Ayam-ayam jago berkokok penuh semangat menyongsong datangnya pagi. Mereka bergeyal-geyol berebut tempat tertinggi sebelum serukan petanda fajar telah menanti.
Seekor jago cemani walik, berlari, balapan dengan kawan sejawatnya. Ia melenggak-lenggok untuk menunjukkan kebolehannya di depan betina yang sedang jalan malas-malasan untuk mengawali pagi. Matanya memilih tempat ajang kebolehan. Ia berkeok ketika menemukan lokasi yang pas.
Tegas, cemani walik itu pun merentangkan sayap legamnya yang lebar lalu ngepakkan mereka dan lompat ke atas lincak bambu. Dia membusungkan dada di sana. Kepala ia angkat, sesekali melirik betina yang mau ia impresi.
Ketika sudah mendapatkan perhatian dia pun menghirup napas mengawali runtutan cara berkokok yang agung. , membangunkan pemilik rumah yang lincaknya ia tenggeri. Keras ia memulai nada, 'Kukuruy—'
"EL RESKI! BANGOOOOOOON! CARI KERJAAAAAA!!"
'—kooooooook!!' Tanpa bisa menyelesaikan kokokan kebanggaannya, ayam hitam itu terbang, kabur tunggang langgang saking terkejutnya. Gelegar suara wanita paruh baya dalam rumah membuatnya sport jantung. Bahkan karena terlalu kaget, ia sampai crut! sedikit nelek di sandaran lincak.
Aw. Pemandangan yang memalukan. Betina di sekitar sana ber-'keeek' menertawai cemani sok itu.
Oh my. Jangankan cemani. El saja langsung bagun dan duduk gara-gara gaung seruan emak. Gendangnya berdengung.
Dia kini duduk, matanya terbuka separuh—masih setengah sadar.
Sedetik, dua detik, ia loading.
Lalu kepala mendongak perlahan, menatap genteng kaca buluk di atas sana. Begitu mata dapati langit masih gelap, lelaki berema abu itu pun ... kembali nggeblak.
"EL RESKIIIIII!"
Tapi nyaaanh. Ini suara emak ngalah-ngalahin toa masjid.
"Tiga puluh menit lagi buuuuk!" El menjawab, dia setengah berteriak dengan suara yang serak. Badannya tentu masih rebah di atas kasur, mata saja merem.
"EL BANGOOON! AYAM UDAH BANGUN IKU LHO! LIATEN TO (LIHATLAH), AYAM LAGI MATOKI REZEKIMU!"
Lelaki berema abu itu mengerang di atas kasur. Ia ambil bantal terdekat, ia kerukupkan di atas kepala. Berharap dengan begini, suara emak bisa ter-filter 70%. Menurut penelitian, mood di pagi hari bisa mempengaruhi kinerja hari itu karena umumnya suasana hati tersebut tidak berubah. Sedang El tahu dia baru tidur tadi pukul dua pagi. Dia masih ngantuk sekarang, baru tidur dua jam. Kalau dia dipaksa bangun dengan cecaran kerja kerja kerja apalagi dibandingin sama ayam ... meh. Seharian dia bisa bad mood.
Berbeda dengan El, tentu Siti memiliki pemikiran berbeda. Orang desa biasanya menganut prinsip kalau bangun siang, rezeki bisa dipatok ayam. Prinsip yang bagus memang, El sendiri tahu maksud dari pepatah itu agar generasi muda tidak bermalas-malasan, gelimbang-gelimbung di rumah males gerak dan berujung tidak memperjuangkan nasibnya sendiri. Nah, tapi masalahnya emak El ini menganut pepatah tersebut secara harfiah.
Jadi, kalau tidak segera bangun sepagi ayam, ya rezekinya akan dimakan ayam.
"EEELLL! PITIK E WAKEH LHO NANG PEKARANGAN! REZEKIMU ENTEK ENGKO! (AYAMNYA BANYAK INI LHO DI HALAMAN! REZEKIMU NANTI HABIS)!"
El Reski Firnanda hanya bisa menggeram kencang.
Tapi bukannya bangun, dia ambil earphone dan memakainya. Sengaja, volume lagu diponsel ia keraskan sampai suara luar hilang. Lalu ia kembali tidur.
Dengan begini tidurnya tenang ...
Ah, nikmatnya~
Namun 10 menit kemudian ...
BYUUUUR! Air menggerujuk dari atas, membasahi bantal sampai perut El. Seketika pemuda itu jenggirat, bangun dengan mata seratus watt. Kuyup sudah dia dari atas ke bawah. Napasnya cepat seperti dia baru dikejutkan bom atom jatuh. Mata membelalak.
Begitu sadar apa yang terjadi ... ia melotot ke arah Ibunda. "Buk! Bisa sih bangunin pake cara normal?!" protes meluncur setelah ia mengusap matanya. Muka El penuh emosi, dada naik turun cepat, urat di pelipis menyembul. Wajahnya jelas tunjukkan betapa ia tak terima diperlakukan begini.
Namun Ibunda cuma memutar mata. Ia bahkan melempar ember yang susah-susah ia tenteng-tenteng dari kamar mandi ke kepala El, memperangkap kepala itu di dalamnya. Enteng ia kemudian berkata, "bangun. Beresin semua. Jemur kasurnya, pel kamar."
El langsung melepaskan topi ember di kepalanya ke sembarang arah dan berseru, "kok aku?! Yang bikin onar kan ibuk!" mencecar sang Ibunda. Ia pelototi punggung ibunya yang menjauh. Ibu tampak tak peduli, beliau seperti tak masalah dengan apa yang terjadi padanya dan hanya mau merepotkan dia saja. Pemikiran seperti itu, membuat hati El kian mendidih. Matanya memanas, genggaman tangan menguat. Bibir tipis itu kembali berteriak, "Buk! Ibuk bisa nggak sih, waras sehariii aja?! Cek seneng e pol garai anak e stres! (Kok demen sekali bikin anaknya gila!)"
BRAAAK! El tersentak mendengar suara itu. Tubuhnya sedikit berjengkit ke belakang atas suara menggelegar sesuatu dipukul. Kelereng El membola melihat apa yang terjadi. Lemarinya peyok dan tinju emak ada di sana. Seketika bulu roma El berdiri semua. Dia yakin mata ibunya kini sedang menatapnya tajam. Sinis sekali cara pandang itu, ngeri. Kengeriannya bahkan mampu memaku El di tempat, membuatnya tak bisa bergerak.
Napas memburu si pemuda kini tercekat.
"Jadi anak kok kakean protes. Mending ibuk masih mau ngasih kamu rumah buat tidur. Udah malu-maluin ibuk gara-gara nggak kerja, nggak sadar pula kalau jadi beban keluarga." Tajam, ucapan demi ucapan menyakitkan itu terlempar. El hanya bisa terdiam, bibirnya tanpa sadar terbuka, melongo. Dia terkejut bukan main mendengar hal ini. "Dalih setras setres terus nek dikongkon nyambut gawe. Mlebu RSJ ae ye, ben waras?! Nek iyo tak terno. Itung-itung ngurangi isine ibuk! (berdalih stras setres terus kalau disuruh kerja. Masuk RSJ aja gimana, biar sehat?! Kalau iya ibuk anter. Hitung-hitung mengurangi malunya ibuk!)"
Bibir El tertutup. Dia memandang nanar ibunya yang masih melihat ke arahnya.
Tak bisa dipungkiri ia mendapati kilat kesal yang mendalam di mata Ibunya. Napas sosok yang melahirkannya itu pun naik turun, dia pun emosi.
"Sawangan e kok awakmu seneng ibuk ngemis nang bapakmu ben sasi timbangan nggolek gawe terus ngerumati ibuk. Cen ngono ye? (Kelihatannya kok kamu senang ibuk mengemis ke bapak setiap bulan daripada kamu cari kerja terus ngerawat ibuk. Emang gitu kah?)"
El terhenyak. Ia buru-buru membuka mulut di sini, "nggak gitu, buk!"
"Terus? Terus apa?!" Ibunya berbalik, kini menghadap ke arah El yang sudah nampak serba salah sambil bersendekap. Kepala terangkat dengan ekspresi menantang yang kental. "Awakmu iku ancenane persis bapakmu (kamu memang persis bapakmu). Nggak tahu cara berterima kasih!" imbuh wanita paruh baya di sana, suaranya berdesis. Namun samar, El mendengar gelombang pada cengkok nada. Seperti beliau menahan pedih di dadanya.
Di sini, El tak bisa membantah. Ia menunduk.
Elysha tahu situasi keluarga El tidaklah baik-baik saja. Ibunya adalah istri kelima sang Ayah. Mereka menikah tanpa memandang latar belakang keluarga. Ayahnya tak mengapa meski Ibunya hanya buruh cuci dan pembantu panggilan. Namun setelah menikahi ibunya, kakek nenek El membawa pulang wanita ayu pedangdut di kota besar. Akhirnya, dengan bujukan dan rayuan berbisa, beliau meninggalkan Ibunda lalu menikah lagi.
Ayah El termasuk golongan orang kaya. Sekarang saja dikenal di desa ini sebagai 'Pak Widhi si Tuan tanah'. Rumahnya luar biasa luas, mobil pun sepeda motor berderet. Anak-anaknya hidup makmur, bahkan ada yang lepas SMA menikah pun diizinkan. Ketika hajatan, mewahnya luar biasa.
Namun kendati bergelimang harta, seumur hidup El, ia tak pernah sekali pun melihat Ayahnya mengunjungi gubuk mereka. Dan untuk hidup, Ibunda harus datang ke 'rumah utama' untuk meminta uang. Setiap bulan, setiap tahun, dari El kecil sampai sekarang. Saudara-saudara tiri El bahkan mengatai ia dan ibunya adalah pengemis.
El tahu ... sangat tahu jika dia dibutuhkan ibunya untuk melepaskan diri dari belenggu sang Ayah.
Ibu hanya menginginkan mereka memiliki sedikit harga diri di mata orang-orang itu. Karenanya meski jumpalitan dan kerja keras bagai kuda, Ibunda mengizinkan El untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Wanita itu banting tulang mengirimkan secuil uang untuk El hidup di kota besar, sebagai tambahan beasiswa yang ia dapatkan.
El tahu ... pengorbanan seperti itu yang membuat ekspektasi Ibunya tinggi.
Tapi dia baru lulus akhir tahun kemarin, astaga! Dan cari kerja kan tidak semudah itu ...
Kerja yang paling mudah sekali pun, nyuri, ngepet, rampok atau apa pun, butuh usaha ekstra. Butuh waktu pula untuk meniti semua.
Sedang Ibunya menginginkan dia segera kerja, dapat banyak cuan; sehingga ada sesuatu yang 'kelihatan', yang dapat diunggulkan.
Jujur itu beban. Tapi ...
Menarik napas dalam-dalam, El berusaha meredam egonya sendiri. Dia tahu dia tak bisa berkomentar banyak. Karenanya ia cuma bisa menjawab lirih, "ya buk. Habis ini aku berangkat cari kerja." Sebuah senyuman kecil berusaha ia rekahkan; berharap agar ibundanya tak lagi marah.
Sayang, muka itu masih keras sekeras batu. Tanpa bicara, ibunda meninggalkan kamar El dan pergi entah kemana. El terdiam menyaksikan bagaimana ibunya menjauh. Punggung itu tampak rapuh, bahunya merosot.
Sepertinya tak hanya dia ... Ibunya pun sedang dilanda keputus asaan.
Tiada yang menginginkan hidup dirudung kemiskinan.
Dan bayangan beratnya hari-hari yang harus dilalui ibunda selama El menuntut ilmu, terbayang dalam benak pemuda itu.
Bayangan yang makin memperdalam dan menggerogoti hati dan jiwa El. Sakit jika tahu Ibunya berjuang keras.
Karenanya, menghirup napas dalam-dalam, lelaki itu memutuskan untuk bangkit dan mulai membersihkan kamarnya.
Dia bertekad untuk mencari kerja dan bawa uang banyak kali ini.
[]