Di cerita yang ia buat, Kirana adalah side character yang jarang keluar. Bukan dia tak penting, tapi memang karena kehidupan Cakrawala Pangestu dan Haris Wijaya tidak melibatkan wanita itu lebih dalam.
Dia hanya muncul beberapa kali—lebih banyak dari kemunculan El jujur saja—yang tujuan kemunculan hanya buat menekankan suatu fakta Cakra itu lelaki straight dan bengkok untuk Haris seorang. Kemudian sudah. Kelar. Dilupakan.
Dari sini sudah tampak jika nasib Kirana seperti dirinya—El Reski. Jadi wajar kalau yang Elysha ingat paling utama pada Kirana adalah perannya: mantan Cakra yang menikah dengan orang lain dengan alasan tertentu yang Cakra sendiri tak tahu. Tapi jelas, keluarga lelaki itu lebih kaya dari keluarga Cakra.
Namun dari ekspresi senyum terpaksa yang kini terlukis di wajah Kirana, agaknya dia tak suka disebut begitu.
"Errr ...," El menggaruk pipinya. Dia mengambil kertas yang dikeluarkan printer, merapikannya; pura-pura sibuk.
Selaku sosok yang pernah menjadi cewek (sebagai Elysha maksudnya), kalau dia dibegitukan lelaki lain, tentu cocot berengsek lelaki tak tahu diri itu sudah dia gampar.
Namun Kirana tidak. El memperhatikan dari ujung mata bagaimana perempuan itu berjuang sekuat tenaga untuk mengendalikan diri. Amarah ia tekan, senyum ia kembangkan. Pedih kurva yang menempel di wajah ayu itu. Luka, mimik yang terpasang. Dan ia kukuh untuk bungkam.
Elysha mengagumi ketegaran ini.
Tapi sebagai El, dia bodoh amat.
"Sudah, ini saja mbak?" El bertanya, memastikan dahulu sebelum beranjak ke meja tempat ia bekerja. Kelerengnya yang hitam pudar bertumbuk dengan coklat tua Kirana. Tanpa menjawab, Kirana mengangguk; senyum itu, yang setengah terpaksa, masih melengkung di bibir.
Tanpa membalas apa pun, El bergerak ke mejanya, meninggalkan Kirana.
Sedang wanita itu hanya bisa menunduk, menggenggam erat ujung kemeja yang ia kenakan.
Ada kata yang tak bisa diungkapkan.
Ada rasa yang hanya bisa dipendam.
***
Pertemuan dengan kirana menguap begitu saja dari benak El. Dia tidak memiliki perhatian khusus untuk wanita itu memang. Di otaknya, dia masih enggan menjalin hubungan lebih pada orang-orang yang memiliki hubungan dengan main character, Cakrawala. Sudah terbayang nih ke depannya, ia bakal ditanyain sesuatu yang berbau 'kalian sama-sama kuliah di kota M tapi kenapa Cakra bisa dapet pacar orang kaya gitu? Dia juga gampang dapet kerja. Kok kamu engga?'
Jadi El memilih tidak memperdalam komunikasi dengan para tokoh penting. Toh rencananya sebelum Cakra datang, ia mau melipir pergi. Sehingga apa pun yang terjadi di plot ke depannya, El tak akan tersangkut baik sengaja atau tidak.
Karenanya ... ia berjibaku mengumpulkan wang. Saat ini dia tidak peduli jumlah gajinya, yang jelas El kerja serabutan sana-sini demi bisa menabung. Sebagian untuk ibunya, sebagian bekal ia minggat di kemudian hari.
Ibunya juga tidak berkomentar apa yang ia kerjakan. Pokoknya nggak di dalam rumah mulu, panasan atau ngapain saja asal tidak mendekam di rumah, Bu Siti diam seribu bahasa.
"Lho El. Durung muleh to (belum pulang rupanya)," ketika El sedang asyik membuka situs untuk mencari ide omoh, sebuah suara familiar menyapanya. El mendongak.
Di sana, di ambang pintu ... berdiri lelaki tegap berema ikal yang tengah memeluk lelaki imut bertubuh ramping, lebih kecil darinya. El mengerjap dengan sapaan ini, ia tahu siapa manusia itu, tapi ia yakin mereka tak pernah ... saling menyapa. Lantas mengapa ...
"Halo mas Bimo, sudah mau beraktifitas malam?" El melirik ke arah jam. Masih 18:50, belum bisa disebut malam banget juga. "Padahal ini belum begitu malam mas," celetuknya tanpa sadar.
Ia pikir Bimo kalau melakukan nganu-nganu, selalu berpatok pada jam. Atau setidaknya begitu yang ia duga. Ia menjumpai lelaki ini pertama kali itu dulu saat berbincang bersama Eko di awal episode. Saat itu masih pagi, kebetulan Bimo baru selesai berolah raga (di ranjang), makanya mereka bisa jumpa.
Setelah bekerja, ia tahu jika lelaki ini member gold ruangan r18 di sana, dan datang saat El tak ada, kembalinya ketika ia yang jaga.
"Eleh. Seneng-seneng kan, nggak mandang waktu," enteng Bimo menjawab. Ia kemudian terbahak. El yang merasa tim hore, ikut tertawa juga. Dalam hati menggerutu, yo wes opo jaremu lah (ya sudah, apa katamu lah).
"Oh iya. Kenalin ini Akih," Bimo menunduk, melihat ke arah lelaki yang memeluknya erat di sisi, lalu memperkenalkan dia pada El.
"Errr ... aku nggak mau tau urusan ranjang orang, mas. Sorry," tanpa menunggu lama, El langsung menjawab. Dia tahu kalau pasangan yang dibawa oleh Bimo selalu berbeda tiap hari, kata lelaki berkulit bersih warna kuning langsat itu, dia tak suka berkomitmen. Maksudnya, tak mau pacaran serius. Jadi tak heran kalau gandengannya selalu ganti.
"Hahaha! Kamu dan bibirmu itu benar-benar menggemaskan, El!" Bimo tergelak. Sinar matanya kentara ingin menggodai lelaki berambut abu di sana.
"Hm, makasih pujiannya. Tapi aku nggak bahagia atas pujian itu," jujur, si pemilik kelereng abu berkata. Wajahnya datar saat hal ini terlempar. Tunjukkan betapa ia memang tak berminat pada apa pun itu, kata-kata membual yang Bimo lempar.
Bimo tertawa lagi. El hanya menaikkan alis sebagai respon, ia lalu kembali duduk. Sedang Bimo, menggiring partnernya untuk masuk dalam ruangan itu. Mereka tampak berbisik dalam langkah-langkahnya. El tak peduli, ia sibuk membaca manhwa omoh yang ponselnya tampilkan.
Dia sedang ingin menulis tentang Rei, tokoh utama Amare1231, bersetubuh dengan fans beratnya. Bukan karena cinta, pergumulan itu semata hanya karena desir dan napsu. Karena El tahu Rei di sini tengah menjalani pengobatan pasca diperkaos kakaknya sendiri, El menempatkan si fans sebagai uke, shou, bot. Nah, sekarang dia sedang galau mau gaya apa ewean dua orang in—
BRAK!
El tersentak. Ia yang terkejut setengah mati, reflek menoleh ke arah sumber suara. Kelereng hitam pudarnya mendapati Akih keluar dari kamar, sambil mengeratkan jaket panjang—sepertinya milik Bimo—yang dia kenakan. Muka lelaki itu memerah.
Dan ia bergerak ke arah El.
Huh?!
"Ada yang bisa saya bantu, ma—EEEEEHHHH?!"
El mau bertanya barangkali pemuda di sana mau memesan sesuatu, tapi hal yang terjadi bahkan sebelum kalimatnya selesai, membuat akalnya meledak.
Lelaki berkulit tan yang perawakannya lebih kecil darinya—apalagi dari Bimo—itu tiba-tiba membuka jaket yang dari tadi ia dekap.
Lalu menunjukkan tubuhnya yang telanjang bulat.
Ah, tidak. Ada tali pengikat terbuat dari kulit yang terhubung dengan gelang besi melilit tubuhnya.
Lalu ada ... tali yang memeluk di batang kecil.
What the hell?!
[]