Chereads / Multiple Lovers in One Body / Chapter 11 - Wibu Berkelas

Chapter 11 - Wibu Berkelas

Datang ke sebuah resepsi pernikahan adalah sesuatu yang jarang dilakukan Elio.

Datang ke resepsi pernikahan dengan pacar jadi-jadian tidak pernah dilakukan Elio.

Datang ke resepsi pernikahan dengan pacar jadi-jadian yang tidak tahu malu menyumbang lagu, oh, Elio ingin sekali membunuhnya.

Lupakan wajah tampannya. Lupakan tinggi idealnya. Lupakan juga penampilan yang – kalau dilihat-lihat lagi – mirip dengan 'oppa' di drama Korea. Kala benar-benar keterlaluan.

Bernyanyi di resepsi pernikahan mantan sahabat Elio, mungkin dia bisa memaafkan itu.

Mungkin.

Dengan huruf kapital dan layak ditulis dengan italic untuk mempertegasnya.

Dia mungkin bisa memaafkan Kala. Entah setelah berapa hari. Intinya, hal itu masih masuk dalam kategori 'bisa dimaafkan'.

Tetapi…

'Kenapa dia harus menyanyi lagu anime, sih?!' batin Elio dengan geram.

Tanpa menyuarakannya pun, sepertinya Kala sudah paham. Namun, bukannya tobat, pria aneh itu malah semakin menjadi-jadi.

"Oshiete, oshiete yo, sono shikumi wo." Kala memulai dengan suara yang teryata terbilang merdu. "Boku no naka ni, dare ga iru no?"

Meski begitu, selain nihilnya urat malu Kala, gadis berkacamata itu juga dikejutkan dengan keterampilan grup dangdut itu. Nyatanya, mereka dengan lihai mengiringi Kala yang kini semakin menghayati lagunya. Sungguh menakjubkan.

Yang tak kalah membuatnya heran adalah sorak sorai penonton. Tunggu dulu.

Elio melihat sekeliling. Benar saja, orang-orang yang datang ke resepsi ini kebanyakan adalah muda mudi seumuran dengannya. Mungkin teman sekolah dan kerjanya Rani. Beberapa wajah itu tidak asing, menandakan kalau mereka adalah pemuda yang tinggal di daerah sini.

Satu hal yang sama, mereka semua memperhatikan Kala yang kini menganggut sambil menggerakkan jarinya seolah sedang bermain air guitar. Sesekali dia mengangkat tangannya, yang disambut meriah oleh penonton dadakan di kondangan itu.

Para perempuan segera mengarahkan ponsel mereka ke panggung, merekam konser langsung Kala. Atau mungkin juga langsung menyiarkannya di akun sosial media mereka.

Sementara itu, yang laki-laki tentu saja berangsur maju. Mereka mendekati panggung mini di samping dekor, bersuka hati berjingkrakan, seolah penonton bayaran di ajang kontes dangdut suatu TV swasta.

Rani, si pemilik hajat, juga nampak heran. Berbeda dengan suaminya yang malah terhibur.

Tidak mau menanggung malu lebih dari ini – apalagi setelah Kala mengedip penuh makna padanya – Elio bangkit dari kursi dan segera pamit.

Gadis berkacamata itu tunggang langgang keluar dari tenda. Dia bahkan tidak sempat bersalaman dengan mantan sahabatnya itu. Hanya rasa sopan santun yang telah ditanamkan ayah ibunya saja yang membuat Elio berhenti sejenak untuk menyalami Bu Jum dan beberapa wanita yang ikut berlagak sebagai penerima tamu.

Lima langkah dari gapura buatan itu, Elio kembali dengan wajah merah padam. Ditujunya kotak tempat orang-orang memasukkan amplop sumbangan. Dia lupa.

Satu detik itu juga dia manfaatkan untuk melirik ke arah panggung mini dekat dekor. Kala masih asyik menyanyikan lagu emo berbahasa Jepang itu. Para fans dadakannya juga masih menikmati konser gratis yang seharusnya bertema dangdut.

Kini wajah Elio sudah sewarna dengan kepiting rebus. Kalau tadi dia membawa kantong plastik hitam, pastinya sudah digunakannya untuk membungkus kepala. Entah mau diletakkan dimana wajahnya setelah ini.

Elio berlari menuju motor yang diparkirkan di ujung gang satunya.

Di sana, dia menggeram perlahan.

Ini masih kawasan publik. Dia harus menyelamatkan setidaknya satu derajat saja harga dirinya agar tidak ikut jatuh tertiup angin. Kalau bisa, dia ingin kembali saja ke Jakarta dan melupakan semua yang terjadi sejak pertemuan pertamanya dengan Kala di kereta tadi malam.

Ah, baru tadi malam mereka bertemu. Rasanya sudah bertahun-tahun berlalu. Sesuatu yang menyebalkan memang terasa lama.

Cukup lama Elio menunggu Kala, inginnya cepat-cepat pulang. Tak kuat menahan malu, juga panas akibat memakai helm sebagai upaya untuk menyembunyikan muka. Kira-kira lima belas menit berlalu sejak lagu berbahasa Jepang itu berakhir dan diganti dengan dangdut koplo.

"Sira, aku cari kamu kemana-mana."

"Lama banget, kamu habis ngapain?" Serunya pada Kala yang menghampiri.

"Tadi disuruh makan dulu," dan dengan lantangnya dia bersendawa puas.

"Terus itu apa?"

"Souvenir," pamernya menunjukkan centong kayu yang dibungkus plastik bening dengan pita merah. "Kamu nggak dapet?"

Elio mendecih. Bukan hanya tidak mendapat souvenir – yang sebenarnya juga tidak berguna bagi Elio, tetapi pasti ditanyakan ibunya – dia juga tidak sempat makan. Itu hak yang seharusnya didapat setiap tamu undangan. Dia yang menyumbang, tetapi malah Kala yang mendapat enaknya.

Yah, meski dia menyumbang dengan uang yang diberikan ayahnya juga, mengingat hartanya hanya berupa selembar kertas yang diawali angka lima.

Berbicara soal uang, gadis berkacamata itu juga membawa beberapa lembar ekstra di dalam tas kecilnya.

"Cepat naik."

Motor yang dikendarai Elio dengan cepat melesat di jalanan kota Semarang. Ini sudah cukup sore, namun bukannya meredup, mentari seakan mengejek dan menambah intensitas cahayanya.

"Kita ngapain ke pasar?" Kala bertanya setelah Elio memarkir motornya di depan jajaran toko pinggir jalan.

"Kamu butuh baju, kan?"

Jadilah Elio membawanya memasuki salah satu toko yang bangunannya tidak nampak baru, namun isinya cukup lengkap. Gadis berkacamata itu mendorong tubuh tinggi Kala ke arah di mana pakaian pria dijejerkan.

"Ambil dua atau tiga saja, jangan yang mahal-mahal," pesannya sebelum menuju area pakaian wanita.

Kalau saja uang di tas selempangnya ini juga dialokasikan sebagai uang jajan Elio, maka dia bisa mengambil kaos lengan panjang warna merah dengan corak kuning itu. Di bayangannya, ini adalah seragam Quidditch Gryffindor dunia Harry Potter.

"Kamu yang bayar, kan?" Suara Kala tiba-tiba terdengar di belakangnya.

"Iya, memangnya kamu punya uang?" Sebenarnya pertanyaan itu juga berlaku untuk Elio. Nyatanya dia hanya berlagak sebagai orang berduit saja.

Mereka menuju meja kasir. Di situlah keanehan mulai terdeteksi oleh si gadis berkacamata.

"Sebentar, Mbak," ucapnya dengan wajah meminta maaf, menghentikan gerakan kasir yang hendak memindai harga. Elio mengambil kembali semua kaos dan celana, sekaligus menarik Kala menuju rak di mana pakaian pria terpampang. "Kamu lihat ini?"

Ekspresi Kala tidak berubah ketika mendapati 'Rp.347.000,00' pada tag harga yang disodorkan Elio ke wajahnya. "Ada yang salah?"

"Kau bercanda?" Elio berkacak pinggang.

"Sebegitu tidak sukanya kau pada Naruto?" Kala menuduh, berpikir bahwa Elio sungguh membenci gambar bocah pirang dengan jaket oranye dan hitam.

"Terlalu mahal. Dasar wibu."

"Ini asli, kau tahu? Impor. Harganya bisa dua, tiga kali lipat kalau beli langsung di Jepang. Kau boleh mengejekku wibu, tapi setidaknya aku ini wibu berkelas."

Gurai Kala yang menyatakan bahwa dia memang fanatik anime itu tidak lucu dan hanya semakin menambah bara kesal pada diri si gadis berkacamata itu. "Kau pikir kau punya uang berapa?"

"Lagi tidak bawa sih, tapi sebenarnya…" pria aneh yang memakai kemeja dan celana pinjaman itu tidak melanjutkan. Elio juga sudah tidak ingin dengar.

"Kalau kau punya uang, silakan saja beli kaos yang harganya jutaan, aku tidak peduli."

Maka, dengan enggan melangkah gontai, Kala mengembalikan kaos-kaos merchandise anime yang harganya diluar budget. Dia kemudian mengambil kaos polos, atau dengan satu dua garis di sisi depannya, sesuai dengan arahan Elio yang akan membayarkan kaosnya.

Tidak lama kemudian, mereka sudah kembali menaiki motor untuk pulang. Elio mengabaikan pria tinggi yang merengek kehausan di jok belakangnya.

"Itu, itu, ada yang jual es," tunjuknya pada stand es jeruk peras di pinggir jalan dekat lampu merah.

"Buat es teh di rumah saja." Sebenarnya Elio juga kehausan, tetapi uang lima belas ribu tu bisa ia gunakan untuk mengisi bensin.

"Cuma lima ribuan katanya," Kala kembali mengutarakan argumen. Sepertinya dia sudah terkena hipnotis penjual es jeruk yang sedari tadi melambai-lambai memasarkan dagangannya.

Belum sempat Elio menjawab, suara knalpot cempreng yang keras mengganggu telinganya. Asap polusi juga seketika itu menyelubungi keduanya. Dalam sekejap, motor Elio sudah dikepung oleh beberapa motor yang dimodifikasi, dinaiki oleh remaja lelaki dengan dandan urakan.

Elio sedikit panik. Mereka terlihat seperti 'wanna be' preman yang keluyuran di jalan. Meresahkan.

"Cit, cuit," salah satu remaja urakan itu memanggil, "Cantik, main bareng yuk."