Chereads / WTF?! Why am I a boy here?! [BL] / Chapter 10 - Si Nastar Koneng

Chapter 10 - Si Nastar Koneng

[Amare1231: Lu habis ngelakuin apa?!]

El menaikkan dua alis melihat pesan yang masuk ke dalam kotak masuk aplikasi menulisnya. Sejak saat itu, El dan Amare memang menjalin hubungan lebih dari fans dan penulis. Maksudnya, mereka menjadi teman. Karena itulah, El acap kali menghubungi Amare kalau gabut.

Seperti sekarang, dia gabut.

Dia sedang duduk jigrang di pawon (dapur), nungguin rebusan air. Mau bikin mi goreng, ceritanya lagi lapar tengah malam. Nah, sambil menunggu dia gangguin orang juga—chat orang maksudnya.

[Nastar Koneng: duh. Ini lho.] El membalas pesannya sendiri yang sebelumnya pada Amare. Pesan yang berbunyi [Nastar Koneng: Aku habis ngelihat papapa secara live. Sakit keknya ya kalau bool dimasukin batang terus junior dijejali kateter begitu. Aku jadi merinding. Ews real itu mengerikan. Hiiish.] Maksudnya, dia meng-highlight apa yang ia kirimkan sebelumnya daripada harus mengetik ulang.

El melihat gelembung bertitik tiga [ ...] terpop-up di hp. Sepertinya Amare sedang mengetik. Namun karena lumayan lama, lebih dari lima detik, El memutuskan berdiri dan mulai meremukkan mi dalam bungkus. Oh benar, dia penganut sekte remukkan mi dulu sebelum direbus. Dia tidak begitu bisa menikmati yang panjang-panjang. Setelah itu ia pun mulai menggodog.

PING!

El mengerutkan kening, ia tengah mengaduk ketika suara notifikasi kembali terdengar. Sambil meniriskan mi dia melirik ke arah layarnya, membaca sejenak lalu membiarkan. Fokusnya tertuju pada mi. Bubble di layar ponselnya tunjukkan timbunan percakapan yang dikirimkan oleh Amare.

[Amare1231: Tunggu sebentar, Nast.]

[Amare1231: Lu ... cowok? Heh? Serius? Bukan cewek?]

[Amare1231: Gua kira lu cewek, njir! Hshs.]

Bagi El, tak masalah bila ia dikira seorang wanita. Pada dasarnya, yang di dalam ini memang perempuan, sudah berumur pula, tapi yah ... badannya laki tulen. Karena itu dia tidak tersinggung dikatai demikian. Bukan hal yang perlu diributkan ketika ada orang salah menduga apa gendermu itu.

Dia tak langsung membalas karena tangannya penuh dan dia lapar. Serius. El sehabis minya siap saja langsung ambil nasi dan makan. Tapi—

PING!

[Amare1231: No offense lho ya.]

Hening sejenak.

PING!

[Amare1231: Hei. Serius. Gua nggak bermaksud nyinggung lu.]

[Amare1231: Lu cuma tipe yang heboh sedikit, jadi gua kira lu cewek.]

—ada yang berpikir lain.

"Ni bocah ngapain dah? Ganggu orang lagi makan aja," gerutu El sambil mengunyah. Kali ini karena ponselnya pang ping pang ping mulu, dia memutuskan membuka pesan. Dan wow. Sudah numpuk!

El memikirkan sesuatu. Ia cepat melarikan jempol di gawainya.

[Nastar Koneng: Sans. Aku lafi majsn mi, btw sbb ya.]

Pesan yang tanpa sadar membuat orang diseberang tertawa. Beberapa typo terlihat dan karena terlalu receh jokes-nya, dia sudah nyengir sendiri. Entah itu atau alasan yang lain. Lelaki pirang itu pun melarikan jemarinya di atas keyboard, ia membalas pesan.

[Amare1231: Haha. Oke dah.]

[Amare1231: Btw, ceritain ke gua apa yang lu lihat.]

Di sini El menaikkan alisnya. Dia mengerang kemudian, membayangkan harus mengetik lama untuk menjabarkan cerita. Sambil setengah bercanda, El mengajukan tanya pada Amare. Maksudnya hanya abang-abang lambe (bicara hanya di bibir saja—omdo) sih.

[Nastar Koneng: Capek ngetiknya ish. Telpon aja gimana? 085xxxxxx737.]

Eh siapa sangka sedetik setelah El mengirimkan pesan itu, ponselnya berdering. Kriiiiing. Dan sebuah nomor asing masuk.

Pemilik rema abu—hasil cat—itu hanya bisa menganga. Terlihat juntai mi jatuh dari bibirnya.

***

Pemuda berema biru dongker itu memijit pelipis saking peningnya mengerjakan tugas. Ia bukannya tak paham atas apa yang diberikan dosen, dia hanya (super) lelah dengan tumpukan tugas yang ada. Apalagi dengan fakta dia harus ulang balik lokasi ini, gedung perkuliahannya dan dua menara pencakar langit di jantung Indonesia sana setiap hari. Dia merasa waktunya sungguh habis di jalan, jadi kesempatannya melalap habis tugas dari dosen itu ... super minim. 

Seulas senyum pedih mengurva di bibir lelaki di awal usia dua puluh tahun itu. Coba saja manusia jahanam itu tidak merusak kakaknya, kehidupan mereka tak akan sehancur ini, pasti. Kakaknya tetap bisa berlaga di depan kamera, tersenyum bebas di hadapan khalayak umum atau bahkan berani untuk meneruskan usaha keluarga. 

"Haaah, aku bisa gila ..." lelaki itu mengusap mukanya frustasi. Dia ingin semua ada perkembangan, jujur dia benar-benar lelah dengan keadaan yang seperti ini. 

Tapi di satu sisi ia tahu, memperbaiki kesehatan jiwa seseorang tak semudah membalikkan tangan. Semua butuh proses. 

Menyadari tiada guna menyesali apa yang telah terjadi, pemuda itu berdiri dari meja belajar tempatnya bekerja dan meregangkan tubuh. Ia melirik ke arah tangan-tangan waktu yang menggantung di dinding kamar. Terlihat tengah malam sudah terlewat. 

Sekali lagi dia menghembuskan napas berat.

AAAAA sudah mau jam 02:00 pagi tapi dia belum kelar nugas, gengs! Dia ingin menangiiiiiiis! Tapi tapi ...

Menggelengkan kepala, pemilik rema panjang sebahu itu keluar dari balik meja dan melangkah keluar kamar. Ia menuju ke dapur, bermaksud mengambil segelas air atau membuat teh. Langkahnya ditarik, muka tampan itu terlihat penuh kantuk. Oh, betapa dia memerlukan cafein agar senantiasa terjaga.

Namun langkah malas itu terhenti begitu saja ketika dia melewati kamar kakaknya yang sedikit terbuka. Tidak, lebih tepatnya, ia tadi sudah berjalan melalui pintu kamar si pirang sebelum akhirnya memutuskan mundur dan set! menempelkan dirinya ke tembok, lalu mengintip ke dalam dari celah pintu seperti tokek.

Kelereng biru mudanya menyipit, telinga menajam.

Dari dalam kamar, dia tadi mendengar kakaknya berbicara. Dia tahu putra pertama legal Arganta ini tak memiliki teman dekat atau bahkan memiliki hubungan tersembunyi yang tak ia ketahui. Karenanya, fakta si pirang sedang teleponan dengan seseorang ini ... membuat hatinya berdegup kencang. Mata pun membeliak. Mulut terbuka lebar.

"Seriusan?! Yang lu ceritain itu seriusan?!"

Pemuda itu menahan napas ketika mendengar kakaknya berekspresi. Nada terkejut yang meluncur dari bibir tipis si pirang di sana itu membuatnya menegang.

"Terus? Terus lu gimana?"

Ryuuki Awan Arganta mengepalkan tangan, jantung di dadanya makin berdebar tak karoan mendengar lantunan suara kakaknya yang naik turun; kental akan emosi.

"Sumpaaah?! Lu terima uangnya?!"

Gila. Gila! Kakaknya tak pernah menaikkan suaranya selepas insiden itu. Tapi kini ...

Gila! Siapa itu lawan bicara si pirang?!

"Goks. Jadi sekarang lu nambah kerjaan jadi kameramen orang nganu?!"

Wut?! What?! WTH?! HAAAAAH?!

"Hahaha! Jadiin cerita saja momen lu kerja di sana. Gua jamin tar boom dah! Hahaha! Goks abis lu Nast!"

HAH?! KERJAAN JADI KAMERAMEN ORANG NGANU—tunggu, nganu ini beneran kentwo kan ya?!—ITU GOKS?! HEH?! HEEEH?!

Awan tak mengerti. Kepalanya cenat-cenut tak karoan mendengar konteks pembicaraan mereka. Tapi di satu sisi dia tak percaya dengan telinganya.

Kakaknya tertawa, anjir! Kakaknya yang selama ini gloomy dan kehilangan cahyanya ... tertawa!

Siapa itu Nast?! Cewek?! Cowok?!

Awan mengatupkan rahangnya. Ia yang semula hendak bergerak ambil minum di dapur segera putar haluan. Awalnya, langkah lelaki itu pelan, tapi makin lama makin cepat. Bahkan tanpa sadar ia berlari.

Cepat ia kemudian menendang pintu kamarnya. Lalu tanpa babibu dia menyalakan laptop yang tertidur.

Detik berikutnya, jendela hitam terpampang. Jari lentik lelaki itu kemudian berlari, deretan huruf dan angka cepat mengikuti. Coding tertuliskan.

Beberapa menit pemuda itu berjibaku.

Sebelum akhirnya enter ia tekan daaaan ... deretan informasi mengenai log keluar masuk ponsel pun laptop kakaknya keluar.

Dari deretan itu si pemilik rema biru gelap mulai memindai. Matanya berkilat cepat, konsentrasi meningkat.

Satu nama masuk dalam radarnya.

Rentet komunikasi antara orang ini dan kakaknya cukup intens.

Nama orang itu ... Nastar Koneng.

... Nast.

[]