Selepas kejadian pagi hari bersama Ibunda itu, hubungan El dan ibunya menjadi kikuk. Mereka bahkan ditaraf saling mendiamkan. Ah, lebih tepatnya ketika El bertanya sesuatu, ibunda cuma menjawab alakadarnya.
Sebagai Elysha, ia tahu bila wanita paruh baya ini sedang merajuk. Tapi menjadi lelaki, ia bisa bersikap bodoh amat dan tak begitu memikirkan apa yang terjadi. Bahkan dalam benaknya, dia yakin bila ketika ia pulang membawa kabar sudah diterima kerja ... hubungan mereka akan membaik secara alamiah.
Heh. Menjadi lelaki memang lebih simple sepertinya.
Setiap hari dihabiskan El keliling memasukkan lamaran pekerjaan dan nongkrong di warnet Eko. Dia bahkan sudah mendaftarkan diri bekerja sambilan di warnet itu, dengan catatan tidak mau shift malam. Eko menggodai dia dengan, "aish, dapet duit gede kok nggak mau to El. Kenapa se? Harga diri? Sing nentokno regane wong kan uduk bokongmu melar tah ora. Saiki ki jaman edan, sing didelok wong ki saiki ngenean ... (Yang menentukan harga diri bukan pantatmu melar apa enggaknya. Sekarang itu era gila, orang ngelihat kamu dari beginian ...)," sambil menggesekkan ibujari di telunjuk, membuat gestur uang.

El hanya bisa tertawa mendengar hal ini. Ironinya memang begitulah keadaan di lapangan, orang melihat sesuatu dari harta, bukan lagi putihnya jiwa.
Tapi setidaknya putra tunggal bu Siti ini berusaha menjaga keperawanan dan keperjakaannya.
Walau dia yakin ujung-ujungnya akan seggs bebas sih. Pokoknya, untuk sekarang, dia berusaha untuk tidak menjual diri!
"Loh. Mas El?"
El yang asik dengan laptopnya terpaksa mendongak begitu mendengar suara sedikit familiar—tapi dia lupa siapa—memanggil namanya. Sejenak ia memandang lurus wanita ayu berambut coklat lurus di depan sana.
Elysha tahu El mengenali orang ini tapi lupa siapa dia.
Dia sendiri sebagai sang Pencipta dunia ini lupa.
Karenanya El hanya menelengkan kepala, mengerjap sebelum bertanya, "ya? Mau pakai komputer nomor berapa mbak?" pura-pura lupa kalau orang ini tahu namanya, tak peduli juga dia tahu dari mana. El langsung kembali membahas pekerjaan.
Wanita ayu seumurannya itu memandang lekat, wajah putih di sana tampak terkejut. Ia seolah tak menyangka akan komentar El. Namun selang beberapa saat, senyum mengerti mengurva di wajah menik-menik (kecil) itu.
"Yang nggak deket kamar mandi aja mas. Sama tidak terlalu dalam. Ada?" lembut suara itu terlontar. Dia sedikit mencondongkan badan di meja kasir, memperhatikan layar monitor El. Siapa saja tahu bila monitor di hadapannya menunjukkan komputer mana saja yang isi dan tidak.
El bersyukur dalam hati dengan fakta wanita ini tak mengajak berbasa-basi lebih atau memberondonginya dengan deret kalimat klise seperti, 'kamu lupa aku? Aku xxxx (nama) loh! Oh iya kamu sudah kerja? Aku sekarang kerja di sini ... blablabla'.
"Oke mas El. Aku ke komputer dulu ya ...," perempuan itu undur diri kemudian. El cuma mengangguk sebagai jawaban, tapi dia tak melontarkan apa pun dan kembali menekuri emailnya.
DING! —notifikasi berbunyi, sekilas El melirik monitornya yang berkedip. Dia melihat ada yang login di komputer nomor tujuh.
Oh. Si mbak tadi.
Dia pakai username Kirana.
El tak peduli. Ia kembali fokus pada layar laptop. Dari sekian perusahaan yang ia lamar, belum ada satu pun yang memanggilnya interview. Berarti ada yang salah dengan surat lamaran atau CV yang ia buat. Rencana El hari ini mencari petunjuk surat lamaran yang benar dan bagaimana membuat CV attractive.
Namun di tengah-tengah mengetik, notifikasi berbunyi lagi. El melihat di ujung layar, terdapat permintaan chat dari komputer nomor 7.
Komputer nomor 7 itu ... oh! Mbak tadi.
Malas sebenarnya, entah kenapa mbak tadi meski cantik membuat hati El cenat-cenut. Mungkin di alam bawah sadar, tubuh ini pernah dilukai dan tahu orang itu siapa, tapi memilih melupakan karena tak ingin terbelenggu luka.
Heh, kayak cewek ya. Terlalu sentimentil.
Berusaha bersikap professional, El membuka pesan itu.
[Kirana: Mas El. Aku mau ngeprint, file udah di cete-erel Pe, tapi kok nggak kecetak-cetak ya?]
El menaikkan alis melihat pesan ini. Ha? cete-erel P?
Tiktoktiktok, loading ...
Oh! Ctrl+P!
[Komputer utama: ya saya ke sana mbak.]
Lelaki berambut abu itu beranjak dari tempat duduknya. Ia mulai bergerak menuju komputer nomor 7. Sepanjang berjalan, El melihat printer di setiap dua bilik komputer. Memang benar, warnet ini terkategori kaya untuk warnet di desa. Fasilitasnya menyaingi yang ada di dekat universitas.
"Piye mbak? (Gimana kak?)" El bertanya di depan pintu bilik. Sekilas ia melihat kondisi printer. Tidak ada lampu berkedip di bagian indikator printer, artinya belum ada perintah yang diberikan pada piranti itu. El mengerutkan kening. Hm ...
Namun perhatiannya buyar ketika merasakan tangan mungil menarik ujung kaos lengan panjang yang ia kenakan. Dia mendapati wanita ayu di sana masih panik, mimiknya pucat. Ia sudah berdiri dan dari gestur sepertinya mempersilakan El masuk dan duduk di kursi yang tadi ia duduki.
"Nggak tahu gimana mas. Pokoknya nggabisa. Ada yang keluar gitu setiap aku mau ngeprint. Sumpah. Nggak paham yang beginian akutu," katanya takut-takut. Dia sedikit bergetar, sepertinya sudah membayangkan kalau merusakkan komputer warnet dan harus mengganti.
El hanya tertawa kecil melihat ekspresi lucu perempuan ini. Dia memenuhi panggilan dan duduk di sana. Kemudian mulai mengecek satu per satu, mencari apa gerangan yang salah.
Tidak sampai semenit El langsung menemukan mengapa.
"Mbak settingnya belum dirubah ini mah," El menggumam rendah. Ia menunjuk ke arah monitor, memberi tahu ke wanita ayu yang sepertinya agak gagap teknologi itu.
Si wanita anggun di sana hanya menelengkan kepala. Mukanya tampak bingung. "Setting?" tanyanya tak paham.
Ohok!
El bingung sendiri harus menjelaskan bagaimana. Namun tergelitik di dada rasa kasihan, masa cantik-cantik gini saja nggak paham? Nanti bisa dibodohi orang dong.
Dalam diam dia menghirup napas panjang, lalu menunjuk ke arah monitor dan mulai menerangkan. Kirana sendiri memperhatikan El dengan seksama, bertanya kalau tak paham.
"Oh begitu. Jadi 'print as PDF' itu sama seperti menyimpan biasa ya mas? Harusnya itu print ke merk printer yang dipake? Ooooo ... Paham, paham," Kirana manggut-manggut mengerti. Ia menepukkan tangannya saat pemahaman merasuk. Mimik mukanya sumringah.
El hanya tersenyum tipis melihat ekspresi wanita itu. Hanya dengan mengajarkan hal simple begini saja dia bahagia.
Mm ... mengajar?
Sekilas ide melintas. Ia mengelus dagu dengan pemahaman ini. Dia tidak ahli dalam komputer, tapi bagaimana jika dia membuka les-lesan tentang sesuatu yang dia kuasai di desa? Sepertinya di desa tempat ia tinggal juga belum ada tenaga ahli mengurus pendidikan begini.
Keseriusan El ini tak luput dari perhatian Kirana. Wanita ayu ini bentukkan huruf O dengan bibirnya yang berpoles gincu tipis. Ia tak tahu apa trigger El tiba-tiba memasang wajah serius, tapi El yang begini tak buruk.
"..." Kirana mengamati lekat. Pikirnya berkelana lepas.
Dia melihat wajah seseorang di keseriusan El ini. Terbayang ia yang dulu selalu menemaninya.
"Mas El. Awakmu tenane lali karo aku ta? (Kamu beneran lupa sama aku?)" tanpa sadar, bibir wanita itu terbuka dan satu tanya melayang.
El menoleh ke arah Kirana, alis lelaki itu naik. Ekspresi cuek dan bodoh amat mencampur jadi satu. Meski tak berbicara, ia mengembalikan tanya Kirana dengan tanya, 'harus aku mengenalmu?'
Yang lucunya, dapat dipahami oleh sang wanita. Mimik muka Kirana terkejut, ia langsung menepuk dadanya dan mengatakan gamblang, "ini aku mas, Kirana Maheswari! Kita satu SMP SMA!"
Si pemuda berambut abu itu mengerjap.
"Oh. Iya. Halo," katanya cuek seraya berdiri. Ia bergerak ke depan printer, mengecek kondisi piranti itu seraya menunggu cetakan Kirana selesai.
Sikapnya acuh tak acuh. Jelas, ia tak mau ambil pusing; mau perempuan ayu ini mantan teman SMP atau SMA atau apa, bodoh anat.
Namun ia merasa nama Kirana Maheswari tidak asing ...
"Mas. Serius lupa sama aku? Kita ... selalu bertemu lho!"
Kegigihan perempuan sebayanya untuk membuat El ingat bak masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Pikiran lelaki itu bahkan kini melayang-layang. Bukan pada wanita di sisinya, tapi pada mencari dalam memori nama 'Kirana Maheswari'.
Tiba-tiba satu ingatan hinggap menghampiri.
"Kalau tak ingat ... Aku istrinya—"
"OHH! Cewek yang nyia-nyiain Cakra itu ya?!" El berseru. Ia tersenyum sumringah akhirnya ingat juga siapa wanita ini.
Kirana Maheswari, karakter ayu yang membuat ML insecure. Mantan pacar MC, Cakrawala Pangestu, yang meninggalkan MC dan nikah dengan orang lain karena mereka lebih kaya.
Sementara Kirana ...
Ia hanya bisa membelalak. Tubuhnya kaku mendengar ucapan lelaki di hadapannya.
[]