Chereads / Multiple Lovers in One Body / Chapter 16 - Perang Bertepuk Sebelah Tangan

Chapter 16 - Perang Bertepuk Sebelah Tangan

Seumur-umur Elio hidup, tidak pernah disangkanya bahwa dia akan menyaksikan secara langsung pertengkaran hebat antara dua pemegang tahta rumahnya.

Yah, sebenarnya lebih tepat dibilang perang bertepuk sebelah tangan, sih. Karena hanya ada satu pihak yang aktif menyerang, sementara yang lainnya kabur duluan.

Tidak lain, tidak bukan, adalah Asih Pamujiningrum – pemegang kekuasaan tertinggi, dengan kekuatan yang tak bisa dipungkiri. Kejayaan ratu kediaman ini sifatnya absolut. Tidak bisa diganggu gugat untuk selamanya.

Dalam setiap pertengkaran, minimal ada dua pihak yang terlibat.

Itu adalah Saparudin Ilyas – juga pemegang kekuasaan tertinggi, namun hanya secara 'de jure' alias diakui secara hukum. Karena, bagaimana pun juga, pengaruh yang dimilikinya kalah jauh jika dibandingkan lawan.

Dalam setiap pertengkaran, tentu saja, selalu ada yang dipermasalahkan.

Kali ini, objek yang memicu kejadian ini adalah Ratih Sukaesih yang lebih dikenal dengan julukan beken 'Yu Ratih' – penantang kedigdayaan seorang pemegang tahta, yang datang tanpa undangan, dan tidak pergi meski tidak diinginkan.

Sudah dua jam lebih Elio mengurung dirinya di kamar.

Sungguh enggan jika harus terlibat dengan perang dingin – yang sesekali meledak ketika ibunya menutup pintu dengan kasar, atau asal melempar ember anti pecah di belakang rumah.

Juga, bukan karena dia suka menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar mengenai Yu Ratih yang, menurut Kala, menyimpan kontak nomor handphone ayahnya dengan nama 'Pria Ganteng' tanpa sepengetahuan mereka.

Sebenarnya Elio sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sudah membujuk sang ibu, mencoba menenangkan dengan kebohongan yang bisa dia pikirkan secara dadakan di tempat.

Dia juga sudah menyelamatkan sang ayah yang tidak tahu mengenai perihal kontak itu. Pria tambun tersebut langsung berangkat kerja, mengendarai motor matic, mengebut keluar kampung. Kabur agar tidak menjadi korban dari hawa mengerikan yang dipancarkan oleh Asih.

Brakk!

Elio memejamkan matanya. Bisa dibayangkan kalau sekarang ibunya sedang melempar gayung di kamar mandi. Tapi dia juga takjub. Takjub dengan kualitas perabot plastik yang dipasarkan oleh penjualnya dengan keterangan anti pecah.

Harusnya dia juga membeli ember dan gayung itu, juga piring dan gelas plastik di tempat yang sama. Pasti puas kalau melempar barang yang dijamin anti pecah itu untuk mengurangi stress menghadapi deadline tugas kampus dan ajang lomba tahunan menulis fanfiksinya.

Rumah kembali hening.

Elio mengambil handphone dan jaketnya, memutuskan untuk pergi ke rumah sakit menyusul Kala dan Yu Ratih. Entah sakit apa, lelaki aneh yang tadi dituduh sebagai maling itu enggan untuk memberitahu mereka melalui telepon.

"Mamak, Eli pergi keluar sebentar," pamitnya menghadap pintu kamar mandi yang ditutup rapat.

Hanya suara gebyuran air yang terdengar. Itu kebiasaan ibunya yang percaya bahwa air akan mengusir segala jenis setan. Termasuk setan marah-marah yang mungkin memang sedang menempel di hatinya. Kalau marah biasa, Asih akan membasuh wajah. Kalau marah sedang, akan ditambah dengan mencuci tangan dan kaki. Kalau mengamuk seperti ini, dia akan mandi.

Setidaknya, ibu Elio mempunyai sistem manajemen kemarahan yang cukup bisa diandalkan.

Tidak lupa memakai helm milik sendiri, Elio keluar rumah. Tukang ojek online yang dipesannya beberapa menit lalu sudah menunggu.

"Rumah sakit, Mbak?"

"Iya, Pak. Lewat jalan alternatif juga ndak apa-apa, yang penting cepat sampai."

"Asiap!"

Motor matic warna hijau itu melesat. Keluar dari desa yang namanya sungguh cocok, Banget. Banyak teman kuliah Elio yang tidak percaya kalau nama desanya memang seperti itu. Desa Banget.

Tapi, walau masih berupa kampung, setidaknya tempat tinggal Elio dekat dengan kota. Menonton film di bioskop adalah hobinya. Mungkin dia tidak akan bisa bertahan hidup lama-lama kalau jauh dari jenis hiburan itu.

Tidak butuh waktu yang lama bagi mereka untuk sampai di depan rumah sakit. Setelah membayar, dia lantas menuju resepsionis. Namun, seseorang yang sayangnya sangat familiar duduk di salah satu kursi panjang depan meja resepsionis.

"Kala," panggilnya sembari mendudukkan diri di sebelah lelaki yang kemarin sempat menangis dua kali itu. "Yu Ratih gimana? Sakit apa dia?"

Kala mengalihkan perhatiannya dari koran yang dibuka lebar-lebar, sedikit melipatnya untuk mengamati Elio dari ujung kaki ke ujung kepala. Sekali lagi, dia nampak seperti orang bingung.

"Eh, sakit anu… ehm, nanti tanyakan sendiri saja, Mbak," ucapnya dengan sedikit logat Jawa sambil tersenyum ramah.

"Mbak?" Elio menatapnya aneh, "Jangan panggil gitu ah, kamu kan lebih tua."

"Nggak papa, sekali-kali."

Elio berusaha tidak terlalu memikirkan Kala dan segala macam keanehannya yang bisa muncul tiba-tiba. "Terus, Yu Ratih di mana?"

"Ada itu, di belakang."

"Kamu juga yang mengurus administrasinya?"

"Iya, sudah beres kalau itu."

"Dirawat inap?"

"Iya, Mbak."

Elio mendesah. "Kapan boleh pulang?"

"Wah, kurang tahu kalau itu, Mbak. Mungkin dua, tiga hari lagi kali ya? Coba nanti ditanyakan ke dokternya."

"Ih, ogah. Mending kita pulang sekarang."

"Pulang?"

"Iya. Masak mau di sini terus?"

Dengan paksaan dan sedikit bujukan, Elio akhirnya berhasil dalam misinya untuk mengajak Kala pulang. Lelaki yang gelagatnya sedikit lebih kalem dan berbicara dengan logat Jawa samar-samar itu menyetir mobil yang sempat dikira ayah, ibu, dan warga sekampung hilang dicuri.

"Tapi Yu Ratih sendirian," Kala lagi-lagi mengucap dalam perjalanan pulang.

"Kok kamu malah bela dia sih? Tau, bukan hanya dikira maling mobil dan nyulik orang, gara-gara kamu, sekarang mamak lagi ngamuk di rumah. Pokoknya kamu harus bertanggung jawab dan menyelesaikan masalah ini."

Kala menoleh sedikit, tampak sangat bingung. "Apa hubungannya dengan saya?"

"Saya?" Elio membenarkan posisi kacamatanya yang bertengger di hidung, menjadi sedikit was-was atas kelakuan Kala yang semakin berubah. Awas saja kalau dia tiba-tiba menangis melihat polisi tidur di jalan.

"Aku? Apa hubungannya?"

Gadis yang yang duduk di samping kursi pengemudi mendecih kesal. "Kamu kenapa tidak peka sih?"

"Eh, peka gimana maksudnya, Mbak?"

"Masak terang-terangan bilang nama kontak bapak di handphone-nya Yu Ratih? Asal kamu tahu saja, tadi pagi, bukan hanya bapak yang mendengar, tapi mamak dan sebagian warga kampung juga. Aku yakin, mereka semua pasti sedang menggosip, kalau si Pelopor Gosip Desa Banget itu mungkin memendam rasa pada bapak. Kenapa tadi tidak bohong sedikit sih?"

Meski masih memasang tampang super duper bingung, Kala seakan mengalihkan pembicaraan. "Mbak, bohong itu bukan hanya dosa, tapi juga tindakan buruk yang bisa merugikan orang lain."

Elio memicingkan mata minusnya. "Iya, tahu, tapi kalau demi kebaikan bersama, bohong sedikit juga ndak masalah, kan?"

"Tetap saja. Mungkin Mbak bisa berbohong sekarang, tapi nanti? Iya kalau tidak ketahuan. Karena, sekali ketahuan berbohong, Mbak bisa dicap sebagai orang yang selalu berkata dusta. Tidak akan ada lagi orang yang percaya." Kala benar-benar menasehatinya sekarang.

"Ingat, Mbak, kepercayaan itu mahal harganya. Saya pernah kena bohong oleh anak buah saya sendiri soalnya. Hasilnya? Saya rugi miliaran dan mall tujuh lantai yang sudah saya rencanakan itu akhirnya mangkrak."

Diperhatikannya lelaki yang memusatkan konsentrasinya pada jalanan di depan. "Kamu kontraktor?"

"Dulu iya, Mbak. Tapi bangkrut, ya gara-gara itu tadi. Kena bohong anak buah sendiri. Habis semua modal saya, rumah pun tidak punya. Makanya, sekarang saya kerja sebagai sopir ojek online."

"Eh?" Elio merespons dengan bingung.

"Eh?" Kala mengulang, juga ikut bingung.

"Jangan-jangan kamu kabur dari Jakarta karena dikejar debt collector, ya?"

Mobil direm mendadak. "Jangan keras-keras, Mbak. Nanti saya bisa ketahuan!"