Entah sejak kapan cuaca di Indonesia tak tentu. Kemarin hujan deras sampai aroma tanah semerbak menguar, hari ini bisa panas kentang-kentang. Teriknya sang surya seperti ingin menghajar semua makhluk di bumi. Panasnya menggigit, gerah pun super sampai membuat keringat mengucur deras.
Dan di paparan mentari yang tak main-main ini, El mencari kerja.
Banyak teman-teman kuliah mengatai dia gila untuk mencari kerja manual begini. Di era teknologi canggih, dengan pendidikan strata1, sudah pasti lowongan pekerjaan akan dibagikan melalui web resmi. Apa guna door to door?
Namun daripada diam di rumah, menunggu sambil mendengar cecar ibunda atau berpikiran yang tidak-tidak seperti jual diri ... setidaknya El ingin berusaha. Karena itulah panas terik ia lalui.
Cuma sekarang dia sedang KO. Capeknya super.
Beristirahat di dudukan depan Betamart, lelaki berambut abu yang kini lepek itu menselonjorkan tubuh sambil bermain hp. Di sisinya ada air minum murah yang ia beli beberapa saat lalu dan sebungkus roti.
El kembali berselancar di dunia maya. Meski badan rebah, otak lelaki itu berputar. Dia sedang membuka media sosial kini, tapi perhatiannya tersita pada karya-karya yang ditunjukkan.
Setelah menjadi El beberapa hari, Elysha menyadari El suka membaca komik atau novel. Dia juga suka mendengarkan musik. Teman yang ada di friend list-nya rata-rata freelancer atau orang yang memiliki hobi di bidang itu.
Dulu El add confirm follow pertemanan hanya untuk fun saja. Dia tidak memiliki kelebihan di bidang itu, sayangnya. Gambar? El bisa kalau tracing aka jiplak. Musik? Main gitar saja dia tak bisa. Novel apa lagi. Sulit sekali dia menggambarkan sesuatu dengan kata-kata.
El yang asli begitu.
Tapi Elysha tidak.
Karena itulah dia sedang melihat-lihat pasar kini. Dan mulai memasuki ranah pelangi.
Yah ... dunia ini Elysha dan rekannya ciptakan untuk LGBTQ+. Entah mengapa feelingnya berkata, di sini, kalau dia menjajaki dunia itu ... bisa sukses.
Selama dua jam ke depan, lelaki itu pun menyelami kesesatan. Oh. Sekali dua kali, selain searching perihal hal ini, dia mencoba stalking male lead dan main character dunia ini, aliasnya Haris Wijaya dan Cakrawala Pangestu.
Dan begitu ia melihat media sosial Wijaya ...
Hnnngh~ badannya bergetar. Jiwa fujoshitnya berdesir kencang.
Laknat ia memandangi postur tubuh lelaki setengah bule itu. Napasnya mulai memburu.
Apalagi melihat foto terakhir. Pemilik rahang kokoh itu membiarkan kancing kemeja bercorak kembangnya itu terbuka sempurna. Lalu dia duduk di cap mobil kuda jingkrak, satu kaki ditekuk memperlihatkan selangkangan terbalut celana pendek coklat. Ia berpose sambil menyibak remanya yang coklat cerah nyaris oranye itu.
Hahuf hahuf! Sueksiiiii.
Gusti ... keindahan dunia apa ini?! Aaaa. Elysha napsu!
Namun fantasi Elysha harus terhempas begitu ia merasakan tonjolan di selangkangannya. Matanya membelalak. Ia pun terpaksa menelan ludah sendiri.
Kesadaran menampar Elysha.
J-jangan bilang bahwa sesungguhnya El Reski itu ... geh?
***
"Oh? Anakku sudah pulang? Masuk, masuk, sayang ..."
El yang baru saja turun dari motor entah mengapa langsung berhasrat untuk memacu kembali kendaraan butut itu begitu mendengar wanita paruh baya menyapanya lembut di rumah. Bahkan bulu roma seketika berdiri saat sosok yang tak lain dan tak bukan adalah ibunya, perlahan mendekat sambil merentangkan tangan dan tersenyum lebar.
What the puk. Apa yang terjadi? Kenapa wanita yang setiap hari macam nenek lampir ini tiba-tiba lembut? Kesambet apa?! Tidak. Apa yang sedang ia rencanakan?!—sederet praduga berkeliaran dalam benak pemuda setinggi 172 cm itu. Ujung bibir sudah berkedut tak jelas. Keringat dingin mengalir di punggung.
Ngeri. Ngeriiii!!
"Kok diam to, le? Sini lho ah. Ibu mau meluk kamu ..."
Hoek. El nyaris muntah imaginer mendengar sapaan lembut ibunya.
Karena tak tahan dengan kengerian yang ada, akhirnya cepat ia membalas pelukan sang Ibu. Sekilas. Cukup pluk! terus lepas. Hanya saja sebelum menjauh, El menyempatkan diri menempelkan tangannya di kening sang Ibunda, mengecek temperatur.
"Nggak panas. Ibuk lagi nggak sakit. Kenapa tiba-tiba baik?" gumamnya seraya melangkah mundur cepat. Sengaja, takut-takut ibunya berubah dalam hitungan detik dan kembali mengeroeng dengan nada tinggi seperti nenek lampir. Kalau sudah switch mode itu dan dia dalam radius semeter dari emaknya, bisa-bisa RIP kuping El.
Ucapan El sedikit menyinggung, seharusnya. Kalau ibunya yang normal, akan langsung muncul tanduk merah di kepala dan roaaaar, menghembuskan napas api. Namun alih-alih demikian, wanita berbalut daster oversize itu masih tersenyum dua belas jari.
Senyuman yang semakin membuat bulu roma El berdiri.
Buru-buru, tanpa menunggu ibunya berkomentar apa pun, dia masuk ke dalam kamar. Secepat kilat ia menutup pintunya. Matanya melebar, jantungnya dag dig dug der seperti dikejar anjing.
Astagaaa. Ngeri. Ngeriii!
Seumur-umur sejak menjadi El, Elysha tidak pernah mendapatkan perlakuan lembut seperti itu. Ibu mas El bukan tipe yang kalau anaknya jatuh terus mewek bakal di-'cup cup sayang, jangan nangis' tapi adalah tipe yang langsung ambil tebah, diancam bakal dipukul sambil diteriakin 'terusnooo terusno nangesmuuu!'
Makanya, orang yang begitu jadi lembut itu ... mengerikan!
"Apa ibuk keracunan terus otaknya konslet ya?" sambil berusaha meredakan debaran di dada, El perlahan membuka pintu. Ia celingukan kemudian, setelah memastikan tidak ada tanda-tanda keberadaan mamak, cepat ia melipir ke dapur. Tanpa babibu, ia buka tudung saji menjalin di sana.
"Huuuh? Daging dong. Mewah banget makan hari ini ...," El menganga melihat olahan semur dan krengsengan di atas meja. Ada dua lauk! Dan ... ada sayurnya juga! Lihat, ada capjay! "Sumpah kesambet apa ibuk tuh? Ngapain masak makanan mewah begin—"
"Ya buat kamu, le!"
El seketika terperanjat. Suara yang tiba-tiba muncul dari belakangnya tanpa permisi itu membuat jantungnya ajeb-ajeb.
"Buk! Jangan ngagetin! Kalau aku punya penyakit jantung udah jantungen, loh!" El protes sambil melangkah mundur.
Sang wanita paruh baya di depannya hanya ber-ckckckck melihat respon El. Katanya, lebay. El hanya bisa memutar bola matanya mendengar ujaran itu.
"Ya wes, sana mandi dulu baru makan. Ibuk tunggu ..." sambil tersenyum, sang Ibunda menarik mundur kursi. Beliau kemudian duduk manis di sana, pandangannya ke arah El begitu hangat.
Saking hangatnya El sampai berjengkit mundur.
"Ibuk ...," hati-hati, El mulai berkomentar, "kelihatannya ... bahagia banget." Tapi karena dia tak bisa melihat yang tak biasa, dengan segenap jiwa ia mengajukan pertanyaan sakral, "kenapa? Tumben ..."
"Tumban tumben, nggak ya ..." wanita itu cemberut. Ia mengalihkan muka dan menatap kompor. El diam, postur tubuhnya tunjukkan ia tak percaya dan ingin mendengar ibunda menjelaskan.
Setelah semenit berlalu dan posisi mereka belum berubah, helaan napas dibuang wanita itu. Masih tanpa memandang El, ia akhirnya buka mulut.
"Tadi ibuk ketemu bu Santi. Kamu tahu kan ... ibuknya nak Cakra." El mengerutkan kening mendengar hal ini, apalagi ketika nama main character di cerita yang ia tulis lalu diilustrasikan oleh bestie-nya itu disebut.
"Mm?" ia bergumam sebagai tanda mendengarkan.
"Terus bu Santi nanyain kamu. Ibuk kira seperti biasa orang-orang, mau komentar kamu yang jadi pengangguran dan memalukan."
El tersentak mendengar kalimat pedas ibunya. Segala ekspresi tertarik dari muka. Mimik lelaki itu kini datar bak papan irisan.
Okay ... mulai ...
"Tapi ternyata, dia malah muji-muji kamu. Bilang kamu hebat sudah wisuda, Cakra saja belum."
Mm, El mau memberi tahu ibunya kalau wajar Cakra belum lulus. Di cerita yang Elysha buat, Cakra itu aktivis. Dia ketua BEM Universitas M dan juga ikut UKM bela diri. Wajar kalau molor. Nah sedang dirinya? Workshop kagak ikut, kuliah juga kupu-kupu. Bootcamp gitu-gitu mager. Wajar pula jika lulus sebelum empat tahun.
Namun dia memilih diam. Suka-suka emak mikir gimana dah ...
"Terus ibuk baru sadar kalau kamu gini," sang Ibu menunjukkan jempol. "Makanya sesekali untuk anak ibuk yang hebat pol ini, ibuk masakin enak. Gituuu!"
Lelaki berambut abu itu mengerjapkan mata. Dia mengamati lekat raut ibunda yang penuh seri. Otak berputar.
"Kalau ibuk tahu aku hebat, boleh aku nggak diburu-buru cari kerja?" El mencoba bermain dengan api.
Selama beberapa hari di desa, Elysha tahu kalau orang desa itu paling ketrigger sama bacotane tetangga. Tapi mereka jadi sueneng banget sampai lebay kalau anak keturunan dipuji. Emak El juga sama.
Kejiwaan seseorang, kalau lagi bungah itu bisa dipersuasi. Karena itulah Elysha bergambling sejenak. Dia seharian ini capek luar biasa. Ia ingin istirahat dan eksplorasi ke-gay-an badan yang ia tempati ini. Ingin coba nganu-nganu pula kalau bisa. Intinya dia ingin di rumah!
Tapi sepertinya Bu Siti Sadiah, Ibunda El, tidak tergerak. Dia mengerutkan kening dengan bujukan El.
"Kerja itu penting! Mau jadi apa kamu kalau nggak kerja? Bapak rumah tangga?!"
"Aku sudah daftar kemana-mana buk ... semua butuh waktu, nggak bisa buru-buru, elah ..." tapi El tak mau kalah. Sambil merentangkan tangan ia menekankan ucapannya, "lihat buk. Aku hari ini saja di luar sampai malam. Buat apa? Cari kerja! Hargai dikit usahaku to buk ..."
Ibunda El diam. Ia menelisik anaknya dari atas ke bawah.
Sebelum akhirnya suatu keputusan terlempar dari bibirnya, "oke. Tiga hari tok ya!"
Muka El kontan berseri. Senyum lebar merekah. Ia pun menghambur dan memeluk ibunya. "Makasih buk!" serunya girang sebelum cup! mencium pipi wanita itu penuh kasih sayang.
"Ya, ya ... sana mandi!" Siti mendorong tubuh El. El pun melepaskan diri.
Namun ia tak lupa kembali haturkan rasanya yang terdalam, "Makasih buk!" sebelum berlari ke kamar mandi.
[]
— — — — — — — —
Note:
Le : cara memanggil anak laki-laki di jawa timur.