"Le ... balimu kapan? (Nak ... kamu pulang kapan?)" pertanyaan ini meluncur dari bibir ibunda yang sedang menyapu latar (halaman). El tengah manasi motor saat pertanyaan ini menggaung, dia tak begitu dengar, jadi lantang membalas tanya itu dengan, "apa buk?!" sebelum tangan meraih kontak, mematikan mesin.
"Oalah le ... ikumu sing nang kene kui (Oalah nak ... itumu yang ada di sini tuh)"-Bu Siti menggerakkan tangannya ke telinga, menegaskan apa yang ia maksudkan-"kopeng tah centelan wajan? (telinga apa tempat gantungin wajan?)"
El mengerjap mendengar pertanyaan ini. Sejak dia bekerja sebagai kameramen, atau setidaknya itulah yang ia katakan pada orang tuanya, hubungan mereka tidak semengerikan dulu. Emak tak lagi teriak-teriak dan menyuruhnya kerja, kerja, kerja. Tapi emaknya jadi tak suka kalau dia lama-lama di luar.
"Haduh, haduh. Panggonan kerjomu opo bising, le? Ibuk gawekno sumpelan kopeng nek ancenane iyo. Ojok nganti kowe dadi GGB, ganteng-ganteng budeg, le ... (Tempat kerjamu apa berisik, nak? Ibu buatkan penutup telinga kalau misalkan iya. Jangan sampai kamu jadi GGB, ganteng-ganteng (tuli), nak ...)"
El menganga. Hah?!
Dia pun segera menjauh dari motor, mendekati sang Ibunda sembari menggaruk rambut yang tak gatal. Maksud hati, menjelaskan pada sang Bunda kalau tadi dia seriusan tak dengar apa yang beliau ucapkan, bukan bermaksud tak acuh.
Hanya saja, sebelum dia sempat berkata dan baru saja bibir terbuka, sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah. Wanita paruh baya dengan rambut putih beruban turun dari motor itu, suaminya yang menyopir membawa motornya ke bawah pohon di sisi motor El setelah sang Istri turun.
Muka mereka tak asing. Namun El lupa siapa mereka.
"Oalah, Biyah to iki maeng ... pangling aku. Onok opo? (Oalah, ini Biyah to ... lupa wajahmu aku tadi. Ada apa?)" Namun rupanya Ibunya tak lupa. Sembari menyodorkan sapu, wanita itu menyambut rekan sebayanya sembari merekahkan senyum lebar.
El menimbang sejenak apa yang harus ia lakukan sambil melirik jam yang menggantung di ruang tamu. Masih ada waktu sebelum jemputan datang, karena itu dia segera melakukan unggah-ungguh menerima tamu yang selayaknya Tuan rumah lakukan.
Ia tersenyum pada tamu, menyalami sambil mempertahankan lengkung di bibir dan persilakan masuk. Baru kemudian dia melipir pergi ke dapur. Buat apa? Ya buat bikin unjukan (minuman) sambil mengeluarkan snack. Karena masih pagi, El membuat teh hangat saja dan menyuguhkan gorengan dari sebagian yang dibuat ibunya.
Saat El membawa snack dan minuman ini keluar, dia mendengar para orang tua itu berbicara. Lebih tepatnya, sang Tamu berbicara. Nadanya seperti curhat, ada kesedihan di sana. Ekspresi yang melekuk di raut tua itu pun agaknya tak berseri.
Uh-oh, dari sini El tahu mereka sedang membicarakan hal sensitif. Tapi mau tak mau dia jadi ikut dengar.
"Pak Sofyan kebangeten bener, Bu. Nggak ngiro aku wong kui koyok ngono nang besan e dewe. Isone ngomong nang ngarepku nak Kirana ora diitung wadon goro-goro ra meteng-meteng lho. Terus Yoko dikon rabi maneh, jare Pak Sofyan pengen ndang duwe putu, ora iso njagakno Kirana. Kebangeten to, bu? (Pak Sofyan itu keterlaluan sekali. Aku nggak menyangka dia bisa bicara seperti itu ke besannya sendiri. Bisanya dia bilang di depanku kalau Kirana itu nggak termasuk kategori seorang perempuan gara-gara nggak bisa segera hamil. Terus Yoko disuruh menikah lagi, katanya Pak Sofyan ingin segera punya cucu, nggak bisa mengharapkan Kirana. Keterlaluan kan, buk?)"
Hm ... El pasang tampang datar seraya meletakkan gelas per gelas ke depan tamu dan Ibunda. Tanpa sengaja, ia mendapatkan beberapa nama di sini: Sofyan, Kirana, dan Yoko.
Kirana kan mbak embak yang itu ... kalau Sofyan dan Yoko siapa? Dari cerita dia tahu sih, si Sofyan bapaknya Yoko, mertuanya Kiran. Nah terus apa hubungannya sama emak El?
El melirik melihat sang Ibunda. Muka ibunya tak baik, kusut dan dipenuhi kesedihan. Kerutan kontan terbentuk di kening pemuda itu. Jarang-jarang ia mendapati ekspresi Ibunya begini.
"Bu--" tapi belum sempat dia melemparkan kata untuk menenangkan wanita paruh baya itu, Ibunya lebih dahulu membuka mulut. Beliau tentu tidak berbicara padanya, perhatian wanita dengan separuh rema beruban adalah wanita sebaya di depan sana. Ia bahkan menjulurkan tangan lalu menangkup jemari berkerut Bu Biyah sebelum berbicara, "makili Sofyan, aku njaluk ngapura ya Bu ... (mewakili Sofyan, aku minta maaf ya Bu ...)"
Hah? Kenapa ibunya harus mewakili si Sofyan? Siapa manusia tak tahu diuntung itu?!
"Opo ora iso buk, sampeyan kandani Pak Sofyan nek ora ngono carane dadi wong tua? Ngono-ngono Pak Sofyan lak semahe peyan, to bu ... (apa tidak bisa jika Ibu beri tahu Pak Sofyan kalau tidak begitu caranya jadi orang tua? Begitu-begitu Pak Sofyan suamimu kan bu ...)"
Di sini El membulat. Bibirnya auto menganga lebar dan muka di sana gamblang tunjukkan keterkejutan. What?! Sofyan itu suami Ibunya?! HAH?! ORANG ITU BAPAKNYA?!
Jantung El sumpah jumpalitan tak jelas. Elysha sadar jika memang dia kurang perhatian dengan silsilah pun nama orang-orang yang berhubungan langsung dengan orginal El. Dia saja tak punya keinginan untuk bertemu Bapak yang pulang saja tak pernah dan selalu memperlakukan Ibunya sebagai pengemis. El sudah ilfeel duluan.
Hanya saja ... jujur dia tak akan menyangka jika nama si Bapak akan menghantuinya jua, berbarengan dengan Kirana! Dalam acara drama keluarga pula! Apa-apaan ini?!
Tunggu ... makanya saat bertemu dia, Kirana seperti ... ingin mengatakan sesuatu.
Apa itu karena dia ipar tirinya?!
Tapi tunggu dulu! Di plot yang ia buat dulu ... Kirana menikah selepas dia lulus dari SMA. Lalu dia hidup dalam kungkungan mertua bajingan yang mengekploitasi dirinya. Di tengah kedepresian itu, Kirana bertemu lagi dengan Cakra. Lalu dia ...
Wtf. WTF!
Tak ingin mendengar lebih banyak dan tak ingin terlibat lebih lanjut, El memutuskan segera pergi dari ruang tamu. Mukanya tegang, keringat dingin mengalir di punggung. Dia cepat-cepat ke dapur, mengambil ponselnya dan buru-buru mengetikkan pesan pada Ibunya.
El tahu jika Ibunda sedang tidak membawa ponsel, tapi setidaknya dia harus mewanti-wanti (memperingatkan) dengan keras ibunya. Karena jika tidak, mereka bisa terseret plot utama. Dan di sana, kondisi yang akan dihadapi sangat tidak baik. Hanya orang berduit yang akan menang.
[[Buk. Jangan ikut campur urusan rumah utama. Bapak bukan orang baik.]] El segera mengirimkan pesan itu. Ia melirik ke arah ruang tamu, tampak Ibunda dan Bu Biyah masih saling berbincang dari hati ke hati.
El memejamkan mata melihat hal ini. Dia berdoa semoga ... semoga Ibunya tak mengiyakan apa pun permintaan konyol yang Bu Biyah katakan nanti. Karena jelas, besan Sofyanjing datang ke rumah istri tua yang tak dianggap oleh orang itu ... pasti memiliki maksud terselubung!
Di saat pikirannya kalut, El mendengar suara deru mobil di luar, lalu diikuti klakson di tekan, 'DIN!'. Ia sedikit terperanjat di sini. Namun satu ide muncul melihat kendaraan di luar sana.
Ide ... dia harus mengumpulkan banyak uang dan mengajak Ibunya pergi dari desa ini.
Tanpa babibu, El buru-buru mengambil tasnya. Mantap, dengan alat perang di punggung, ia kembali masuk ke dalam ruang tamu, berpamitan untuk berangkat kerja.
Namun saat dia mengecup punggung tangan Ibunya, dia memandang lurus mata wanita yang melahirkannya. Seualas senyum merekah, "Buk. Kalau aku sudah kaya ... kita pindah ke kota ya," katanya tegas. Sengaja agak dikeraskan, agar sepasang suami istri di sana tahu ... jika El punya kemampuan untuk membawa Ibunya pergi.
Mereka tak akan terjerat lingkaran setan Sofyanjing.
[]