Ramon menatap Iptu Leo yang duduk dengan tenang di hadapannya. "Anak keparat itu, membunuh? Oscar ?"
"Ya, dia membunuh 3 orang sekaligus. Bahkan seorang korbannya sudah di mutilasi. Dan 2 orang korbannya yang lain, di gantung dalam kondisi tidak mengenakan sehelai benang pun. Dan, dalam kondisi kepala yang terpenggal."
Ramon menelan salivanya, sejenak ingatannya melayang pada peristiwa 18 tahun yang lalu.
"Mungkinkah kalau anak itu juga yang membunuh istriku dan selingkuhan nya 18 tahun yang lalu?"
"Hahahahaha, kau sudah gila ?! Anak berusia 7 tahun? Mencekik orang dewasa? Di tambah ada seorang dewasa yang lain di tempat itu. Yang ada, bocah itu yang terbunuh."
"Tapi, bisakah kasus itu di buka kembali?"
"Sinting! Mayat istrimu itu sudah tidak bisa di autopsi lagi, kasus nya sudah 18 tahun. Kau jangan macam- macam, Ramon! Mengurus kasus anakmu saja aku sudah pusing. Apalagi jika kau ingin kasusmu di buka kembali. Tanpa ada saksi, barang bukti atau mayat yang bisa di autopsi. Kau pikir kami ini cenayang yang bisa menerawang?!" Hardik Leo kesal.
Ramon termenung. Dalam hati, ia mengakui jika ia memang bajingan. Bahkan, sejak awal ia tidak pernah menafkahi istrinya dengan baik. Bahkan ia sering melakukan penyiksaan terhadap Casandra. Bahkan, dengan kejam, ia sering menuduh bahwa Oscar bukan darah dagingnya. Padahal jelas-jelas dulu dia lah yang mengambil kesucian Casandra dan membuatnya hamil.
"Apa yang kau pikirkan, hah?!" Bentak Leo.
Ramon menghela napas. "Seumur hidupku, aku mungkin tidak pernah berbuat hal yang benar. Huuumft...dulu, aku mendekati Casandra karena dia anak orang kaya. Aku berharap bisa menumpang hidup. Hubungan kami tidak di setujui. Akhirnya aku nekad, menghamili Casandra. Ya, kami memang di nikahkan, tapi karena sedikit saja harta ayahnya ku ambil, kami di usir. Tepatnya orang tua Casandra mengusirku, tapi ya, Casandra memilih ikut denganku. Sejak itu aku sering mabuk, ku suruh Casandra bekerja di kelab malam, bahkan kuizinkan dia menjual dirinya. Sampai, akhirnya hari itu aku mabuk parah. Setelah sebulan tidak pulang ke rumah, aku pulang dalam keadaan mabuk. Tapi, sungguh aku tidak membunuh Casandra dan pria itu."
"Moreno, pria itu bernama Moreno."
"Aku tidak tau sama sekali namanya, Inspektur. Malam itu, aku hanya ingat membuka pintu rumah, dan aku langsung terjatuh karena aku mabuk parah. Dan, tiba- tiba aku di bangunkan dengan kasar. Saat aku sadar, polisi sudah berkumpul di rumahku. Dan, aku melihat mayat istriku dan lelaki itu. Dan, aku juga melihat bocah itu menangis dalam pelukan seorang polisi wanita."
"Menurut laporan, tetanggamu yang melaporkan kepada polisi karena anakmu menggedor-gedor pintu rumah mereka meminta bantuan. Dan, ketika mereka melihat ada mayat, mereka langsung menelepon polisi."
Ramon terdiam,ia mengacak rambutnya. "Pertemukan aku dengannya, Inspektur. Bisakah aku menemuinya? Sudah 18 tahun. Ah, tapi tunggu. Sejak tadi, anda belum memberitahu saya, siapa korban yang telah bocah itu habisi nyawanya?"
"Mungkin kau juga mengenalnya dengan baik. Dia adalah Frans Wijaya, istrinya Marini dan putri mereka, Nadia Wijaya."
Ramon tersentak kaget. "Frans Wijaya? Dia....dia adalah ipar saya, inspektur."
"Untuk itulah aku menemuimu."
"Saya sama sekali tidak terlibat, selama 18 tahun saya terkurung dalam jeruji besi ini. Tanpa pernah ada yang menjenguk, apa yang bisa saya lakukan? Hanya tinggal menunggu ajal yang menjemput. Ya, setidaknya saya disini mendapatkan makan 3 kali sehari tanpa harus banting tulang meskipun terkadang makanan nya tidak ada rasa sama sekali."
"Lalu, untuk apa kau minta aku mempertemukan mu dengan anakmu?!"
"Aku hanya ingin melihat bocah tengik itu saja. Huuumft, sudahlah Inspektur jika tidak bisa saya tidak memaksa. Jika anda sudah selesai, bisakah saya kembali ke sel saya?"
Leo menatap Ramon tajam, bajingan tengik ini baru saja mengusirnya. Hahah, hebat sekali, memang benar-benar bajingan, batin Leo. Tanpa berkata apapun lagi, Leo meninggalkan ruangan itu.
*
*
Leo mengetuk pintu rumah di hadapannya perlahan. Tak lama kemudian, seorang wanita berusia 50 an membuka pintu.
"Ya, siapa ya?" Sapanya ramah.
"Selamat sore bu, perkenalkan saya Iptu Leo. Saya ingin bertemu dengan bapak, ada?"
"Oooh, ya ya silahkan duduk nak, bapak ada di dalam. Sebentar saya panggilkan ya."
Tak lama kemudian, seorang lelaki keluar dari dalam, wajahnya masih terlihat tampan dan gagah meski sebagian rambutnya mulai memutih.
"Kompol Bayu Santoso? Hormat komandan, saya Iptu Leo."
"Hahahaha, tidak usah formil seperti itu, nak Leo. Ayo, silahkan duduk. Saya ini kan sudah pensiun. Jangan panggil komandan, cukup bapak saja. Nak, Leo pasti seusia dengan putra saya."
"Terimakasih banyak, pak. Maaf , saya mengganggu waktu istirahat bapak."
"Ah, tidak juga, kebetulan saya juga sedang bersantai bersama istri dan cucu- cucu saya di dalam. Bagaimana, nak Leo? Apa yang bisa saya bantu?"
Leo menghela napas, lalu mengeluarkan berkas berisi laporan kasus Ramon dan Oscar. Bayu mengerutkan dahinya, lalu meraih berkas itu. "Hmm, Ramon Tanoto. 18 tahun lalu, saya yang sudah menangkapnya. Dia di tangkap tanpa perlawanan sama sekali. Bahkan, ketika kami tiba dia dalam posisi tidak sadarkan diri karena mabuk."
"Apakah saat itu tidak ada saksi,pak?"
Bayu menggeleng kan kepalanya. "Tetangga tidak mendengar suara apapun. Suara pertengkaran atau apapun. Waktu itu, oscar kecil menggedor pintu rumah tetangganya. Dan, tetangga nya lah yang menelepon polisi."
"Tidak ada kemungkinan bahwa orang lain yang melakukan pembunuhan itu?"
"Semua bukti, mengarah kepada Ramon. Sidik jari, dan lainnya. Bahkan,senjata yang di pergunakan masih menancap di tubuh korban. Dan, satu- satunya sidik jari hanya sidik jari Ramon. Hanya, memang ada satu yang mengganjal. Saat itu, menurut Oscar, ayahnya pulang dalam kondisi mabuk, lalu menemukan ibunya sedang tidur dengan lelaki lain. Katanya mereka sempat terlibat pertengkaran. Tapi, menurut tetangga tidak terdengar sama sekali adanya pertengkaran. Salah seorang warga yang sedang ronda hanya sempat melihat Ramon pulang dalam kondisi mabuk parah dan langsung masuk rumah."
"Saya pikir bukan Ramon pelakunya, pak."
"Ya, saya sempat berpikir begitu juga, nak Leo. Bahkan, saya merasa Oscar menyembunyikan sesuatu. Tapi, pada waktu itu, dia sempat di rawat oleh seorang psikiater untuk menghilangkan trauma. Dan, dia kemudian di rawat di panti asuhan sebelum di adopsi."
"Kalau begitu, coba bapak liat berkas yang kedua ini."
Bayu meraih berkas yang di berikan Leo. Dan, seketika ia tersentak kaget. "Astaga, jadi dia baru saja di tangkap atas kasus pembunuhan?"
"Ya, dan bapak liat sendiri foto- fotonya. Untuk membuka kembali kasus Ramon jelas tidak mungkin, pak. Menurut bapak tindakan apa yang harus saya lakukan?"
Bayu menghela napas panjang sejenak. Lalu ia menatap Leo, "Pertemukan keduanya. Ramon dan Oscar."
Bersambung