Malam hari di kediaman keluarga Ilyas nampak spesial. Elio bersyukur, kata spesial yang digunakan kali ini benar-benar mempunyai konotasi yang positif.
Asih, wanita yang menjabat sebagai ibu di rumah itu, telah memasak berbagai macam lauk pauk yang dihidangkan di meja makan dekat dapur. Menu utamanya, tentu saja, bebek goreng favoritnya.
Inilah yang membuat Elio senang pulang ke rumah setelah berbulan-bulan merantau di ibukota. Makan malam ini semacam perayaan untuknya. Kalau kakaknya yang pulang ke rumah, maka menu utama makan malam mereka akan berganti menjadi sate kambing.
"Ah, bebek goreng Mamak memang paling top," puji gadis berkacamata yang sudah tidak sabar ingin melahap paha renyah yang masih panas itu. "Coba Mamak buka warung makan, mungkin kita sudah kaya raya sekarang."
"Ngawur kamu." Nyatanya Asih lebih memilih untuk menjadi ibu rumah tangga saja.
Dulu wanita paruh baya itu sempat bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta, namun kemudian berhenti setelah mengandung Agni – kakak Elio yang lebih tua enam tahun darinya. Setelah itu, Asih tidak lagi bekerja, namun menghabiskan hari-harinya sebagai tukang jahit yang menerima order kalau sedang mood saja.
Ilyas kemudian datang dengan Kala yang mengekor. Lelaki aneh itu entah kenapa terus menempel pada ayahnya. Sebenarnya tadi juga tidak mau melepaskan genggamannya pada ujung baju Elio, tapi mereka harus mandi, jadi tidak mungkin terus menempel padanya.
Elio masih tidak habis pikir akan perubahan sifat Kala dalam waktu beberapa jam saja. Inginnya bertanya apa yang terjadi, namun Kala yang sekarang agak sulit diajak berkomunikasi.
Mereka makan bersama. Karena lauknya bebek goreng, tentu saja tidak memakai sendok. Kecuali Kala. Dia satu-satunya yang meminta sendok untuk menyuap nasi. Selain itu, Elio harus merelakan satu paha goreng renyahnya untuk Kala, yang memakannya dengan hati-hati agar tidak menyenggol bibir yang sedikit robek itu.
"Eli habis ini mau ngapain?" Ini suara Asih.
Biasanya, kalimat yang diawali dengan pertanyaan seperti itu sedikit sulit untuk dijawab. Namun akhirnya biasanya sama, Elio pasti disuruh melakukan sesuatu untuk ibunya. Ada tiga hal yang harus dilakukan setelah mendengar pertanyaan ini.
Pertama, Elio harus mengamati situasi terkini. Rumah dalam keadaan bersih. Semua tertata rapi. Kedua orang tuanya juga tidak terlihat marah atau kesal.
Kedua, dia harus tahu apa tujuan ibunya bertanya. Apa mungkin ibunya akan menyuruh Elio untuk melakukan sesuatu? Pergi ke minimarket untuk membeli pasta gigi, misalnya. Tetapi tadi mereka sudah belanja bulanan, jadi tidak mungkin. Lalu apa?
Ketiga, dia harus menjawab dengan hati-hati.
"Ada sesuatu yang harus kulakukan." Jawaban Elio yang ambigu membuatnya bisa menambahkan detail yang nanti akan jadi pendukung.
"Tugas kampus?"
Tentu saja bukan. Dia sedang libur semester sekarang. Niatnya setelah ini Elio akan mencoba mencari ide untuk menulis fanfiksi. Tangannya sudah gatal, namun otaknya masih buntu. Lagipula, lebih baik memikirkan bagaimana dia akan melanjutkan ceritanya yang mangkrak ketimbang kepikiran terus soal Kala dan keanehan tingkahnya.
"Bukan, sih, tapi penting untuk portofolio buat cari kerja nanti." Sepenuhnya bohong. Kecuali Elio hendak pindah jurusan menjadi penulis novel.
"Oh…" Hanya sebatas itu. Asih kemudian membereskan piring-piring karena mereka sudah selesai makan.
Sungguh mencurigakan. Ini seperti sebuah cerita yang berakhir menggantung tanpa tahu apakah karakter utamanya berhasil mencapai mimpinya atau tidak.
Resah, Elio memilih untuk bangkit dan membantu ibunya berberes. Dia langsung mencuci piring kotor tanpa diperintah. Sebagai upaya untuk meredam kekesalan ibunya yang mungkin di pendam dalam hati karena gagal menyuruh Elio melakukan sesuatu. Entah apa itu.
Setelah peralatan makan bersih dan dapur kembali rapi, barulah Elio bertanya dengan hati-hati. "Tadi Mamak kenapa tanya begitu?"
"Endak, tadi ibu cuma ingin memintamu buat menemani Kala."
Oh.
"Cuma itu? Kirain ada apa." Untung hanya itu.
"Ibu tahu kamu juga tidak begitu suka dengannya, tapi anak itu sudah menyelamatkan kamu tadi, kan?" Itu benar. Tidak bisa disangkal. "Daripada menempel ke bapak terus kayak anak bebek, mending kamu temenin, ajak main apa, gitu."
Elio mengernyit, tidak tahu apa yang bisa dilakukannya bersama Kala. Padahal dia ingin sekali menulis sesuatu.
Alhasil, Elio meminta Kala ikut dengannya menuju ruang santai, dimana sebuah TV berlayar datar yang cukup besar sudah menunggu. "Kamu mau nonton apa?"
"Film dinosaurus," jawab Kala dengan antusias.
"Tidak ada," ucapnya setelah memindah beberapa channel TV yang mungkin menayangkan film barat bertema dinosaurus.
Robek di bibirnya sudah mendingan setelah susah payah diusapnya dengan betadine. Sedikit lebam di wajahnya juga sudah ditanggulangi dengan kompres air dingin. Ayahnya juga sudah menyarankan untuk minum jamu pegal linu – entah apa hubungannya – namun Kala menolak mentah-mentah setelah mendengar kata jamu.
Melihat penyelamat Elio yang kecewa karena gagal menonton film dinosaurus, dia jadi tidak tega. Akhirnya dia menyerahkan remot TV. "Coba kamu cari sendiri, pilih sesukamu."
Dan akhirnya mereka berdua menonton Boboi Boy. Elio menepuk jidat, lalu memutuskan untuk mengambil ponselnya dan membuka aplikasi Words.
Beberapa menit setelah Elio melamun berhadapan dengan layar putih yang kosong kata itu, ibunya datang dengan membawa camilan. Tepat ketika acara animasi anak pilihan Kala selesai.
"Oh, sudah selesai," Asih mengomentari. Elio paham nada ini, tandanya sang ibu secara tidak langsung mengucap, 'Cepat ganti channel-nya, Ibu mau menonton sinetron.'
Pantas saja tadi secara spesifik meminta Elio untuk mengajak main Kala, ternyata demi kelancaran sang ibu untuk menyaksikan sinetron wajibnya.
Tanpa ba-bi-bu lagi, Asih meraih remot TV yang diletakkan di meja dekat mereka, lalu seenak hati mengganti channel. Kala terlihat hendak protes, namun perhatiannya teralihkan pada sepasang lelaki dan perempuan yang sedang berhadapan di layar TV.
'Aku harus pulang,' si lelaki berucap.
'Untuk berapa lama? Satu minggu, atau sebulan, mungkin?'
'Entahlah. Mungkin untuk selamanya.'
'Tidak, kau–' Si perempuan terisak. 'Ini yang aku maksud. Kau tidak boleh pergi. Aku tidak mengizinkanmu pergi.'
'Tapi aku harus pulang,' si laki-laki mengulang.
'Jangan. Kumohon, jangan pergi. Aku mencintaimu.'
Si laki-laki terdiam.
'Aku mencintaimu,' perempuannya mengulang dengan isak tangis yang semakin menjadi.
Meski begitu, si laki-laki tidak membalasnya. Dia malah mendekat, hingga wajah mereka berjarak beberapa senti saja. Kemudian, dia mencium perempuannya. Membuat air mata mengalir deras pada pipi aktris itu.
Tetapi, ada isak tangis lain yang terdengar di telinga Elio. Dia menoleh sedikit untuk melirik lelaki aneh di sampingnya.
Kala ikut menangis. "Andi… kenapa kau sekejam itu…"
Elio bingung bukan main.
Begitu juga ibunya. "Kala, kamu juga suka menonton 'Hujan di Mimpi'?"
Yang ditanya hanya mengangguk, kemudian semakin sesenggukan ketika sepasang kekasih di layar TV itu benar-benar berpisah.
Gadis berkacamata itu memegangi kepala. Tadi sore Kala bersembunyi di toilet dan menangis karena melihat es krim. Malamnya menangis lagi, kali ini dilakukan terang-terangan di ruang santai rumah Elio, karena menonton sinetron.
Lagipula, bagaimana bisa seorang pria yang hari ini membuat enam remaja urakan babak belur di pinggir jalan, ternyata juga maniak sinetron yang biasa ditonton ibu rumah tangga?
Kini, Elio juga ingin menangis karena bingung menghadapi tingkah aneh Kala sementara otaknya masih buntu memikirkan jalan cerita fanfiksinya.
"Ya Tuhan, kenapa hidupku rasanya seperti sinetron saja?" Keluhnya sambil menjambak rambut.