Chereads / Asa Dalam Sketsa / Chapter 3 - Ingatan Masa Lalu [Baik dan Buruk]

Chapter 3 - Ingatan Masa Lalu [Baik dan Buruk]

Hamish mengikuti Karin dari belakang diam-diam dengan menjaga jaraknya.

"Ha.. kenapa jalannya sangat lambat. Dia ini apa tidak kedinginan."

Hamish menggerutu saat seluruh badannya dingin dan lengket. Ia merasakan kakinya juga mulai melepuh karena sepatunya juga basah. Meski sebenarnya ia ingin segera ke mobilnya untuk mengambil baju ganti, ia lebih memilih untuk mengikuti Karin agar tahu di indekos mana ia menginap.

Saat ia sudah tahu dimana Karin menginap. Ia kembali ke mobil tempat ia terparkir dan mengambil tasnya yang berisi beberapa pakaian. Untung saja tidak jauh dari penginapan Karin tertempel kontak pengelola di tiap tembok yang terlihat. Ini berjalan lebih mudah dari rencananya.

[Kini orang yang pernah memenuhi seluruh hati dan pikirannya ada di samping dirinya – lebih tepatnya di samping tembok kamarnya. Terus sekarang apa yang harus ia lakukan?]

Hamish menyandarkan diri di tembok kamar yang dingin dan mendongakkan wajahnya ke atas. Walau ini hanya sementara ia tidak suka kasur lipat yang sangat tipis yang menjadi salah satu fasilitas di sini. Bahkan air di sini pun sangat dingin membuatnya jengkel.

[Tapi kenapa Karin tinggal di tempat seperti ini? Apa dia sedang hanya berlibur dan merindukan masa lalu]

Hamish mencoba mengingat 10 tahun lalu saat ia berumur 18 tahun. Hari itu acara kelulusan sekaligus perpisahan di sekolahnya. Semua orang duduk melingkar dan ia duduk di samping Karin. Sejak ia pindah lagi di tanah kelahirannya setelah sepeninggal mendiang ibunya, ia pindah di tengah semester di kelas dua. Satu-satunya yang menawarkan buku catatan hanyalah Karin. Walaupun tulisan dan rangkumannya sangat buruk, niatnya yang sangat baik membuat ia mudah menjadi dekat dengannya.

Wajahnya tersipu mengingat pertama kali saat ia pindah, ia sendirian dan mencoba menulis catatan pertamanya di sekolah barunya, dan Karin penawaran buku catatannya yang sangat rapi kecuali tulisan tangannya. Dan setelah itu hari sekolahnya menjadi lebih berwarna, ia tidak kegiatan apa di setiap hari yang mereka lakukan. Karena baginya dekat dengan Karin setiap hari seperti ada pelangi di atas kepalanya.

Ia mengingat alasan ia pindah adalah karena ia merasa tidak betah di sekolah lamanya yang seperti di diskriminasi, ia merasa dikucilkan hanya karena ia berwajah sedikit tegas dengan alis yang mengangkat. Selain karena di kucilkan, saat itu juga ayahnya akan di pindah tugaskan tanpa membawa dirinya, itu yang menjadi alasan kuat ia pindah bersekolah. Ia selalu sendirian di sekolah maupun di rumah, jadi tidak ada bedanya di manapun ia akan tinggal atau bersekolah.

Semua ingatan-ingatan itu kini menyelimuti dirinya dan ruangan yang dingin sampai membuat ia mengantuk. Bahkan ia mengabaikan rasa lapar di perutnya.

--

Karin yang telah membersihkan dirinya, ia mengeringkan rambutnya. Perutnya mulai merasa lapar tetapi seperti biasa ia malas keluar. Ia memeriksa laci lemari nya.

"Besok mau tidak mau harus belanja."

Karin menggerutu setelah melihat persedian mie cup dan cemilannya habis. Ia juga tidak bisa memesan delivery. Pulau ini tidak memiliki layanan JetFood seperti di ibu kota Provinsinya. Ini memang pulau yang pas untuk bersembunyi. Kau cukup mematikan saja alat komunikasi, dijamin polisi pun mungkin akan sulit menemukanmu jika kau kabur dari ibu kota.

Sulit menemukan bukan berarti tidak dapat ditemukan sama sekali.

[Atau malam ini aku pergi ke balai kota ya. Rasanya sudah lama sekali aku tidak makan-makanan manusia]

Karin menghela nafas, pikirannya campur aduk. Wajah Hamish dan Farhan silir berganti memenuhi pikirannya. Ia membaringkan wajahnya dan menatap langit-langit yang usang, mereka hanya mengecat ulang tembok penginapaan dan tidak membetulkan atau mengganti dek langit-langit.

Ia membaringkan badannya di kasur lipat yang tipis. Meski dua bulan lalu ia tidak terbiasa tidur di kasur tipis itu, kini ia tidak hanya terbiasa namun juga tidak ingin lepas. Jika ia sudah berbaring di sana, badan dan kasur seperti dua magnet yang saling menempel era. Pikiran kalut yang berlebihan mulai muncul menyelimutinya bersama kantuk dan membelit otaknya.

Itu terjadi tiga bulan lalu, Karin dan mantan kekasihnya berencana bertemu di café terdekat untuk makan malam bersama seperti yang sering mereka lakukan. Tetapi entah angin apa yang membuat Karin melewati jalan yang berbeda dari yang biasa ia lewati. Ia tiba-tiba ingin melewati taman di belakang apartemennya dan mendapati sepasang kekasih sedang bercumbu, dan lelakinya adalah Farhan dan wanitanya adalah penulis yang baru-baru ini muncul dengan buku best sellernya.

Karin dan Farhan diam-diam menjalin hubungan tanpa diketahui perusahaan. Itu adalah hubungan yang terlarang bagi kontraknya. Tapi sebelum kontrak yang ia dapatkan, mereka adalah senior dan junior di universitas. Jadi tidak ada alasan Karin harus memutuskan hubungan yang telah lama ia bangun dengan hati-hati.

Yang pertama adalah yang terpenting, dan Karin menemukan Farhan sebagai belahan jiwanya dahulu ketimbang mendapatkan kontrak dari Penerbit MN Agensi . Walaupun baginya karirnya sangalah penting – tidak, itu memang benar karirnya sangat penting sampai ia tidak sanggup melaporkan apa yang editornya lakukan padanya. Jika ia melaporkan segalanya, tidak hanya karir si Brengsek Farhan yang akan selesai tapi juga dirinya.

Apa yang membuat Karin sangat jengkel ialah Farhan tidak hanya berselingkuh di belakangnya. Setelah seminggu putus dengannya wanita yang sama dengannya waktu itu mengeluarkan novel terbaru yang terpampang di kaca depan toko buku. Karin tidak sengaja membaca blur nya, membuatnya tercengang dan menyadari sesuatu. Selama ini ia bagai pion di tangan Farhan.

Karin menitikan air mata selagi mengingat kalutnya masalah yang ia alami tiga bulan lalu. Membuatnya tidak hanya marah tapi ingin berteriak sekali lagi. Seperti rutinitas tiap malam sebelum makan malam. Dan tanpa sadar saat ia memejamkan matanya, ia berteriak dan menangis. Suara isakannya memenuhi ruangan yang hampa ini untuk beberapa saat.

Saat ia masih menangis dan terisak membenamkan wajahnya di telapak tangan, suara pintu kamarnya berbunyi. Suara itu semakin gedoran kamarnya semakin keras tiap detik.

"Karin! Kau kenapa?! Buka Pintunya! kau kenapa hei!"

Ia langsung berhenti berguling-guling dan menangis karena kaget.

"Siapa?! Yang memanggil namaku."

Karin mencoba mendekati pintu perlahan dengan merangkak.

"Hum? Hamish? Tapi. Kenapa?" bisiknya di depan pintu yang semakin keras di gedor, ia menggigit jari. Panik ia tidak tahu harus apa. Dan spontan ia malah memukul balik pintu yang di depannya. Seolah ia ingin bilang orang di balik pintu untuk berhenti menggedor. Itu berhasil orang yang menggedor pintunya langsung diam seketika.

Tapi itu tidak berlangsung lama, Hamish menggedor pintu lagi "Hei! Kau di belakang sana kan? Buka pintunya. Ada apa denganmu?"

[Dia tadi memanggil namaku kan? Apa aku yang salah dengar]