang dengan pasangan sembari melihat ke tengah laut yang dengan indah memantulkan cahaya rembulan. Dan semakin lengkap dengan semilir angin yang akan menyibak helai demi helai pakaian kita, membuat suasana sejuk dan nyaman.

[Dia mau kemana sih?!]

Karin yang memang tidak memiliki kepribadian yang sabar, ia menggenggam balik tangan Hamish dan menarik ke arahnya. Agar membuat lelaki itu berhenti menariknya, "Cukup!" bentaknya. Tarikan itu membuat wajah Hamish menjadi sangat dekat wajahnya. Karin bahkan bisa merasakan nafas lelaki itu dengan hangat.

"Jadi kau sudah ingat?" tanya Hamish saat wajah Karin benar-benar dekat dengannya. Ia bisa melihat dengan jelas kelap-kelip pantulan lampu berwarna yang di pasang di tiap sudut jembatan kini berada di mata Karin yang sangat indah. Satu tangannya yang masih saling memegang erat, dan satunya lagi ia lingkarkan di leher Karin yang menjadi dingin. "Kau… kedinginan?" tanya Hamish saat menyadari itu.

"Ah maaf ya, aku tidak bawa jaket." Ie melepas pegangan tangannya yang sangat erat. Karin bertingkah canggung setelah adegan yang sempat membuat jantungnya hampir jatuh ke dasar.

[Apa-apaan itu tadi!]

Karin membuang muka ke arah laut. Ia baru tersadar bahwa dirinya mulai kedinginan.

[Hampir saja. Haha.]

Hamish tertawa dalam hati, ia menyayangkan hal yang hampir terjadi menjadi batal karena ia terlalu pengecut untuk mengungkapkan segalanya terlebih lagi untuk melanjutkan apa yang telah ia mulai. Hamish melirik Karin yang membuang muka dan meniup kepalan tangannya. Ia menarik lengan Karin untuk lebih dekat dengannya, dan merangkul bahunya.

"Hah!"

Karin yang terkejut menepis tangan Hamish dengan kasar dan berlalu lebih dulu. "Brengsek! Aku kedinginan, kalau kau tidak mengantarku pulang aku cari ojek di pelabuhan!" gerutunya sambil meninggalkan Hamish yang sedikit kecewa diperlakukan tidak adil.

[Argh jadi awkward gini deh. Aku pura-pura tidur saja kali ya.]

Karin yang sedari tadi terus menerus membuang tatapannya keluar jendela, karena kecanggungan di antara mereka, kini ia merasa bersalah karena sempat menepis tangan Hamish. Meski begitu di lubuk hatinya ia tidak ingin hal tadi terjadi lebih jauh.

"Ngomong-ngomong kau-" Hamish merasa ragu melanjutkan.

Suara Hamish yang membuka percakapan membuyarkan lamunannya, ia segera memejamkan mata agar tidak ditanyai hal yang tidak-tidak.

"Ayolah. Mau sampai kapan kau mendiamkan aku?" Hamish mulai kesal dengan sikap Karin yang tidak bisa dikontrol.

Entah mengapa emosi Karin memuncak mendengar hal itu, "Jadi kau mau aku bagaimana? Berpura-pura kalau 10 tahun yang lalu itu tidak pernah terjadi. Dan setengah jam yang lalu juga tidak pernah terjadi?" ucapnya dengan nada meninggi.

"Memang 10 tahun yang lalu apa yang terjadi?" tanyanya dengan wajah polos, ia bingung bagaimana harus menanggapi kemarahan Karin.

"APA?!" sura Karin melengking, ia tidak percaya dengan apa yang telah di ucapkan Hamish. Entah mengapa itu terasa menyakitkan untuk di terima.

"Bukan-bukan. Maksudku kenapa kau sangat marah?!" Hamish tanpa sadar meninggikan suaranya.

"Argh brengsek! Aku lari kesini bukan untuk menambah masalah!" bentak Karin menghentakkan kepalanya di dashboard mobil. "Turunkan aku di sini!" kini teriakannya berganti dengan suara lirih.

[Lari? Apa yang sedang dihadapi sih.]

Hamish memilih memberhentikan mobilnya dan mengunci semua pintu. Ia menenangkan Karin yang tersedu-sedu, gadis itu nampak sangat memprihatinkan membuat hati lelaki itu pilu. Ia mencoba itu memegang kepala Karin dan mendorongnya lembut ke arah pelukannya. Mengelus punggung sampai gadis itu lebih tenang dari sebelumnya.

[Gagal lagi aku ingin membuatnya berbicara. Tapi melihat kondisinya yang seperti itu, mana bisa aku memaksanya sampai ia berbicara sendiri. Sebenarnya apa sih yang terjadi?]

Karin tertidur di pelukan Hamish setelah menangis tersedu-sedu. Hamish yang melihat itu meletakkan kembali kepala Karin perlahan di sandaran kursi dan memasang sabuk pengaman dengan hati-hati agar tidak membangunkannya. Ia menatap lekat wajah Karin yang terlihat sangat lelah, matanya terlihat membengkak dan pipinya terlihat merah.

Sepanjang jalan Hamish hanya memikirkan kembali ucapan Karin yang mengganjal, ia merasa khawatir dengan apa yang terjadi di kehidupan gadis yang ia pikir selama ini baik-baik saja. Karena selama ini Hamish hanya mengikuti perkembangan Karin melalui berita terbaru dari terbitan-terbitan karya tulisnya. Ia juga diam-diam mengikuti sosial medianya melalui akun alternatif yang tidak digunakan untuk berinteraksi.

Sesekali ia merasa bersalah karena menjadi seorang yang pengecut yang memilih menyembunyikan perasaannya selama 10 tahun.