Elio berharap lantai keras yang bersih dan memantulkan cahaya lampu terang itu bisa terbuka lebar dan memakannya sekarang juga.
Dia sungguh tidak habis pikir dengan perkataan Kala barusan. Memangnya siapa dia?
Kenapa pula dia bertingkah seperti anak kecil sekarang?
'Ah, dia pasti sedang membalas dendam. Ini cuma akal-akalannya saja!'
Jika Elio menuruni kekuatan supranatural dari kakek buyutnya yang mungkin pernah berprofesi dan berjaya sebagai dukun sakti – itu hanya asumsinya saja, namun bukan berarti hal itu tidak mungkin, bukan? – tentu dia sudah membuat Kala mengalami 'spontaneous human combustion' saat itu juga.
"Maaf, Kak, sekarang robot dinosaurusnya sedang kosong. Hanya ada mainan Sonic atau buku cerita anak. Itu pun hanya untuk…" si tukang kasir mengernyit mengamati Kala.
Pria aneh dengan tubuh tinggi dan mungkin atletis itu berdiri tegak di samping Elio. Wajah sumringahnya sedikit redup mendengar bahwa mainan incarannya tidak tersedia. Sepertinya, ini adalah pemandangan yang jarang terjadi menurut lelaki di balik meja kasir itu.
Berdehem kecil, si pegawai restoran menambahkan. "Mainan dan buku ceritanya hanya untuk pemesanan menu anak kecil saja, Kak."
Rasa heran yang ditahan si tukang kasir tidak luput dari pandangan Elio. Berbeda jauh, Elio tidak buang-buang waktu untuk menyembunyikannya. Dia sudah terlanjur malu. "Kamu kenapa mau pesan menu anak kecil, sih?"
Kini, Kala malah balik menatapnya dengan heran. "Tidak boleh? Tadi Pak Ilyas bilang–"
"Aish, iya, iya, pesan saja sana." Karena Elio memang tidak punya wewenang untuk melarangnya. Benar kata Kala, ayah Elio – Ilyas – memang membiarkan mereka memesan sesukanya.
Kala kembali tersenyum lebar. "Yang Sonic ya, Kak. Yang warna biru," katanya pada penjaga kasir yang pasrah mengiyakan saja. Lagi pula, upah kerjanya bukan berdasar apa yang pelanggan restoran pesan.
Begitu menerima pesanan dan ayah Elio membayar makanan mereka berdua, Kala sudah melesat menuju area dengan meja dan sofa. Dia duduk paling pojok, memainkan Sonic kecil di atas meja layaknya anak lima tahunan asik dengan dunia imajinasinya sendiri.
"Tuh, lihat, Pak," Elio menunjuk dengan menggerakkan dagunya. "Bapak salah pungut orang. Jelas-jelas aneh begitu, kenapa diajak pulang segala?"
"Hush, jaga itu mulut," Ilyas malah menasehati anaknya, beralih menyudutkan. "Kamu itu bapak sekolahkan tinggi-tinggi, bukan biar jadi sombong dan bisa mengejek orang seenaknya."
"Iya, paham, maksudnya biar bisa dapat kerja bagus dan berduit setelah lulus, kan? Iya, kan?"
"Anak pintar. Sudah, makan sana. Jangan lama-lama, ibumu nanti bisa mengomel kalau kita pulang jam satu pagi."
Ilyas memilih duduk di samping Kala, menyisakan kursi di seberang meja untuk Elio. Buru-buru dia mengambil burger di nampan, juga menyeruput es kola yang sebenarnya terlalu dingin untuk cuaca malam ini.
Tak apa, yang penting anggota tubuhnya tidak lagi meronta karena kelaparan.
Kala segera mengambil mainan barunya setelah membuka kertas yang membungkus burgernya. Lagi-lagi membuat Elio heran dengan pria yang seharusnya sudah dewasa, namun masih sibuk dengan mainan anak kecil.
Satu lirikan pada ayahnya segera membungkam Elio.
Elio menghabiskan makan malamnya dalam waktu yang terhitung cepat. Karena saking laparnya, juga karena dia tidak mau lama-lama duduk berhadapan dengan pria aneh yang menyebalkan itu.
Lagipula, dengan perut yang sudah damai sejahtera, Elio tidak sabar untuk dipertemukan dengan bantal dan kasur empuknya.
Juga dengan ibunya. Tentu saja. Mana mungkin dia tidak rindu ibunya setelah hampir satu lebaran tidak pulang kampung?
Terlepas dari semua hal itu, kecepatan Elio tidak diimbangi oleh Kala. Dia terlampau fokus pada Sonic kecilnya, dan hanya sesekali menggigit burgernya.
"Makannya cepat dikit, dong. Aku sudah mengantuk," seru Elio pada pria pungutan ayahnya.
"Eli," ayahnya memperingati lagi.
Di sini, kasta Elio yang semula adalah anak kesayangan karena terlahir belakangan telah berubah drastis menjadi anak nakal yang tidak tahu diri.
Tetapi Kala menurut.
Dia mengambil gigitan besar, mengunyah dengan pipi yang menggembung dan burger di tangannya telah dilahap sempurna dalam waktu sepuluh detik setelah protes Elio diutarakan. Akibatnya, saus burger kini menghias di dekat mulutnya.
"Itu, belepotan," Elio berceletuk. Bukan karena dia memang peduli, tetapi dia hanya risih mendapati orang yang makan dengan berantakan.
Kala segera mengusap mulutnya dengan punggung tangan.
Elio mengetuk sisi mulutnya. "Di sini."
Kala mengikuti arahan Elio, mengusap lagi dengan punggung tangan, namun saus itu masih menempel.
"Bukan di situ," Elio agak jengkel, dia semakin mempertegas gerakannya untuk menunjukkan noda saus di pipi Kala yang sebelah kiri. "Tapi di sini. Nih, sini."
Sekali lagi, Kala mengusap pipi kanannya. Bukan hanya aneh, sepertinya pria itu juga tidak paham dengan arah dan posisi sesuatu.
Hilang sudah kesabarannya. Elio mengambil tisu dan asal mengusap saos di pipi kiri Kala.
"Ahem!"
Tiba-tiba sang ayah memperhatikan. Nadanya sungguh meledek. Sangat bertolak belakang dengan apa yang baru saja dinasehatkan pada Elio beberapa menit lalu untuk tidak mengejek orang lain.
Merengut untuk yang kesekian kalinya, Elio meletakkan tisu itu pada tangan Kala dengan kasar. "Bersihkan sendiri," ketusnya sambil bangkit dari kursi.
Untung restoran cepat saji itu tidak begitu ramai, jadi Elio tidak perlu mencari lubang untuk mengubur kepalanya yang menopang wajah yang kembali memerah.
'Ah, Kala sialan,' umpatnya dalam hati sambil mencuci tangan dan membasuh wajah. 'Rendra juga, sialan kalian semua!'
Perkara kenapa Elio mengumpat Rendra – sang mantan pacar –adalah karena biasanya pemuda itu saat makan. Biasanya, Rendra suka belepotan kalau makan. Salah satu tugas Elio sebagai kekasihnya, tentu saja, adalah untuk mengusap noda sisa makanan itu dari pipinya secara romantis.
Perlu ditekankan pada kata 'romantis' karena memang itulah tujuan aslinya. Dia ingin terlihat romantis di hadapan Rendra. Dulu, ketika masih belum putus hubungan.
Perlu digarisbawahi pula, apa yang dilakukan Elio pada Kala barusan terjadi secara refleks. Itu hanya hasil dari ingatan otot yang sudah terbiasa bergerak dengan sendirinya.
Seseorang menghampirinya di depan wastafel, membuyarkan lamunan Elio.
"Kamu boleh meminjamnya," kata Kala sambil menyerahkan mainan Sonic yang baru saja menjadi barang kesayangannya.
Elio melongo, namun dia juga tidak punya pilihan selain memegang mainan kecil yang disodorkan padanya. "Kenapa?"
"Kamu baik," ucap pria aneh yang kekanak-kanakkan itu dengan senyum lebar, membuat ketampanannya naik beberapa derajat.
Salah tingkah, Elio memalingkan muka. "Idih, siapa juga yang mau pinjam?"
"Aku mau cuci tangan," Kala mendekat untuk menyalakan keran dan meraih sabun.
Elio menjauh sambil menggerutu. Meski begitu, dia juga tidak bisa seenak hati membuang mainan kecil berwarna biru dengan bentuk landak jadi-jadian yang telah dipinjamkan Kala di tempat sampah.
Tanpa sadar, dia terus menggenggam mainan itu selama perjalanan pulang mereka.