El Reski memiliki orientasi belok. Dia tidak tegang ketika melihat pekob gunting bergunting—lesbong, tapi adek kecilnya langsung kedat-kedut ketika ia nonton adegan r18 pedang beradu pedang. Elysha meyakini kebelokan El sebagai 100% belok ketika dia mengamati film biru straight, tapi perhatiannya hanya ke alat vital si lelaki.
Dan gara-gara ini ... ketika dia melihat ada cowok lebih muda, muka kecil yang dipadu bibir tipis seksi, lalu rambut agak ikal berkulit tan sedang menunjukkan kebugilannya; seketika ada yang tegak, tapi bukan keadilan.
El menenggak ludah. Ia memalingkan muka, pipinya memerah. Rasio berusaha mengalahkan birahi. Namun beda dengan hati, uh ... jiwa El menjerit, 'aaaa. Ada permainan bede uhuk esem uhuk,' sekilas ia melirik, mengamati kulit yang ditekan kuat oleh tali kulit. 'Hnnngh. Gila. Permainan hardcore secara realtime! Hiyahiyahiya'
Tapi meski jeritan hati demikian, bibir El berkata lain. "M-mas, harom mas ... auratnya ditutup mas ..."
Yak. Ia adalah cerminan malu-malu tapi mau.
Akih tertawa kecil melihat reaksi El. Dia bergerak mendekat sambil makin menjembembeng (membuka lebar-lebar) jaket yang ia kenakan. Senyum mungil melengkung di bibir, main-main.
El ingin melangkah mundur, menghindar. Tapi dia yang pura-pura tak tertarik, berusaha memasakkan kaki ke bumi, bergeming. Kepalanya masih menoleh ke sisi lain, sok-sokan buang muka.
Sampai setidaknya, Akih berada di depannya dan langsung meraup gundukan di antara paha.
"Nngh! Apa yang ka—" El mau memprotes, tapi belum juga mulutnya terbuka, ada bibir lain menempel di bibirnya.
Seketika otak El langsung trip. Tubuh tak kekar tapi juga tak langsing itu menegang.
Dia mendadak jadi bodoh, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tapi berbeda dengan El, Akih melebarkan senyum melihat apa yang terjadi. Jemarinya bahkan mulai berani menggancarkan aksi seduksi. Mereka meraih pinggang El, menariknya mendekat. Lalu perlahan, menyapu naik ke bahu melalui dada.
Dia berhenti sejenak di depan pentil, memeregol benda itu kendati kaos melapisi.
Di sini El merasakan dialiri listrik statis. Kesadarannya pulih, cepat ia mendorong tubuh Akih. Dia pun mundur, menjaga jarak di antara mereka. Sembari tangan terjulur dan alis tertaut, bibir El melempar tanya pada lelaki lebih muda di hadapannya, "apa yang kau lakukan?" tanya yang lebih menyerupai desisan. Kentara sekali nada tak suka dari bibir itu.
Akih hanya menelengkan kepala mendapat reaksi yang demikian. Ia pun mengerjap polos. "Menyadarkanmu?"
El terkesiap. Matanya membelalak, tanpa sadar ia pun menaikkan suaranya, "menyadarkanku atas apa?!"
Untung saat itu warnet sedang tidak ramai. Hanya beberapa anak kecil main game menggerombol di pojok, mereka pun mengenakan headphone. Jadi tak ada yang terganggu atas kelepas kendalian diri El ini. Tidak ada pula pasang mata yang mencoba mencari tahu, sebenarnya apa yang terjadi kok sampai ada yang berteriak di dalam warnet.
Lelaki lebih muda di depan El hanya tertawa kecil melihat hal ini. Cepat ia pun mendekat. El berusaha mundur, tapi berujung punggungnya membentur dinding dan dia tersudut. Lalu enteng sekali, Akih menempelkan dirinya di dada El.
El di sini rasanya mau gila.
Dia bisa merasakannya, Tuhan! Dia bisa merasakannya!
Gundukan di selangkangan Akih itu mengenai kaki bagian atasnya. Meski El mengenakan celana kain ala kantoran, dia tetap bisa merasakan gesekan yang dihasilkan. Pentungan coklat itu naik turun menggodai paha sisi dalam.
Tangan El cepat meraih bahu Akih, dia berusaha mendorong lelaki itu ke belakang. Namun sebelum ia dapat melakukan apa yang inginkan, Akih jinjit dan membisikkan sesuatu di leher El. Napas panasnya mengenai tulang selangka, membuat bulu roma di sana berdiri sempurna.
"Kamu pingin uang dua juta kontan nggak, mas?" adalah apa yang ditanyakan lelaki belasan tahun itu padanya.
Cepat lulusan universitas kota M itu mendorong Akih. Tak begitu kuat hingga jarak memisahkan mereka jauh, tapi cukup membuat ruang antar dua individu.
El berdesis, "aku tak mau menjual harga diri," katanya kukuh. Ia beusaha mengeraskan prinsip dalam jiwa, berusaha tak goyah kendati uang yang ditawarkan begitu menggiurkan.
Akih menelengkan kepala, mengerjap dengan polosnya seolah jawaban El merupakan hal terbodoh yang ia dengar. Senyum melengkung di wajah kecil itu setelah beberapa saat ia terdiam dan hanya memandangi lelaki di depannya.
Cepat, Akih kembali mendekat. Ia bebisik, "Eh, ini cuma nonton dapet dua juta, lho~"
Kerutan kening terbentuk di mata El. Rautnya tunjukkan betapa ia tak percaya kata-kata remaja di depannya ini.
"Ha! Bullshit. Ini hanya tipu musli—aaah!"
El mau menolak, tapi Akih sekali lagi, meremat selangkangannya. Tenaga si remaha tak kuat, tapi tak lemah juga. Sangat pas untuk berikan rasa sakit yang mendongkrak libido untuk naik. "Adekmu keras, mas El~" lirih ia berdendang, lagi, di leher El. Tangan itu pun mulai memijat-pijat balon di sana. Selain itu, ia menggodai ujung batang terbungkus kain itu dengan ibu jari yang bebas.
"J-jang—mmhh," begitu ia bersuara dan lenguhan ikut mencuat ke permukaan, El menutup mulutnya rapat. Gigi serinya yang besar seperti kelinci, melesak kuat hingga berikan luka di bibir.
Akih yang melihat hal ini kembali berjinjit. Ia menjulurkan lidah, mengusap luka pun setitik darah di sana dengan ujung daging tak bertulangnya. El menegang, listrik statis terasa menyengat seluruh tubuh atas apa yang dilakukan Akih.
"Kamu nggak perlu ngangkang mas. Cuma rekamin aku dan mas Bimo beratraksi. Mau?" desisan lirih kembali El dengar.
Akih makin menempelkan dirinya di dada El, dia sedikit bergoyang, sengaja menggesekkan pentilnya di permukaan kasar kemeja. El hanya bisa menegang melihat hal ini. Gerakan Akih tidak cepat, dia lambat membawa dirinya naik turun di dadanya. Suara kemeresak pengikat kulit mengenai kemeja terdengar, lirih ia pun bisa mendengar lenguhan si bocah.
Bangsat. Seksi banget!
"Aku tahu kamu homo, mas~ Nggak usah mikirin dosa ngewe, toh kamu nonton bokep juga hitungannya dosa. Apalagi bokep homoan. Double dosanya. Sekalian aja kan, nyemplung (nyebur)?" Si tan terkekeh setelah berkata begitu. Ia menekankan kepalanya di dada El, mendengarkan degup jantung pria itu sembari menunggu dorongan penolakan. Namun tak ada yang terjadi, seringai pun melengkung sempurna. "Awakmu urip mek sepisan tok, gawenen seneng-seneng. Uripmu kui urusanmu, ora usah rungokno opo jare wong liyo. Ojok urip dadi golekane wong, diatur ngono ngene manut ae. Yo to? (Kamu itu hidup hanya sekali, buatlah senang-senang. Hidupmu itu urusanmu, nggak usah dengerin apa kata orang lain. Jangan hidup jadi bonekanya orang lain, diatur begini begitu mau aja. Ya kan?)"
El diam. Dia membuang muka kendati remaja di bawahnya mendongak, memandangnya penuh makna. Kelereng gelap Akih seperti black hole yang siap menjerumuskan El, dia takut jika terlalu lama memandang, ia akan takluk dan terjun pada kegelapan.
Namun di satu sisi ia tahu yang dikatakan Akih ada benarnya juga. Tidak semua benar, tapi sebagian memang tepat. Apalagi di bagian 'kamu hidup hanya sekali'.
Hati El mulai goyah.
Dia galau.
Dia tahu dia sudah ngaceng. Juniornya sudah menggunduk. Dan daripada di-crot-in di kamar mandi, sendiri, bukannya asyik kalau rame-rame plus dapat uang?
Bukan mata duitan, tapi kalau hidupmu ditarget berpenghasilan besar juga kau akan paham rasanya ...
"Dapet bonus berapa kalau kamu bisa maksa aku ikut ke dalem?" El menunduk kini, ia yang sudah membulatkan tekad mulai berani memandang Akih. Persetanlah. Dia butuh uang!
Akih memandang El dengan mata membelalak. Mimiknya yang diwarnai seduksi begeser kalut. Dia bingung harus menjawab bagaimana.
"Kasih aku seperlima bonusmu, gimana? Nggak banyak, kan? Terus, kalau video-nya laku ... aku minta profit 5% aja dari yang kau dapat, gimana? Nggak banyak, to?"
Remaja itu memucat. Dia tak menyangka lelaki biasa saja yang sempat ia target menjadi mangsanya kini tiba-tiba mengajukan proposal yang tak terduga. Ia kira, El sama seperti orang lain akan langsung iya-iya saja. Dua juta rupiah adalah angka yang besar dan bisa menjerat banyak orang! Dan itu tak cukup?!
Bagaimana ini?! Dia harus merespon bagaimana ...
Akih hanya bisa menggigit bibir dan mengeratkan cengkramannya di jaket. Secepat apa pun pikirnya berputar, ia tak bisa menemukan win win solution.
Karenanya, lirih ia menjawab, "okay ..." sedang seringai El makin lama makin lebar.
[]