Fajar menyingsing dengan ceria. Sinar sang mentari yang masih kemerahan perlahan membawa rasa hangat. Mengusir dingin dan gelapnya malam.
Ayam berkokok, menantang para tulang punggung keluarga untuk berlomba mencari rezeki. Kicauan burung liar – dan beberapa peliharaan tetangganya – semakin menambah nuansa pedesaan. Agak aneh, mengingat kampung yang ditinggali Elio sebenarnya dekat dengan kota yang menjadi pusat provinsi Jawa Tengah.
Namun, bukan itu yang membangunkan Elio.
Oh, tidak.
Setelah kemarin berhadapan dengan kegilaan yang bertubuh tinggi dan berwajah tampan – dan bernama Kala – bangun dari tidur karena alarm atau ayam yang ribut tidaklah seru. Tentu saja.
Tidak. Pagi ini, Elio terbangun oleh keributan tetangganya. Seru tangis yang diselani oleh makian kasar. Ah, kenapa itu mirip suara ibunya, ya?
Kedua mata Elio terbuka lebar. "Itu suara Mamak…"
Buru-buru bangkit dari kasur, dia hampir terhuyung kembali. Untung tangannya cekatan untuk berpegangan pada kursi di depan meja belajarnya. Tidak lupa mengambil kacamata dari meja, Elio gelagapan lari keluar kamar.
Benar sekali.
Asih, ibu Elio yang biasanya tergolong kalem – menurut Elio sendiri, karena, yah, kalem itu kan relatif – sekarang sedang histeris di depan rumah.
Terasnya sudah penuh dengan orang-orang kampung. Didominasi oleh para ibu berdaster yang berusaha menenangkan Asih, juga bapak-bapak dengan wajah beringas dan berkacak pinggang. Salah satu di antara mereka berceletuk, "Kita lapor polisi saja."
Elio yang kebingungan langsung menghampiri ayahnya. Ilyas, dengan laku yang memang kalem, juga didukung oleh penampilannya yang terlihat berwibawa dengan seragam PNS-nya. Sejujurnya gadis berkacamata itu hendak bertanya kenapa ayahnya sudah memakai seragam sepagi ini, namun diurungkan karena melihat kerumunan massa.
"Bapak, ini ada apa sih?"
Belum sempat Ilyas menjawab, rupanya Asih sudah siap menyerang. "Elio, bisa-bisanya pacar kamu mencuri mobil kita!"
"Pacar?"
Butuh dua, tiga detik bagi Elio untuk menyadari siapa yang dimaksud sang ibu. Kenapa pula ibunya dengan gamblang menyebut Kala sebagai pacar Elio? Rasanya sangat mencurigakan, mengingat sandiwara itu adalah akibat dari kelakuan ibunya. Sungguh tidak ada rasa bersalah.
Tapi, kembali lagi. Ini bukan saatnya mempermasalahkan hal itu. Ada yang jauh lebih penting. Seperti, "Kala mencuri mobil kita? Mamak melihatnya langsung?"
"Tidak, tapi siapa lagi yang bakal mencurinya? Anak kurang ajar!"
"Buktinya apa dong?"
"Dia tidak ada di sini, Elio!"
"Bu Asih tenang dulu. Kita pikirkan ini baik-baik," Pak RT bertutur sambil mengisyaratkan dengan tangannya agar semua warga tenang. Pria berkumis lebat itu tidak banyak bicara, namun kalimatnya langsung meredam amarah ibu Elio yang sepertinya hampir sampai puncak.
Mengedarkan pandangannya untuk menelisik siapa saja pemilik wajah yang berkerumun di depan rumahnya, Elio akhirnya mengambil kesimpulan. "Tidak ada Kala."
Kalimat itu memicu bisikan dan gumaman lain dari belasan tetangganya yang berkumpul. Saling pandang dan mengangguk-angguk, mereka semua telah setuju untuk mengecap Sangkala Dharmayudha, yang dinobatkan ibunya sebagai pacar Elio, sebagai seorang pencuri mobil pagi ini.
Entah kenapa, ada perasaan yang mengganjal.
Benar adanya, bahwa kala bukanlah manusia favorit Elio. Ah, bahkan bisa dibilang, jika ada yang bertanya, Elio lebih memilih untuk tidak mengenal Kala sama sekali. Wajahnya memang enak dipandang, tapi itu tidak menghapus fakta bahwa dia orang yang menyebalkan – dan membingungkan dengan segala tingkah lakunya yang aneh. Awas saja kalau foto mereka berdua yang diunggah oleh satpam Stasiun Tawang di Cuitter menjadi viral. Elio bersumpah akan menyate usus Kala dan memakannya.
Berlebihan, tapi intinya seperti itu
Meki begitu, hati kecil Elio berkata bahwa ada hal lain yang mendasari perbuatan tercela Kala ini. Tidak mungkin dia mengambil mobil ayahnya. Dalam dua malam dan satu hari Elio mengenal Kala, lelaki bertubuh tinggi itu tidak terlihat seperti orang yang akan mencuri dari seorang bapak yang sudah menolongnya.
Lagi pula, ada hal lain yang disadari Elio setelah mengidentifikasi semua orang yang menyumbang statistik kerumunan ini.
"Kok, tumben, Yu Ratih tidak kelihatan?" Elio mengucap dengan nada santai, sambil berusaha agar massa tidak ribut dan langsung tancap gas melaporkan Kala sebagai maling.
Mereka semua terkesiap, seolah baru sadar.
"Eh, Yu Ratih di mana?"
"Iya, kok aku tidak lihat?"
"Biasanya dia yang koar-koar, kan?"
"Ada yang lihat Yu Ratih?"
Bisik-bisik itu menggema seperti lebah yang berkerumun di dekat sarangnya. Sudah selayaknya mereka bingung berjamaah.
Yu Ratih, seorang janda cantik beranak satu, sekaligus pemegang tahta Pelopor Gosip Desa Banget, ini belum kelihatan batang hidungnya. Sejatinya, kemampuan Yu Ratih dalam mencium bau-bau angin lalu tidak ada yang menandingi. Kegesitannya berburu cerita burung seolah melebihi cepatnya kesaktian seorang dukun dalam menemukan korban santetnya.
Jadi, ketiadaan seorang Yu Ratih pada pagi yang mengguncang Desa Banget ini sungguh dipertanyakan.
Bukan hanya Elio yang curiga.
Seorang ibu berdaster motif garis-garis menceletuk, "Jangan-jangan, Yu Ratih disandera oleh, siapa tadi nama pacarnya Eli… nngg, Kuli?"
"Kala." Elio menghela napas. "Namanya Kala."
"Iya, itu. Gimana kalau Yu Ratih lihat Kala pas mau mencuri mobil, terus sebelum sempat teriak minta tolong, malah diancam dan kemudian disandera?" Seorang ibu berdaster lainnya – kali ini dengan motif bunga mawar – menimpali.
Kecurigaan itu berkali lipat jadinya. Hiruk pikuk kampung yang terpusat di kediaman Ilyas membuat kepala Elio semakin cenat-cenut. Niatnya mengurangi tuduhan pada Kala sebagai maling mobil, eh, kenapa malah jadi pencuri sekaligus penculik, sih?
Sekali lagi, sebelum ada seorang warga yang berinisiatif menghubungi nomor polisi, Elio buru-buru menyeru, "Ada yang punya nomornya Yu Ratih? Coba dihubungi."
"Paling tidak nyambung. Mana mungkin penculik membiarkan korbannya membawa handphone?" Si ibu berdaster motif garis-garis mencibir. "Ah, ini semua gara-gara pacar kamu Eli."
Ucapan itu sungguh membuat Elio mengeraskan rahanya. Di sini, dia adalah keluarga korban. Ayahnya kehilangan mobil. Kenapa dia juga yang malah disalahkan?"
"Semuanya tenang, kita jangan gegabah." Pak RT menegur demi kedamaian rakyatnya. "Benar kata Eli. Pak Ilyas, coba telepon Yu Ratih sekarang juga."
Ayah Elio menurut. Dengan cepat mengeluarkan telepon, lalu berdiri kikuk karena tiba-tiba menjadi pusat perhatian kerumunan massa. Ibunya bersedekap di samping, seperti tidak sabar ingin melabrak seseorang – pastinya yang bernama Kala. Setelah icon loudspeaker dipencet, belasan pasang telinga berharap mendengar suara seseorang di ujung sana.
'… halo?' Suara laki-laki menggema dalam keheningan sesaat.
Keriput hadir di antara alis mereka. Itu bukan suara Yu Ratih. Jelas sekali. Dan Elio mengenalnya.
"Kala?" Ilyas bertanya memastikan.
Semuanya masih terdiam untuk sejenak.
'Iya? Selamat pagi?' Kala kembali berucap. Tapi ada sesuatu yang aneh dari cara bicaranya.
"Kenapa dia jadi medhok begitu?" Elio keheranan, karena dia seolah mendengar orang kampung Jawa asli yang berbicara menggunakan bahasa Indonesia.
Ilyas tidak menggubris Elio. Belasan tatapan penuh penasaran dari kerumunan itu mendesaknya untuk melanjutkan interogasi. "Kamu di mana, Kala?"
Lagi-lagi, butuh sekian detik untuk lelaki aneh itu menjawab pertanyaannya. 'Di rumah sakit, Pak. Ini siapa, ya?'
"Kamu sudah lupa suara bapak?"
'Bapak..?' Kala terdengar kebingungan. Suara kemresek terdengar lirih dari loudspeaker handphone di tangan ayah Elio. 'Saya panggilnya bapak siapa, ya?'
Asih, ibu Elio yang sudah berbaik hati dengan tidak langsung melabrak Kala secara verbal, kini tidak bisa membendung ketidak sabarannya lagi. "Haish! Tidak bisa baca? Memangnya di situ kontaknya tertulis nama siapa?"
'… Pria Ganteng…"
Jder!
Bagai badai petir yang menyambar di siang bolong. Gendang telinga Elio rasanya mau pecah mendengar makian ibunya yang geger setengah mati.
"Ratih sialan!"